Mubadalah.id – Akhir-akhir ini, jagat Indonesia dihebohkan dengan beberapa kasus terorisme yang terjadi di beberapa wilayah. Selain aksi terorisme yang membuat masyarakat luas mengutuk perbuatannya, ada hal lain yang membuat heboh dan menjadi perbincangan public, yakni pelaku penyerangan di Mabes POLRI Jakarta merupakan perempuan yang termasuk usia milenial.
Peristiwa ini mendorong teman-teman Peace Leader Indonesia, sebuah komunitas anak muda yang menyuarakan perdamaian dan toleransi lintas agama, untuk mengenal lebih dalam tentang makna perdamaian dari sebuah pertemuan.
Dengan perantara Koordinatornya, Redy Saputro, teman-teman Peace Leader Indonesia dari berbagai agama berangkat menuju Tanoker di Ledokombo – Jember untuk mengenal perdamaian yang dibangun dari desa oleh para fasilitator, seperti Ibu Farha Ciciek dan Bapak Suporahardjo. Kegiatan pengenalan tentang perdamaian ini dikemas dalam acara Ngopeace (Ngobrol Perdamaian) bersama Ibu Farha Ciciek yang dikenal sebagai perempuan penggerak perdamaian.
Obrolan kala itu diawali dengan pengenalan terhadap komunitas Tanoker yang terbentuk atas kepedulian terhadap anak-anak di sekitar desa yang yatim-piatu secara sosial. Mereka ditinggalkan orangtua untuk bekerja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kemudian, Tanoker menjadi teman dan tempat tumbuh bagi anak-anak di sekitar desa.
Beliau mengatakan bahwa peran perempuan sangat penting demi terciptanya perdamaian, tetapi seringkali peran perempuan malah ditiadakan. Padahal perempuan bisa menjadi subjek atau penggerak dalam membangun perdamaian. Bukti nyatanya adalah Ibu Farha Ciciek bersama Tanoker Ledokombo yang dikelolanya.
Tanoker diambil dari bahasa ibu setempat yang berasal dari kata “ker-tenoker” yang berarti kepompong, dan nama itu dipilih sendiri oleh anak-anak desa. Ikon Tanoker ialah egrang sebagai cerminan dari kehidupan yang seimbang antara jiwa dan raga, orangtua dan anak, laki-laki dan perempuan, dan bisa dimaknai lebih luas lagi. Selain itu, ikon Tanoker lainnya adalah anak laki-laki yang bernama Kacong (panggilan Bahasa Madura untuk anak laki-laki) dan Gendo (panggilan Bahasa Jawa untuk anak perempuan) karena 2 kebudayaan suku tersebut berada di tanah Jember.
Kemudian, Tanoker dikenal dengan kampung wisata perdamaian. Anak-anak desa diajarkan kesenian tradisional, keterampilan, dan banyak hal lain yang merupakan bentuk pengasuhan bagi anak-anak yang ditinggal orang tuanya sebagai pekerja migran atau domestik. Juga, komunitas ini sebagai bentuk pencegahan agar anak-anak tidak terjerumus pada pergaulan yang salah apalagi mengarah pada tindak kekerasan atau terindikasi ekstrimisme. Program yang didukung oleh Ibu Farha Ciciek ini sangat berpengaruh bagi perkembangan desa Ledokombo – Jember.
Oleh karenanya, peran Ibu Ciciek sebagai perempuan sangat kuat dalam pergerakan komunitas Tanoker. Maka dari itu, beliau berpesan bahwa perempuan harus berdaya untuk bisa memberdayakan agar bisa bersikap kritis dan terhindar dari tindakan radikal. Sayangnya, kejadian pada awal Bulan April kemarin, pelaku terorisme dilakukan oleh perempuan dengan sangat berani mengacungkan senjata api ke Mabes POLRI Jakarta dan kasus yang lain justru mati karena bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar.
Peristiwa ini menjadi keprihatinan tersendiri. Ibu Ciciek mengatakan bahwa tindakan berani mati dengan dalih jihad adalah sejarah bangsa manusia lama yang kelam dan harus ditinggalkan. Saat ini, setiap manusia harus berani hidup dan akan lebih baik lagi jika bisa menghidupi sesamanya, menjadi pribadi yang bermanfaat.
Khususnya perempuan, mereka memiliki banyak kesempatan untuk memberikan kehidupan pada dunia. Dalam diri perempuan terdapat rahim, dan ketika mereka memilih untuk hamil, melahirkan, menyusui, serta mendidik anak yang juga menjadi tanggung jawab laki-laki. Dengan pola asuh yang asih, orangtua bisa menjadi motor perdamaian bagi keluarganya. Dari proses semua itu, Ibu Ciciek menganggap bahwa hidup adalah suatu kemuliaan.
Maka dari itu, Tanoker telah melebarkan sayapnya dengan mendirikan pendidikan alternatif tidak hanya untuk anak-anak, tapi juga para bapak, ibu, kakek dan nenek di sekitar desa tersebut. Ada Sekolah Pak-Bapak sebagai wadah bagi para bapak di sekitar Kecamatan Ledokombo untuk belajar menjadi manusia yang bertakwa dalam kehidupan modern serta pembinaan keluarga yang sakinah.
Dalam kegiatannya, para bapak tinggal berkumpul bersama yang biasanya diadakan bersamaan dengan agenda rutinan majelis dzikir/ manakiban dan pertemuan lainnya. Setelahnya, para bapak membuka forum diskusi santai untuk membahas fenomena sosial yang terjadi di lingkungan sekitar dan pola pengasuhan yang baik, seperti membangun komunikasi dengan makan bersama anak.
Tak hanya itu, di Kecamatan Ledokombo juga ada Sekolah Bok-Ebok dan Sekolah Yang-Eyang yang beranggotakan para ibu dan para nenek dengan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pendidikan keluarga dan pola pengasuhan yang positif di era digital ini. Ketiga sekolah tersebut dimotori oleh Tanoker yang dipimpin oleh seorang perempuan, Dra. Farha Abdul Kadir Assegaf, M.Si atau yang lebih akrab disapa dengan Ibu Farha Ciciek.
Komunitas yang didukung penuh oleh Ibu Ciciek bekerjasama dengan kementarian pendidikan dan pihak-pihak terkait yang memiliki visi untuk mewujudkan wilayah Ledokombo dan bisa lebih luas lagi menjadi tempat yang ramah anak berbasis budaya dan sebagai tempat berkumpulnya berbagai kalangan dari berbagai latar belakang untuk bersama-sama menciptakan pola pengasuhan yang positif di ranah keluarga.
Dalam akhir Ngopeace siang itu bersama Ibu Ciciek, disimpulkan bahwa untuk mewujudkan perdamaian adalah kewajiban seluruh elemen masyarakat, seperti aparat negara, tokoh agama, dan orangtua khususnya karena berangkat dari lingkungan terkecil masyarakat yakni keluarga, terutama perempuan. Mereka punya peran penting untuk mengambil bagian menjadi penggerak perdamaian. []