Mubadalah.id – Sepak terjang K.H. Ahmad Dahlan dalam menyebarkan nilai-nilai ajaran agama Islam. Memberikan kontribusi yang begitu besar dalam konstruksi bangsa Indonesia. Terutama pada hal pendidikan dan gerakan sosial keagamaan dengan berbekal pengetahuan dan ide-ide pembaruan.
Gerakan penyebaran nilai transendental dalam Islam yang K.H. Ahmad Dahlan lakukan sejak tahun 1905. Penyebaran dakwah dan kajian yang begitu menitik beratkan perhatian juga perintahnya terhadap konsep amal yang berbentuk (amaliyah). Ia mengungkapkan dalam pandangan Islam bahwa sebagai orang yang beragama islam seharusnya bermanfaat bagi orang yang ada di sekitar.
Upaya Muhammadiyah untuk mengatasi permasalahan kontemporer umat Islam di Indonesia terupayakan melalui metode ijtihad. Selain menjawab tantangan isu kontemporer, Ijtihad Muhammadiyah telah mengubah persepsi umat Islam yang relevansinya sudah kurang sesuai dengan perkembangan zaman, namun tetap sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits.
Eksistensi Ijtihad Muhammadiyah
Pada konteks keagamaan yang berada di Indonesia, eksistensi ijtihad menurut Muhammadiyah sangat strategis, terutama dalam menyikapi berbagai macam persoalan yang terjadi pada umat di Islam Indonesia, antara lain perihal emansipasi perempuan.
Terlihat pada realitas sosial masa kini, perempuan selalu terhegemoni oleh laki-laki dalam berbagai aspek, mulai dari hierarki sosial, ekonomi, pendidikan hingga politik. Mereka mengalami ketimpangan relasi sehingga menuntut kesetaraan atas perlakuan seperti itu.
Ideologi feminisme menumbuhkan bentuk protes kaum perempuan terhadap adanya ketimpangan tersebut. Hal seperti ini dapat terkatakan sebagai bagian dari tubuh generalisasi berbagai macam gagasan mengenai realitas sosial dan empirisme individu yang berkembang berdasar pada sentralisasi paradigma kaum perempuan.
Muhammadiyah sebagai organisasi yang berbasis pada sosial keagamaan dinilai harus memperhatikan ketimpangan yang perempuan alami. Sepanjang berlandaskan pada hukum dan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah, solusi untuk masalah ini dapat menghasilkan ijtihad. Hal ini telah masuk dalam isu emansipasi perempuan dan feminisme di Indonesia.
Mengenal Emansipasi Perempuan Aisyiyah
Dalam teori feminis kontemporer, Aisyiyah termasuk dalam kelompok feminis liberal dan termasuk dalam konsep ketidaksetaraan gender. Dari segi sejarah berdirinya Aisyiyah, karena adanya persepsi tentang minimnya suplai pendidikan perempuan dan hegemoni perempuan dalam realitas sosial.
Seperti pendidikan perempuan terbatas pada tiga tingkat saja yang selanjutnya dengan kurus kepandaian putri seperti menjahit, merenda, dan memasak bagi mereka yang membayar. Artinya, masih adanya kontruksi sosial bahwa perempuan seharusnya hanya ikut andil dalam ranah domestik, bukan ranah publik. Meskipun ada kursus pendidikan, hal itu harus kita dukung dengan ekonomi yang kuat.
Menurut paradigma feminis liberal, organisasi Aisyiyah memiliki empat faktor yang memengaruhinya. Artinya, berkaitan dengan kenyataan, bahwa semua manusia memiliki kesamaan sifat dasar yaitu kemampuan berpikir, bertindak, moralitas, dan juga aktualisasi diri yang dapat tercapai melalui jalan pendidikan.
Hal ini menunjukkan bahwa realisasi penentuan dari kemampuan ini dalam pengakuan hukum atas berbagai hak yang bersifat universal. Hak universal dalam konteks Aisyiyah yaitu bahwa agama yang menekankan laki-laki dan perempuan adalah pemimpin dasar di muka bumi.
Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam penugasan gender pada dasarnya merupakan pembangunan sosial dalam pendidikan dan berbentuk organisasi yang mendorong pemberontakan yang mulia. Pada akhirnya, kita bisa mencapai perubahan sosial untuk mencapai kesetaraan.
Orientasi Gerakan Aisyiyah
Salah satu dasar dari Lidil Aisyiyah adalah “Kesadaran agama dan motivasi untuk gerakan organisasi”. Yang membuat organisasi menarik bagi masyarakat umum adalah dengan membangun sekolah, dan membangun organisasi yang kuat dari menengah hingga ke atas.
Orientasi gerakan organisasi Aisyiyah sebenarnya merupakan kesempatan bagi individu untuk bertindak sebagai agen yang mengedepankan terhadap nila-nilai moral, liberal, bertanggung jawab, memiliki hak dalam kebebasan berbicara, dan kita terima serta hargai, terutama di depan umum.
Aisyiyah memandang kesetaraan gender sebagai vitalitas bagi perempuan Aisyiyah itu sendiri, namun dengan berpegang teguh pada kodrat perempuan yang mendominasi di ranah domestik serta tidak mendapatkan diskriminasi dalam ruang publik. Hal ini mengindikasikan perempuan setara dalam ruang ranah publik dengan laki-laki.
Al-Qur’an sendiri membuktikan bahwa secara relasi hierakis sosial antara keduanya mempunyai hak yang sama. Islam sendiri menuntut keseimbangan, relevansi, keutuhan yang baik antar sesama manusia dan seluruh makhluk-Nya.
