Mubadalah.id – Tatapan mata Durroh membuat debaran di dalam hati Zain. Sebuah kejutan baginya ketika melihat Durroh di kantor adik iparnya. Zain mengangkat tangannya dan melangkah mundur satu langkah dari tempat Durroh berdiri.
“Jangan lakukan itu lagi, aku sudah bukan anak kecil,” kata Durroh sembari membenarkan jilbabnya membuat Zain kembali tersenyum.
“Aku tidak bisa menahannya kalau melihat air matamu jatuh.”
“Kak Zain bohong,” kata Durroh, Zain kembali menatapnya.
“Tentang?”
“Peri air mata.” Zain terdiam mencerna apa yang dikatakan Durroh.
“Peri itu tidak akan datang, walau seseorang menangis sendirian.” Kini Zain memahami apa yang Durroh katakan.
“Kamu sudah tahu cerita itu?”
“Iya, semua cerita tentang peri air mata dan semua tentang Sandra.”
“Aku tidak bermaksud membohongimu, karena dulu aku juga dapat cerita itu dari ibu. Sama sekali aku belum membaca cerita lengkapnya. Tetapi benar, saat itu aku juga takut kalau peri air mata datang menemuimu.”
“Membaca kisah sandra semakin membuatku tidak ingin menikah, sungguh menyebalkan dan menyesakkan,” kata Durroh masih posisi berdiri di hadapan Zain.
Zain terdiam mengingat saat dia mulai dekat dengan Durroh dan tentang peri air mata yang pernah dia ceritakan.
***
24 Tahun yang lalu.
Zain membawa piring kotor dan segera mencucinya, tanpa beban dia juga membantu ibunya membereskan meja makan. Bapaknya menemani adik adiknya. Tiba-tiba tangannya terdiam dan telinganya terbuka lebar.
“Bu, apa ibu mendengar suara tangisan?”
“Nggak nak,” kata Ibu Umi.
“Zain mendengarnya bu, apa ada yang nangis di belakang rumah?”
Ibu Umi mencoba membuka lebar telinganya dan berusaha mendengar apa yang anaknya dengar,
“Iya nak, coba lihat siapa yang nangis.”
Zain segera keluar rumah, berjalan dengan berani mencari suara tangisan yang semakin terdengar jelas. Zain melihat anak perempuan yang sedang terduduk sendiri dan menangis sesenggukan.
“Hei, siapa kamu?”
Anak perempuan itu mengangkat wajahnya dan menatap Zain.
“Durroh, kau kah itu?”
“Ka Zain,” tangis Durroh semakin pecah.
Zain segera mendekatinya.
“Ssstt… diamlah jangan menangis sendirian seperti ini. Kau tahu peri air mata akan datang,” kata Zain.
Durroh menghentikan tangisannya dan kembali menatap Zain.
“Peri air mata?”
“Iya, peri air mata akan datang dan mengambil butiran air mata seorang anak yang menangis sendirian. Mereka akan membawa air mata di dalam gua dan membuat istana air mata yang mengerikan, banyak tangisan yang terdengar di sana.”
Durroh merinding, dia mengelap air matanya. “Aku tidak mau peri air mata datang,” katanya.
“Bagus, kamu akan baik baik saja, jangan pernah menangis sendirian ya! Kalau kamu ingin menangis, menangislah di depanku, aku akan membuatmu kembali tersenyum.”
Durroh tersenyum mendengar kalimat Zain.
“Sekarang ayo berdiri, masuklah ke rumahku dulu.”
Durroh pun menuruti apa yang dikatakan Zain tanpa banyak pertanyaan.
Ibu Umi melihat Zain membawa masuk Durroh, segera ia mendekat.
“Kenapa nak? Apa yang terjadi sampai kamu menangis sedih di belakang rumah kami?”
Durroh terdiam dan menunduk tidak menjawab, “Apakah ini aroma ayam bakar?” Tanya Durroh sambil mengendus aroma ayam bakar yang sudah mulai dingin.
“Durroh belum makan? Mau makan di sini?” Tanya Ibu Ummi, Durroh mengangguk.
Sembari menikmati makanannya Zain merasa heran dengan Durroh. Anak yang selalu ceria ketika mengaji di TPA juga memiliki mata yang penuh sorot membahagiakan bisa menangis sesenggukan di luar sana.
Zain melihat ibunya menelpon seseorang, terdengar nama Mbok Yam. Ibunya mengabari bahwa Durroh ada di rumahnya.
Rumah Durroh membelakangi rumah Zain, Ada sebuah pintu belakang rumah Durroh yang tepat berada di sisi kiri rumah Zain hanya terpisah oleh jalan setapak. Beberapa saat kemudian terdengar pintu belakang rumah Durroh terbuka, Mbok Yam mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Zain membukakan pintu dan mempersilahkan masuk.
“Biarkan dia selesai makan dulu Mbok,” kata Ibu Umi.
“Terima kasih bu, saya malah tidak tahu kalau Durroh keluar rumah, saya masih nyetrika baju. Biasanya jam segini dia belajar di kamar bersama ibunya,” kata Mbok Yam.
“Apa yang terjadi,” suara Ibu Umi sedikit berbisik, namun Zain tetap bisa mendengar perbincangan mereka.
“Saya tidak tahu bu, hanya tadi memang ayahnya sedang berbicara dengan ibunya, suara ayahnya tidak seperti biasanya, seperti sedang marah-marah. Haduh, jangan-jangan Nduk Durroh mendengar orang tuanya bertengkar,” kata Mbok Yam cemas.
