Mubadalah.id – Suatu ketika saya membaca postingan salah satu teman di facebook, dia seorang perempuan, dia tetangga saya. Postingan tersebut bertuliskan “Percuma sekolah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya hanya menjadi ibu rumah tangga, mengurus anak dan suami, mending kayak saya, sekolah biasa saja tapi bisa bangun rumah sendiri.”
Saya yakin pemikiran “untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? toh ujungnya nanti cuman 3M, Macak (dandan), Manak (melahirkan), Masak,” masih lekat di sebagian masyarakat, tidak beda jauh dengan postingan tetangga saya tadi. Postingan tersebut sekilas mengusik hati saya sebagai seorang ibu muda lulusan sarjana, baper iya, tapi saya mampu berpikir jernih dan menghayati kembali apa yang saya dapat mulai dari bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Saya cukup mengerti, banyak sekali orang yang memiliki pemikiran bahwa sekolah itu untuk mencari kerja demi cuan yang melimpah. Tidak ada yang salah dengan pemikiran tersebut, karena memang kenyataannya mencari kerja pun dibutuhkan kualifikasi pendidikan tertentu dengan mencantumkan ijazah sekolah atau sertifikat pelatihan. Tapi, dibalik sebuah ijazah, banyak proses belajar yang jika direnungi kembali menyadarkan kita bahwa manfaat sekolah itu banyak.
Pertama, bagi saya sebagai ibu muda lulusan sarjana, saya cukup terbantu dengan cicrle pertemanan yang beragam. Selama kuliah, saya memiliki teman dari beragam latar belakang daerah, pendidikan, dan profesi. Kini, semua menjadi ladang infromasi bagi saya ketika saya membutuhkan teman diskusi untuk hal tertentu. Saya punya teman dari jurusan pertanian, peternakan, teknik, hingga kedokteran.
Beruntungnya lagi, teman-teman saya tidak pelit informasi, sehingga saya tidak sungkan bertanya seputar masalah yang sedang saya hadapi. Misalnya ada masalah kesehatan khususnya tentang pandemi, saya bisa bertanya pada teman saya yang anak kedokteran. Pada saat suami saya menjalani isolasi mandiri, saya pun sempat bertanya tips selama isolasi mandiri, sehingga saya bisa mendapat informasi yang valid.
Kedua, banyak sekali teman-teman sarjana saya yang juga menjadi ibu rumah tangga. Teman-teman saya ini giat belajar hal-hal yang berhubungan dengan ilmu parenting sehingga saya pun ikut terpacu untuk belajar juga. Di sini tampak bahwa kebiasaan belajar yang dijalani selama di bangku kuliah tidak berhenti sampai wisuda saja, ternyata bisa mengubah pola pikir kita dalam menghadapi tantangan pengasuhan anak.
Ketiga, sebagai orang yang pernah hidup di lingkungan akademik, berhadapan dengan hal-hal ilmiah itu seperti makanan sehari-hari. Kebiasaan ini yang membantu saya untuk lebih kritis menghadapi beragam informasi sampai menghadapi mitos dalam pengasuhan anak. Saya pun berhasil menyelamatkan anak saya dari praktik khitan perempuan dengan berbekal jurnal ilmiah untuk meyakinkan orang tua saya bahwa khitan perempuan tidak ada manfaatnya.
Kemudian, saya terbiasa melakukan kroscek terhadap informasi yang beredar di grup WA ibu-ibu balita desa dan menyelamatkan ibu-ibu yang ada di grup dari informasi hoax, contohnya seperti link bagi-bagi hadiah dari merek sepatu ternama. Tidak lupa juga saya mengingatkan kepada ibu-ibu untuk berhati-hati dalam menerima beragam informasi di internet.
Bagi teman-teman sarjana yang sedang menjadi ibu rumah tangga, don’t be sad! Hal-hal baik yang kita dapat semasa kuliah bisa kita tularkan untuk anak-anak. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya, jadi apa yang kita jalani bukan sekedar membesarkan anak, tapi membangun peradaban dan generasi yang gemilang. Tidak ada hal yang sia-sia ketika kita mampu memaknai apa yang kita dapat.
Lalu bagaimana menghadapi kejulidan tetangga? “Ancen duit nggak isok nuku lambe dan pemikiran yang berkualitas,” (Memang uang tidak bisa membeli mulut dan pemikiran yang berkualitas), kata teman saya, Rista Elia Sari menanggapi postingan tetangga saya di atas. Kalimat dari teman saya ini senada dengan kalimat “You can buy stuff, but you can’t buy class.”
Biarkan saja tetangga nyinyir, karena mereka tidak punya konsep kualitas hidup yang sama dengan kita, karena membangun pola pikir yang berkualitas itu tidak instant, butuh waktu yang lama. Sekolah itu bukan soal membayar SPP, melainkan bagaimana kita menggunakan kesempatan sekolah untuk memperbaiki pola pikir dan perilaku.
Kalau teman-teman ingin merespon nyinyiran tetangga, respon secara baik-baik, misalnya “eh iya, biarpun saya cuman ibu rumah tangga, Insya Allah, saya akan didik anak saya untuk berhati-hati dalam bicara agar tidak mudah menyakiti hati orang lain.” Dari sini sebenarnya kita bisa belajar, bahwa yang paling penting dalam proses sekolah adalah membangun karakter yang lebih baik, memperhalus perasaan agar lebih peka dan berhati-hati dalam bicara.
Di era modern ini, perempuan punya kebebasan untuk menjadi apa saja yang diinginkan. Selagi impian kita tidak merugikan orang lain, maka impian tersebut menjadi sumbangsih yang berarti untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Sesama perempuan, kita tidak perlu saling menjatuhkan, karena woman support woman hanya sekedar kalimat tak berarti jika sesama kaum perempuan malah sibuk saling merendahkan. []