Secara teologis, penemuan adanya perintah dalam hal penyesuaian mode hubungan antara dunia mikro (manusia), dunia makro (alam) dan Tuhan. Dengan cara ini, manusia dapat memenuhi fungsinya sebagai khalifah di muka bumi sebagaimana yang telah dijelaskan dalam firman Allah Swt. yang termaktub dalam ayat suci al-Qur’an.
Masyarakat Muslim Berkemajuan
Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang berhaluan pada pembaharuan Islam memiliki gagasan penting terhadap perkembangan moeslem society yang memiliki ideologi moderat dan rasional, dan di dalam pandangan teorema Ahmad Dahlan dikenal dengan istilah “masyarakat Muslim yang berkemajuan”.
Pandangan tersebut di dalamnya termuat nilai-nilai ideologi masyarakat terbaru, termasuk dalam eksistensi dan value perempuan yang lebih maju dari eksistensial yang telah ada pada lingkungan sosial sebelumnya.
Pada masa awal deklarasi Muhammadiyah perihal konstruksi gender, terdapat tiga golongan yang satu sama lain memberikan perspektif masing-masing tentang teorema gender, yaitu golongan kolonial, priayi, dan masyarakat kaum abangan.
Pada perkembangan terkait isu gender yang terjadi, di antara ketiga golongan tersebut, ada yang merespon baik ada juga yang menolak kontruksi gender dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah. Kontruksi terkait isu gender ini merupakan salah satu basis identitas Muhammadiyah yang bermanuver pada kawasan sosio-praktis dengan merekontruksi ulang kaum perempuan yang ditegakkan melalui teks normatif-tekstual.
Pembaharuan Islam Muhammadiyah
Opini ini searah dengan corak-corak metodologi pembaharuan Islam Muhammadiyah yang bersifat induktif-kreatif. Kemudian salah satu pengaruh kontruksi gender yang muncul dalam Muhammadiyah bukan semata berasal praktik kesetaraan gender ala kolonial yang bercorak sosio-praktis feminisime Barat. Melainkan merupakan hasil pemikiran terhadap reposisi emansipasi perempuan yang berkemajuan. Namun ada kesesuaian dengan perubahan mentalitas yang berasionalisasi dari manifestasi adanya kesadaran terhadap gagasan agama Islam yang progresif dan moderat.
Konsep idealisme Ahmad Dahlan dalam teorema seputar emansipasi perempuan, dan feminisme memiliki dua sumber landasan yang menjadi acuannya. Seperti R.A. Kartini seorang tokoh emansipasi perempuan yang mengusung tentang kesetaraan hak-hak perempuan dengan laki-laki. Lalu juga Aisyiyah R.A. seorang istri Nabi Muhammad Saw. Yang berperan sebagai seorang muhaddis berjiwa progresif, dan aktif dalam panggung sosial keagamaan.
Pemilihan sosok Aisyiyah sebagai kiblat utama perempuan Islam yang moderat dinilai penting untuk menjadi tolak ukur dalam gagasan feminisme Muhammadiyah. Usaha Ahmad Dahlan untuk menjunjung status perempuan di masyarakat telah menimbulkan adanya kontradiksi pada masanya. Karena memberikan hak pendidikan tertinggi kepada para perempuan. Karena seperti yang sudah kita ketahui bahwa pada saat itu konteks pendidikan tertinggi hanya berlaku untuk laki-laki pribumi saja.
Adapun aspek selanjutnya yang Ahmad Dahlan junjung melalui ketegangan dengan kalangan konservatif. Yakni mendorong perempuan untuk mahir mengendarai sepeda sebagai sarana memperoleh wawasan, dan pengetahuan secara lebih luas.
Pemikiran Ahmad Dahlan terkait Isu Perempuan
Sepintas apabila ditinjau dalam perspektif yang subjektif, ide-ide pemikiran Ahmad Dahlan terhadap hak-hak perempuan dalam bidang pendidikan dinilai cukup sederhana. Tidak akan menimbulkan problema yang berarti. Namun realitanya, pada saat itu banyak kecaman dari para Ulama yang tidak setuju dengan pemikiran Ahmad Dahlan tersebut.
Terdapat anggapan bahwa dalam wujud pembentukan organisasi Aisyiyah terpengaruhi karena adanya faktor fenomena modernitas pada era kolonial. Pembentukan karakter perempuan yang berpendidikan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengikuti langkah kaum laki-laki, yang lebih unggul dalam pembentukan organisasi, seperti Budi Utomo.
Berdasarkan pada eksistensi dan pengaruh organisasi Budi Utomo dalam cakupan kaum pria, hal tersebut menginspirasi Ahmad Dahlan dan Siti Walidah untuk membentuk kelompok “Sopo Tresno” sebagai sarana dan jalan bagi kaum perempuan untuk memperluas wawasan dan pengetahuan. Kita ketahui bahwa kelompok pendidikan khusus kaum perempuan tersebut merupakan cikal bakal terbentuknya organisasi Aisyiyah yang berada di bawah naungan Muhammadiyah.
Sebagai wujud keberadaan mereka dalam gerakan nasionalisme. Hal itu dapat kita ketahui dengan adanya kongres perempuan pertama yang terpimpin oleh kaum perempuan. Ahmad Dahlan juga menyampaikan bahwasannya kepentingan domestik jangan menjadi dinding penghalang untuk menjalankan tugas dalam menghadapi masyarakat. []