Mubadalah.id – Apakah semua orang yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender adalah feminis?
Senada, apakah semua orang yang membela kaum tertindas (proletar) agar memperoleh keadilan adalah marxis?
Ini pertanyaan sederhana, tapi penting untuk mengurai statemen Gus Yahya (KH Yahya Cholil Staquf), Ketua Umum PBNU, yang sedang viral.
Atau pertanyaan, apakah semua orang yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender disebut feminis?
Atau, apakah orang yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender hanya seorang feminis?
Sependek pengetahuan saya, Kanjeng Nabi Muhammad SAW itu sepanjang hidupnya memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender. Bahkan, jelas-jelas berpihak pada perempuan. Tidak hanya memperjuangkan hak-haknya, tetapi juga eksistensinya, baik secara sosial, budaya, politik, maupun teologis.
Padahal istilah feminisme –apalagi gerakan dan ideologinya– pada saat itu alih-alih sudah lahir, terpikirkan pun tampaknya belum sama sekali.
Lalu, apabila ada pengikut Nabi Muhammad SAW yang memperjuangkan hak-hak perempuan, kesetaraan dan keadilan gender sekarang, apakah dia seorang feminis atau seorang muslim(ah) atau seorang muslim(ah) yang feminis atau feminis yang muslim(ah)?
Demikian juga dalam konteks pembelaan terhadap kaum tertindas (proletar).
Nabi Saw Membela Orang Tertindas
Lagi-lagi sependek pemahaman saya, sangking intensnya Kanjeng Muhammad SAW membela orang-orang tertindas, lemah, dan terpinggirkan, beliau dijuluki sebagai bapaknya anak-anak yatim. Ajaran zakat adalah contoh dedikasi Islam yang kuat dalam membela kaum tertindas (mustadl’afin).
Lalu, apabila ada pengikut Nabi Muhammad SAW yang membela kaum tertindas (proletar), buruh, nelayan, anak jalanan, dll, apakah dia seorang marxis ataukah seorang muslim(ah) atau seorang muslim(ah) yang marxis atau marxis yang muslim(ah)?
Saya pernah menulis dan menyatakan bahwa jika semua orang yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender adalah feminis, maka Nabi Muhammad SAW adalah seorang feminis sejati jauh sebelum gerakan dan ideologi feminisme lahir.
Nah, setahu saya, Gus Yahya bersama Gus Dur juga membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan, ikut serta dalam restorasi Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Konsep dan paradigma gender pertama kali masuk dalam tubuh negara. Beliau juga tidak melakukan kekerasan dan tidak mendiskriminasi perempuan, dan juga tidak poligami.
Gus Yahya adalah Ketua Umum PBNU pertama yang memasukkan perempuan dalam jajaran Pengurus Harian Tanfidhiyah PBNU. Tidak hanya satu orang, tapi 4 orang sekaligus. 2 orang perempuan sebagai Ketua PBNU dan 2 orang perempuan sebagai Wakil Sekjen PBNU.
Perempuan Masuk Jajaran Pengurus NU
Perempuan masuk dalam jajaran pengurus Syuriyah, Mustasyar, dan Lembaga di lingkungan PBNU itu sejak lama terjadi, tapi bertengger di jajaran Pengurus Harian Tanfidhiyah PBNU baru pertama kali pada era Gus Yahya.
Oleh karena itu, dalam konteks pernyataan Gus Yahya, saya memahami beliau sebagai Ketua Umum PBNU menghendaki bahwa semua pembelaan dan perjuangan kesetaraan dan keadilan gender yang dilakukan NU harus berangkat dan didasarkan pada tradisi keislaman ala Ahlissunnah Wal Jamaah an-Nahdliyah, bukan dari ajaran atau paham lain.
Bagaimana dengan feminisme yang juga memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender?
Pemahaman saya, Gus Yahya tidak melarangnya –karena juga tidak punya otoritas untuk itu. Silahkan feminisme berjalan dan bergerak memperjuangkan hak-hak perempuan, kesetaraan dan keadilan gender.
Tapi, perjuangan NU –termasuk Fatayat dan Muslimat– dalam kesetaraan dan keadilan gender tidak boleh didasarkan pada filsafat dan paradigma lain, tapi harus didasarkan pada aqidah dan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah an-Nahdliyah.
Meskipun sama-sama memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender, titik berangkat inilah yang membedakan gerakan feminisme dan NU.
Pejuang Kesetaraan Gender
So, bagi NU, memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender adalah bagian dari implementasi aqidah dan ajaran Islam. Bukan hanya perjuangan sosial, tetapi perjuangan keagamaan yang bernilai ibadah.
Lalu, apakah NU anti feminisme? Jawabannya tidak. Apakah NU harus mengikuti feminisme? Jawabannya juga tidak. Karena, NU bukan feminisme, dan feminisme juga bukan NU.
Apakah sebagian perjuangan NU sejalan dengan feminisme? Apakah perjuangan feminisme sejalan dengan NU? Jawabannya ada irisan yang sama.
Apakah NU bisa bekerjasama dengan kaum feminis? Tentu saja bisa dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar aqidah dan ajaran Islam ala Ahlissunnah Wal Jama’ah an-Nahdliyah.
Apakah NU dan feminisme bisa saling bertukar pengetahuan dan pengalaman? Tentu saja menjadi suatu keniscayaan untuk merespons tantangan kehidupan yang kompleks.
Dengan kata lain, Gus Yahya ingin mengatakan, memperjuangan kesetaraan dan keadilan gender adalah keharusan, tapi mengikuti feminisme adalah pilihan.
Dalam kenyataannya, NU dan feminisme tidak seperti air dan minyak, namun seperti air dan coffee, apalagi bila ditambah gula aren. Hmmmm…. Srupuuutt… Itulah kehidupan, bisa saling bertukar dan berbagi, namun bisa juga saling mengkritik dan membantah.
Saya pernah dimintakan oleh KOPRI (Korp PMII Putri) merumuskan kerangka pendidikan kader Feminis Aswaja. Sungguh sangat menantang, mendialektikakan feminisme dan Ahlussunnah Wal Jamaah an-Nahdliyah. Hasilnya sudah disampaikan dalam beberapa pertemuan kaderisasi KOPRI dan PMII
Feminis NU
Toh, sekarang ini terdapat banyak orang NU yang feminis dan feminis yang NU. Mereka melakukan dialektika dalam dirinya. Tidak seperti air dan minyak, tapi air dan coffee dicampur gula aren. Artinya, dunia selalu berkembang dan berubah, dinamis.
NU sebagai pemikiran dan gerakan terus berkembang dan beradaptasi, dan feminisme sebagai pemikiran dan gerakan juga terus berkembang dan beradaptasi. Bukan tidak mungkin keduanya terjadi akulturasi dan inkulturasi terus menerus seiring dengan tantangan kehidupan.
Oleh karena itu, janganlah pernah meletakkan “titik” dalam pemikiran dan gerakan sebelum titik kehidupan terjadi. Semuanya akan terus berubah dan bertransformasi.
Ini kira-kira tafsiran saya atas pernyataan Gus Yahya. Tentu saja murad yang sebenarnya hanya Allah yang a’lam dan Gus Yahya yang mengerti. []