“Apa sering mereka bertengkar?”
“Tidak bu, orang tua Durroh tidak pernah bertengkar, selama ini saya tidak pernah mendengar mereka bertengkar. Baru tadi, saya juga kaget, tumben ayahnya Durroh berteriak di depan ibunya.”
“Memang teriak apa Mbok Yam?” Tanya Zain yang ikut penasaran.
“Sst, tidak baik kita membicarakan keluarga orang lain,” kata Ibu Umi, Zain mengangguk dan meminta maaf.
Durroh terlihat sudah menghabiskan makanannya dan juga minumannya.
“Wah, menangis membuatmu lapar ya,” kata Zain.
“Bukan karena menangis, hanya saja ayam bakarnya enak,” kata Durroh sambil berdiri hendak meninggalkan meja makan.
“Tunggu, biasakan selesai makan cuci piringmu sendiri,” kata Zain.
“Aku kan tamu,” kata Durroh.
“Ya tetap aja, tamu yang baik ya tidak boleh habis makan langsung pulang begitu saja.” Durroh sedikit kesal, dengan terpaksa dia membawa piring, saat hendak mencucinya, Ibu Umi mencegahnya, “Sudah tidak apa apa taruh saja di situ, Mbok Yam sudah menunggu Durroh.”
Durroh tersenyum dan melirik Zain sambil memamerkan giginya yang masih ada yang ompong.
“Terima kasih bu,” kata Mbok Yam sambil pamit.
Kembali terdengar decitan pintu belakang rumah Durroh, menandakan mereka sudah kembali masuk rumah.
“Bu, aku tadi bilang ke Durroh tentang peri air mata.”
“Kamu menakutinya?”
“Nggak bu, aku hanya ingin membuatnya tidak menangis lagi. Emang beneran ada ya bu, peri air mata itu,” tanya Zain.
“Kalau sudah saatnya ibu akan memberimu buku tentang peri air mata.”
“Memang siapa yang menulis kisah itu bu? Zain penasaran.”
“Saat ini ibu belum bisa menceritakannya.” Zain mengangguk dan percaya sepenuhnya pada ibunya.
***
Zain tersenyum mengingat kejadian itu, dan menyadari bahwa Durroh pasti merasakan sesuatu yang berbeda ketika membaca kisah peri air mata. Sebenarnya itu adalah sebuah cerpen yang ditulis Agus Noor, salah satu penulis yang digemari Ibu Umi. Cerpen tersebut berjudul Pemetik Air Mata. Mengisahkan tentang seorang anak yang selalu berpura pura tertidur ketika ada laki-laki yang keluar masuk menemui ibunya. Kisah tentang istri simpanan yang selalu berbohong kepada anaknya ketika anaknya menanyakan keberadaan ayahnya yang hanya datang sesekali, tidak setiap hari ada di rumah. Kisah tentang harapan seorang anak akan datangnya peri air mata yang akan memetik air mata ibunya yang selalu menangis, namun peri air mata tak kunjung datang.
“Perihnya kehidupan Sandra dan ibunya, juga harapan Bita akan kehadiran ayahnya membuatku membenci pernikahan.”
Zain menghela nafas mendengar kalimat Durroh.
“Maafkan aku, sungguh saat itu aku hanya ingin kamu berhenti menangis.”
Durroh dan Zain saling diam beberapa saat. Mereka saling mengingat masa lalu yang penuh kenangan.
“Jam istirahatku sudah habis, aku harus kembali ke kantor,” kata Durroh, Zain mengangguk.
Durroh berdiri hendak meninggalkan Zain, “tunggu, bolehkah aku meminta nomermu? Sepertinya kamu sudah mengganti nomer lamamu.” Durroh sedikit ragu dengan permintaan Zain.
“Jangan khawatir, aku tidak akan mengganggumu.”
Durroh masih terdiam, Zain melihat binar mata Durroh yang sebenarnya ingin memberikan nomernya tapi seolah ada sesuatu yang mencegahnya untuk memberikan nomernya.
“Baiklah, kalau kamu tidak mau memberikan nomermu, ini ambillah!” kata Zain sembari memberikan kartu namanya.
Durroh membaca dengan detai kartu nama yang diberikan Zain. Durroh tersenyum, “Aku yakin lembaga pendidikan ini akan berkembang pesat, karena dipimpin orang yang tepat.” Zain memiringkan kepalanya, dia senang Durroh mengingat lembaga pendidikan yang berdiri di atas tanah wakaf dari orang tuanya.
“Kuanggap itu pujian, terima kasih. Kamu tidak ingin tahu sepesat apa perkembangan lembaga ini?” kata Zain sambil menunjuk kartu namanya.
“Tidak perlu, karena aku sudah tahu.”
Zain menghela nafas.
“Jadi, apa boleh aku bertemu denganmu lagi?” Zain mulai mengatakan sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan. Durroh mengangkat alisnya. “Oh tidak, maksudku, jika kamu ingin bertemu denganku, hubungi saja aku.” Durroh masih mengangkat alisnya. “Maaf, bukan itu, aku tahu kamu tidak ingin bertemu denganku, jadi kalau kamu ingin menemui ibuku, kamu bisa menghubungiku.”
Durroh tersenyum dan mendekati Zain, “Kak Zain, tidak perlu gugup di depanku.”
Kemudian Durroh membalikkan badannya dan berlalu pergi. []