Mubadalah.id – Perkawinan anak bukanlah suatu fenomena baru di Indonesia. Dilansir dari kompas.com, (20-05-2-21), Indonesia menduduki peringkat ke-2 di ASEAN dan peringkat ke-8 di dunia untuk kasus perkawinan anak. Hal tersebut dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa di tahun 2020 saja, jumlah perkawinan anak meningkat sebanyak 10,82 persen.
Perkawinan anak terjadi di wilayah perdesaan sebanyak 15,24 persen dan 6,82 persen di daerah perkotaan. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama juga mencatat terdapat 34 ribu lebih dispensasi pernikahan sepanjang Januari hingga Juni 2020. Dari jumlah tersebut, pengajuan kompensasi oleh anak di bawah umur (<18 tahun) lebih dari 60 persen, dengan sebagian besar adalah perempuan.
Jumlah pengajuan kompensasi pernikahan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan sepanjang tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 23.700. Pengajuan kompensasi dilakukan dikarenakan salah satu atau bahkan kedua calon mempelai belum masuk usia kawin berdasarkan hukum yang berlaku di negeri ini.
Dari UU No. 01 Tahun 1974 menjadi UU No. 16 Tahun 2019
Pengaturan mengenai batasan usia perkawinan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sudah semestinya didasarkan terhadap kemaslahatan bagi pelaku pernikahan serta bagi kepentingan masyarakat secara luas.
Pada awalnya, batas usia minimal perkawinan ini diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Akan tetapi, terdapat perbedaan batas usia minimal antara laki-laki dan perempuan yang kemudian tidak hanya menimbulkan diskriminasi dalam konteks pelaksanaan hak untuk membentuk keluarga seperti tercantum dalam Pasal 28 b ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu, UU tersebut juga dinilai telah memunculkan diskriminasi terhadap perlindungan dan pemenuhan hak anak seperti tercantum dalam Pasal 28 b ayat (2) UUD 1945. Dalam hal ini, apabila usia minimal perkawinan perempuan lebih rendah dari usia laki-laki, maka secara hukum perempuan bisa lebih cepat untuk membentuk keluarga.
Kemudian, atas dasar permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan UU No. 16 Tahun 2019 yang merupakan perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. UU perkawinan terbaru ini menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma yang menjangkau dengan menaikkan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan.
Kekurangan UU No. 16 Tahun 2019
Dalam UU No. 16 Tahun 2019, batas minimal usia perkawinan bagi perempuan disamakan dengan batas minimal usia perkawinan bagi laki-laki, yaitu 19 tahun. Kenaikan batas usia minimal yang awalnya dari 16 tahun menjadi 19 tahun tersebut diharapkan dapat membawa kemaslahatan dan mencegah laju kelahiran yang tinggi serta menurunkan resiko kematian ibu dan anak.
Akan tetapi, dalam substansi materi UU tersebut masih banyak ditemukan kekurangan yang akan berdampak terhadap hilangnya maslahat dalam konteks perkawinan di Indonesia. Salah satunya ialah UU tersebut tidak menjelaskan mengenai hukuman bagi pelanggar, sehingga penentuan hukuman bagi pelaku pelanggar batas usia tersebut akan sulit dijatuhkan.
Pengaturan mengenai hukuman bagi pelanggar batas usia minimal pernikahan tersebut menjadi penting mengingat banyak sekali kasus perceraian yang disebabkan karena ketidakdewasaan atau kemampuan melaksanakan tanggung jawab dalam membina rumah tangga yang kemudian mengakibatkan timbulnya perselisihan dalam rumah tangga disebakan kurangnya kedewasaan antara suami dan istri. Bahkan, UU tersebut malah memberikan dispensasi dalam pernikahan apabila kedua calon mempelai tidak mencapai usia 19 tahun.
Efektivitas UU No. 16 Tahun 2019
Menurut Agus Khalimi (2021), dalam karyanya yang berjudul “Dispensasi Nikah dalam Perspektif Maslahah”, mengungkapkan bahwa efektivitas penerapan suatu hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor penentu. Faktor-faktor tersebut di antaranya ialah efektif atau tidaknya hukum tersebut dibuat, penegak hukum atau para pihak yang membentuk, mengawal dan menerapkan hukum, penerapan hukum dilihat dari tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, kebutuhan masyarakat, dan budaya hukum sebagai sebuah nilai budaya dalam masyarakat.
