Mubadalah.id – Anuradha (Kajol) yang sedang mementaskan tarian dikejutkan oleh berita bahwa ibunya, Nayantara (Tanvi Azmi) tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri dalam sesi wawancara dengan mahasiswa Ph.D. Selama Anu menunggu ibunya yang koma, terurailah cerita masa lalu penyebab buruknya hubungan mereka. Kebencian itu bahkan membuat Anu tak mau lagi memanggilnya ibu.
Premis inilah yang mendasari film Tribhanga: Tedhi Medhi Crazy yang menghadirkan tokoh perempuan tiga generasi. Ada Nayan, seorang penulis yang banyak mengangkat tema feminisme. Ia punya putri bernama Anu, seorang seniman di bidang seni peran dan tari. Anu mempunyai seorang putri bernama Masha (Mithila Palkar) yang memilih menikah muda dan menjadi ibu rumah tangga.
Ketiga perempuan dengan latar belakang budaya India ini, mempunyai karakter kuat dengan mengambil keputusan berbeda dalam menghadapi permasalahan hidupnya. Kenyataannya, permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi ini masih relevan dengan kehidupan perempuan hingga hari ini.
Nayantara: Menyoal Peran Perempuan di Ruang Domestik dan Publik
Menulis adalah dunia Nayan. Dengan menulis, Nayan bisa bebas mengungkapkan pemikiran-pemikirannya. Karyanya mendapatkan apresiasi dari banyak pembaca dan rekan sesama penulis, bahkan membawanya meraih banyak penghargaan.
Sayangnya, semua pencapaiannya ini tidak mendapatkan apresiasi dari ibu mertuanya. Bagi ibu mertuanya, penghargaan itu tidak ada artinya. Menurut ibu mertuanya, yang paling penting bagi perempuan ialah semua urusan rumah tangga terlaksana.
Ketika Nayan meminta kepada suaminya untuk pindah rumah, sang suami menolak dengan alasan ia adalah anak satu-satunya. Ketiadaan support system untuk berkarya ini membuat Nayan mengambil keputusan untuk berpisah dari suaminya.
Sebagai bentuk kritik atas sistem patriarki di masyarakat, Nayan menempuh jalur hukum untuk mengubah nama belakang anak-anaknya dengan nama belakangnya. Menurutnya, ibu yang mengandung dan melahirkan lebih berhak mewariskan nama keluarga daripada laki-laki yang hanya menyumbang sperma.
Anuradha: KDRT dan Apatisme terhadap Lembaga Pernikahan
Tidak lama setelah berpisah, Nayan menikah lagi dengan seorang fotografer bernama Vikram. Peristiwa ini merupakan awal petaka bagi Anuradha. Nayan seolah menutup mata atas perbuatan Vikram terhadap Anu sehingga Anu semakin membencinya.
Anu dan Robindro juga harus menghadapi tekanan dari masyarakat perihal pengubahan nama keluarga yang tak lazim di India. Mereka berdua juga kecewa atas sikap ayahnya yang tak lagi mengacuhkan mereka berdua setelah perpisahan itu.
Mendapati kegagalan dua pernikahan ibunya, Anu pun tak lagi percaya terhadap lembaga pernikahan. Mengikatkan diri pada satu orang seumur hidup merupakan hal tak masuk akal baginya. Terlebih lagi, Anu merasa keluarganya tak memberikan perlindungan dan kasih sayang untuknya. Dalam kekosongannya, Anu menemukan jati dirinya dengan menjadi seniman film.
Setelah itu, Anu menempuh cara hidup melawan norma yang berlaku di masyarakatnya, yaitu hidup seatap tanpa ikatan pernikahan dengan seorang pria Rusia. Meskipun demikian, Nayan menghormati keputusan Anu.
Sayangnya, lagi-lagi Anu harus mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga. Hal itu terasa amat berat karena Anu sedang dalam keadaan mengandung. Sekali lagi Anu kecewa karena ibunya tak bisa membela dirinya yang mengalami tindak kekerasan.
Masha: Fatherless dan Kontrol atas Sistem Reproduksi
Kehadiran Masha dalam hidup Anu merupakan setitik harapan. Ia bisa merasakan cinta yang tulus lewat relasi dengan anaknya. Ia pun berharap anaknya akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari dirinya. Namun, ketiadaan sosok ayah menyebabkan Masha mendapatkan tekanan yang besar dari masyarakat. Cap sebagai anak haram harus ia hadapi setiap hari.
Profesi Anu sebagai seniman film dan perilakunya bergonta-ganti pasangan juga menghadirkan stigma bahwa Masha adalah anak pekerja seks komersial. Pedihnya, pernyataan itu terlontar dari gurunya, sosok yang seharusnya memberikan rasa aman di institusi pendidikan.
Pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan itu membuat Masha merindukan keluarga yang hangat. Ia tidak ingin anaknya kelak tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup. Ia pun mengambil keputusan besar, yakni menikah muda dan menjadi ibu rumah tangga.
Keinginan Masha untuk memberikan keluarga yang untuk anaknya ini juga harus ia bayar dengan harga yang mahal. Ia harus masuk ke keluarga yang konservatif dan membatasi ruang geraknya sebagai perempuan. Tak hanya mengatur caranya berpakaian, mertuanya juga melakukan objektifikasi atas dirinya sebagai “mesin reproduksi”.
Ketiadaan cucu laki-laki di keluarga suaminya menghadirkan tuntutan baginya untuk melahirkan anak laki-laki. Keluarga suaminya masih beranggapan bahwa hanya anak laki-laki yang dapat memberikan kebanggaan bagi keluarga. Jika anak dalam kandungan Masha ternyata perempuan, Masha dan suaminya harus mencari cara untuk menghadapi keluarganya.
Upaya Memutus Trauma
Menilik latar belakang sutradara film Tribhanga: Tedhi Medhi Crazy, yaitu Renuka Shahane yang seorang perempuan dan punya ibu seorang penulis, tidak heran jika ia mampu mengangkat masalah perempuan dengan baik melalui film ini.
Tiga perempuan dalam film Tribhanga: Tedhi Medhi Crazy ini merepresentasikan perempuan yang utuh, punya sisi kuat sekaligus sisi rapuh. Ketiganya tidak hadir secara hitam-putih sebagai tokoh antagonis ataupun protagonis.
Nayan berusaha memberikan kebebasan kepada Anu untuk tidak mengikatkan diri pada institusi pernikahan. Meskipun tindakan cukup radikal, sesungguhnya ia masih punya sisi moderat dengan menghormati institusi pernikahan.
Sementara itu, Anu yang mengalami banyak luka di masa kecilnya memilih menjadi seniman dan hidup tanpa ikatan pernikahan. Tindakan Anu merupakan bentuk perlawanan terhadap norma ketimuran. Namun, di balik tindakan rebel-nya, Anu menghormati pilihan Masha untuk menikah muda dengan laki-laki dari keluarga konservatif.
Pilihan Masha ini seolah “meruntuhkan” semua perjuangkan ibu dan neneknya. Sementara bagi Masha, ini adalah langkah untuk memulai semua dari awal, dengan membesarkan anak di tengah keluarga yang ideal menurut masyarakat. Ini merupakan bentuk kepasrahan Masha yang tak mampu mengubah kondisi masyarakat.
Baik Nayan, Anu, maupun Masha adalah sosok ibu yang tidak sempurna. Namun, mereka mengusahakan yang terbaik untuk memutus trauma agar tidak terwariskan kepada anaknya. Sayangnya, usaha itu tidak serta-merta mengobati luka pada dirinya sendiri. []