Mubadalah.id – Hari ini, esensi busana syar’i masih saja kabur di mindset masyarakat kita. Tidak hanya satu-dua kali saya mendengar anggapan teman bahwa pakaian perempuan itu harus menutup sekujur tubuh, jilbab panjang sedengkul, dan cadar sebagai penyempurna. Apa saja nilai jilbab yang jarang muslimah ketahui?
Lantas mereka mengklaimnya sebagai pakaian syar’i, selainnya nggak nyar’i. Di horizon lain, semakin membudaya tren jilbab berkombinasi dengan busana ketat, transparan, serba menonjolkan lekuk tubuh. Soal ini, Islam mengklarifikasi, bagaimana berbusana yang syar’i itu, apa pula nilai yang harus dijaga di dalamnya.
Jilbab secara bahasa, diartikan dengan baju kurung, krudung/khimar, atau segala jenis pakaian yang menutup seluruh badan. Diadopsi oleh KBBI untuk dimaknai sebagai kerudung an sich. Hanya ada satu kata jilbab dalam Alquran, dalam surat al-Ahzab ayat 59:
قل ياآييا أيها النبي قل لأزواجك وبناتك ونساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدى أن يعرفن فلا يؤذين
“Wahai Nabi! katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu.”
Jilbab sudah biasa di kalangan Arab jauh hari sebelum ayat ini turun, dan dapat terdeteksi sejak membacanya. Perhatikan kalimat “yudniina alaihinna min jalaabibihinna” (‘mengulurkan jilbab’ ke seluruh tubuh). Perintah ini menunjukkan bahwa jilbab sudah membudaya di kalangan perempuan Arab. Hanya saja, style jilbab pada waktu itu belum mendukung pesan yang terkandung di dalamnya.
Imam Abul Abbas dalam Tafsirnya menjelaskan bahwa dahulu, style berbusana perempuan budak maupun merdeka sama saja. Saat keluar rumah, mereka sama-sama menyingkap krudungnya hingga lehernya kelihatan –nampak lekuk dadanya pula, bahkan-.
Sampai suatu ketika, istri Nabi keluar rumah di malam hari untuk buang hajat, mereka digoda oleh lelaki hidung belang, karena mereka dikira budak.
Masyarakat Arab dahulu yang kental dengan sistem patriarki, perempuan merdekanya identik dengan perempuan rumahan, tertutup, terhormat, dan perempuan budaknya identik dengan perempuan pekerja, mondar-mandir ke pasar, hina dina. Karena itu, ayat ini turun untuk mempertegas penggunaan jilbab yang aman bagi perempuan merdeka, sekaligus pembeda strata perempuan budak dan merdeka.
Gaya berpakaian muslimah saat ini yang wah, bermacam-macam sekali, mulai dari gamis, jilbab besar, plus cadarnya, celana, t-shirt, dan pashmina, tentu tidak boleh lepas dari pesan yang terkandung dalam ayat jilbab. Demi mensinergikan konteks dengan nilai yang menjadi esensi legitimasi jilbab, agar tetap selaras dan senafas antara niat dan tindakannya. Saya melihat paling tidak terdapat empat pesan yang harus dijaga.
Pertama, melestarikan maslahat dan membumihanguskan mafsadat, sebagaimana Ibnu ‘Ashur menyebutkan dalam tafsiran al-Ahzab 59 “iqamah al-masalih wa imatat al-mafasid”. Kalau milah-milih baju pertimbangkan dulu efek baik-buruknya bagi lingkunganmu. Seperti contoh, disayariatkannya mengulurkan jilbab itu sendiri agar aman dari pelecehan seksual.
Kedua, menutup kemungkinan potensi buruk yang dikhawatirkan akan memicu hal negatif. Hal ini sebagai langkah preventif saja meskipun sebenarnya potensi buruk seperti pelecehan seksual atau perkosaan tidak disebabkan oleh pakaian seseorang. Dalam hal ini, peristiwa buruk yang terjadi tidaklah disebabkan gaya berpakaian korban.
Ketiga, tidak bermewah-mewahan. Pesan ini tercermin dalam surat An-Nur ayar 31
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
Terlepas dari perbedaan para mufassir tentang apa saja kategori ‘yang biasa nampak’, penggalan ayat tersebut menunjukkan esensi berpakaian itu untuk menutup aurat, menghalangi yang tidak baik tampak di pandangan orang. Ini dia yang sudah kabur di perspeksi kebanyakan kita. Budaya matrealistik membuat syar’i sekedar tampilan saja. Hati dan perilaku tak turut mencerminkannya.
Kebanyakan kita hari ini lebih suka jor-joran style jilbab, model mana yang lebih nyar’i, atau kadangkala model mana yang lebih modis dan kekinian. Semua itu di luar esensi yang menjadi muasal merangkap tujuan ayat jilbab itu sendiri, yang demi mewujudkan keamanan dan menghindari pelecehan seksual, berseru kepada kita agar berbusana yang sopan dan santun.
Keempat, universalitas hukum Islam. Ibnu ‘Ashur menjelaskan bahwa hukum Islam tidak berorientasi pada bagaimana jenis pakaian, rumah, atau kendaraan orang yang seharusnya. Kultur masyarakat tertentu tidak boleh dibebankan kepada ‘orang lain’ sebagai sebuah legislasi, bahkan tidak juga kepada individu dalam masyarakat yang memproduksi kultur itu sendiri. Kemajemukan yang sudah menjadi hukum alam jangan terus-menerus dijadikan ajang pertikaian, yang kemudian memecah-belah kesatuan kita sekalian.
Kita ndak perlu ribet nyari model baju yang lebih syar’i. Ndak usah ribet pula berkomentar tentang cara perpakaian orang lain, lebih-lebih mengeluarkan judgement yang tidak-tidak, hanya karena model bajunya nggak sama. Itu terlalu lebay dan tiada guna, tur mencederai hak kebebasan berekspresi. Sepanjang ketiga nilai sebelumnya sudah dipegang teguh dengan baik, mau model bagaimana pun pakaiannya terserah anda. Semua serba boleh-boleh saja. Wallahu a’lam bishshawab.[]