Mubadalah.id – Dalam beberapa bulan terakhir, jagat perfilman Indonesia menghadirkan banyak karya ciamik yang tak boleh dilewatkan. Di bulan Januari ini, kita disuguhkan oleh film keluarga besutan Gina S. Noer yang mengangkat tema kompleksitas hubungan keluarga di kala krisis, utamanya saat pandemi Covid-19. Film Cinta Pertama, Kedua, Ketiga ini bergenre drama roman, yang awalnya mengetengahkan cerita klasik orang tua dan anak yang diperankan oleh Angga Yunanda (sebagai Raja), dan Slamet Rahardjo (sebagai Dewa).
Raja adalah anak bungsu dari tiga bersaudara yang tinggal bersama ayah dan neneknya. Ia yang mulai menginjak usia dewasa, dimintai tolong oleh kedua kakak perempuannya, Ratu dan Suri (dibintangi oleh Widi Mulia dan Ersa Mayori) yang sudah tinggal terpisah dengan keluarga masing-masing.
Hubungan Raja dan Dewa ternyata dari hari ke hari makin kompleks saat Dewa terindikasi mengidap demensia yang mengakibatkan penurunan daya ingat dan daya pikir. Hal tersebut terlihat dari bagaimana ia berulang kali lupa meletakkan jam tangannya di sembarang tempat, termasuk kamar Raja, hingga sempat menyebabkan kesalahpahaman karena Raja melihat kejadian tersebut sebagai bukti bahwa sang ayah melanggar privasinya karena masuk ke kamar Raja tanpa izin.
Tak hanya itu, Raja yang belum memiliki pekerjaan tetap dan masih berprofesi sebagai supir layanan taksi online, membuat ayahnya kesal. Ia berulangkali meminta anak bungsunya tersebut mendaftarkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) karena penghasilannya lebih stabil dan di kala pandemi, akan jauh lebih aman dari pemecatan, serta ke depan ketika pensiun, tidak perlu was-was.
Namun nasihat dari Dewa hanya melintas sekilas di telinga Raja. Baginya, ia lebih tertarik menggeluti pekerjaan yang sesuai passion personal-nya dibanding mengikuti keinginan orangtuanya, yang ia anggap kolot dan sudah ketinggalan zaman. Dari sini, komunikasi antara Raja dan Dewa terus memburuk. Raja terus menerus mengeluhkan sang ayah yang terus berlagak seperti anak kecil, manja dan mau dituruti terus semua keinginannya. Ia juga ingin hidup mandiri seperti saudara kandungnya yang tak perlu direpotkan oleh tingkah polah sang ayah.
Tapi keberatan Raja juga menjadi angin lalu bagi Ratu dan Suri. Mereka telah sibuk dengan keluarganya sendiri dan hanya bisa meminta Raja untuk bertahan serta bersabar. Berbeda dengan Raja yang mulai berjarak dengan ayahnya, Asia, seorang perempuan paruh baya yang bekerja sebagai seniman, menempatkan ibunya (bernama Linda, diperankan oleh Ira Wibowo) sebagai permata hati satu-satunya.
Setelah lepas dari bapak kandung yang abusif, Asia berjanji untuk mendampingi Linda hingga maut memisahkan mereka. Meski suatu kali, Linda pernah meminta Asia untuk mengembangkan karier dan tak perlu menunggunya jika ada kesempatan. Namun hal itu justru ditampik oleh Asia, meski pendapatannya semakin menurun ketika wabah, ia tetap bertahan untuk menemani sang ibu yang sakit-sakitan karena kanker payudara.
Walau memiliki pandangan berbeda terhadap orang tua, Raja dan Asia kemudian dipertemukan oleh takdir saat mengantar orang tua tunggal mereka ke rumah sakit. Dari sana lah konflik mulai muncul, karena pertemuan singkat saat check-up membuat Dewa jatuh hati pada Linda, dan sebaliknya. Di saat yang sama, Raja pun diam-diam mengagumi Asia akan ketangguhan dan kasih sayangnya pada sang mama.
Meski dikritik karena konfliknya kurang menggigit, namun film ini memiliki kelebihan dalam membangun dialog yang sangat lekat dengan realita yang kita hadapi sekarang: bagaimana pandemi menjungkirbalikkan kehidupan banyak orang dan kita dipaksa untuk bertahan dari hari ke hari, seperti Raja dan Asia yang dihadapkan berbagai permasalahan dalam hidup, namun mereka tak berhenti untuk bergerak.
Memang dalam beberapa adegan digambarkan mereka kalut, sedih hingga bingung atas solusi yang perlu diambil. Namun dalam segala kesulitan yang ada, film yang diproduksi Kharisma Starvision Plus tersebut mampu memperlihatkan bahwa keluarga adalah tempat berpulang. Seberapa kesal kita terhadap mereka, mau tak mau, mereka akan menyambut dan menerima kita dengan tangan terbuka.
Hal lain yang menarik dalam film besutan Gina ini adalah penggambaran detail dalam suatu adegan, salah satunya bagaimana kedekatan Dewa dengan kucing kemudian menghadirkan adegan-adegan menyentuh termasuk bagaimana hewan kesayangan Dewa tadi membantu Raja menemukan sang ayah ketika tersesat akibat gejala pikun yang ia alami.
Tak hanya itu, dalam beberapa scene, kita juga disajikan beragam dialog renyah berkenaan dengan relasi kesalingan antar anggota keluarga, seperti ungkapan kekesalan Raja pada Dewa yang kerap ngeyel dalam penggunaan masker, dan bagaimana Dewa terus memaksa untuk mencarikan pekerjaan Raja yang menurut Dewa terlalu dipaksakan.
Adegan-adegan tadi seakan menyuguhkan cerminan hubungan orangtua dan anak yang diuji di kala wabah melanda. Belum lagi, kondisi Dewa yang harus bertanggungjawab secara finansial kepada 2 generasi sekaligus: anak sekaligus ibu tunggalnya. Nasib yang juga dialami oleh banyak individu terutama saat pekerjaan sulit diperoleh saat pandemi.
Poin plus terakhir dari film Gina yaitu pesan layanan masyarakat yang secara manis dan smooth disajikan tanpa adanya kesan menggurui. Dari nasihat agar menjaga jarak, memakai masker, hingga menghindari pinjaman online. Semua tersampaikan dengan jelas dan apik, meski konflik yang terbangun dari semua masalahnya belum optimal. Walau begitu, apresiasi tinggi perlu kita sampaikan kepada tim produksi yang telah memberikan ‘suplemen’ bergizi usai layar bioskop dibuka kembali. Oh ya, bagi yang belum nonton, mohon siapkan banyak tisu ya, banyak adegan yang bikin mewek! []