Iwan Ramadhan (2020), dalam karyanya yang berjudul “Usia Perkawinan dalam UU No. 16 Tahun 2019 Perspektif Maslahah Mursalah”, menjelaskan bahwa apabila dilihat dari dasar pertimbangannya ialah merujuk kepada pasal 01 UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam UU tersebut, anak diartikan seseorang yang belum berusia 18 tahun, dan termasuk anak yang masih dalam kandungan ibunya. Artinya, seseorang yang berumur 18 keatas dianggap sudah dewasa.
Maka dari itu, UU No. 16 Tahun 2019 dibuat pemerintah sebagai upaya mencegah terjadinya perkawinan anak. Akan tetapi, UU tersebut tidak memberi ketegasan hukuman terhadap pelaku yang melanggar ketentuan batas usia minimal perkawinan. Hal itu menyebabkan masih terbukanya potensi untuk melakukan perkawinan anak dikarenakan tidak adanya sanksi tegas. Sehingga bagi penulis, UU ini kurang efektif dalam perlindungan anak.
Kemudian, Pasal 7 ayat (2) dalam UU ini menyatakan dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan usia, orang tua pihak laki-laki atau pihak perempuan dapat mengajukan permohonan dispensasi kepada Pengadilan dengan disertai alasan sangat mendesak dengan bukti-bukti pendukung yang cukup.
Ayat tersebut membuka celah untuk melakukan perkawinan anak tanpa disertai pasal atau ayat yang mengatur tentang hukuman bagi pelanggar. Oleh karena itu, ketegasan dan sanksi dalam undang-undang ini menjadi penting untuk menciptakan kemaslahatan dan melindungi hak-hak anak pada masa pertumbuhan dan perkembangannya.
Perlunya Revisi terhadap UU No. 16 Tahun 2019
Bagi penulis, UU No. 16 Tahun 2019 ini perlu direvisi ulang. seharusnya dalam hal orang yang melanggar ketentuan usia dalam UU ini, harus mendapatkan sanksi yang tegas. Sanksi tersebut, kedua mempelai, orang tua atau pejabat yang menikahkan, serta orang-orang yang ikut terlibat dalam perkawinan anak, semuanya harus dijatuhkan sanksi.
Dengan ketegasan tersebut, perlindungan terhadap anak dapat terpenuhi sebagaimana tercantum dalam UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Adanya UU yang mengatur secara tegas tentang perkawinan anak dapat memunculkan suatu kemaslahatan. Selain itu, pejabat yang berwenang juga dapat berpedoman terhadap UU tersebut dalam upaya melindungi anak dan mencegah perkawinan anak.
Selanjutnya segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, merupakan amanat dari Pasal 1 ayat (2) UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
Dalam Fiqh Siyasah, terdapat kaidah tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil maslahah yang artinya tindakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan. Kaidah tersebut menjelaskan bahwa tindakan, hukum, dan kebijaksanaan pemimpin atau penguasa haruslah sesuai dengan kepentingan umum dan kemaslahatan rakyatnya. Setiap aturan yang dikeluarkan haruslah berlandaskan kemaslahatan dan menghilangkan masfadat yang mungkin terjadi.
Dalam hal UU No. 16 Tahun 2019, diperlukan revisi kembali supaya dapat menghadirkan kemaslahatan dan menjauhkan mafsadat yang dapat muncul dari kurang tegasnya sanksi dalam UU ini. Mafsadat dalam konteks ini merupakan sebab akibat dari kurang maksimalnya substansi materi UU perkawinan itu sendiri, sehingga memerlukan maslahah hajiyyah sebagai penyempurnaan kemaslahatan pokok untuk mempertahankan dan memeliharanya.
UU No. 16 Tahun 2019 merupakan langkah pemerintah Indonesia dalam menjamin kemaslahatan masyarakat melalui larangan perkawinan anak dengan bermuara pada maslahat. Untuk menyempurnakannya, diperlukan revisi dengan menambahkan pasal atau ayat yang mengatur tentang sanksi atau hukuman bagi pelanggar batas minimal usia perkawinan tersebut. Hal tersebut sebagai upaya dalam mewujudkan cita-cita ideal dan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu kemaslahatan. []