Mubadalah.id – Pada awal Mei 2025, Presiden Prabowo berencana menaikkan gaji hakim. Salah satu alasan utamanya agar para pengadil tersebut tidak bisa disogok sehingga hukum bisa ditegakkan sebaik-baiknya. Rencana ini lalu berubah jadi kenyataan pada bulan Juni 2025. Kala itu, di Kantor Mahkamah Agung, Prabowo mengumumkan kenaikan gaji hakim 280 persen. Berita ini tentu menjadi angin segar bagi para hakim di Indonesia.
Setidaknya Prabowo juga telah memenuhi janji kampanye-nya. Saya masih ingat, saat masa kampanye Pemilu 2024 lalu, Capres nomor urut 2 ini pernah mengungkapkan bakal menaikkan gaji pejabat publik jika terpilih menjadi Presiden sebagai upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Janji itu kini sudah ditepatinya, alias Prabowo tidak omon-omon. Langkah yang saya kira harus kita apresiasi setinggi langit bahkan sampai langit ketujuh. Sebab, kita tahu sendiri, banyak pemimpin yang berkali-kali mengiming-imingi janji manis waktu kampanye, tapi setelah terpilih, eh malah “menghilang” dan tiba-tiba muncul di berita sudah memakai rompi oranye.
Kebijakan menaikkan gaji pejabat adalah di antara janji kampanye Prabowo yang sudah atau perlahan tertunaikan, selain tentu saja program andalan Makan Bergizi Gratis (MBG). Tapi tunggu dulu. Untuk yang saya sebutkan di awal, kita perlu memikirkannya lebih dalam lagi, deh!
Gaji Kecil Rawan Korupsi?
Coba kita pikir dan analisis bersama. Memangnya korupsi terjadi karena gaji pejabat yang kecil? Memangnya pejabat dengan pendapatan setara sultan tidak akan korupsi? Oke deh, kalau begitu kita cek saja rekam jejaknya.
Anda tentu masih ingat Rafael Alun. Pejabat Pajak yang korupsi, yang waktu itu menduduki Kepala Kantor Wilayah DJP. Mengutip Kumparan, Rafael dalam sebulan bisa menerima penghasilan (total gaji dan tunjangan) sebesar Rp 59.953.100 hingga Rp 87.601.700 per bulan. Bayangin, 59 juta koma sekian per bulan. Catat, per bulan bukan per tahun! Banyak, nggak?
Sudah, contohnya satu saja. Kalau saya kasih banyak contoh, artikel ini bisa sangat panjang seperti penantian mu mengharapkan dia. Eaa.
Tanpa banyak data dan fakta, kita mungkin bisa bersepakat kalau korupsi terjadi bukan soal gaji rendah atau tinggi. Nyatanya, banyak pejabat, baik di lingkungan pusat, maupun daerah, bergaji tinggi tapi masih suka korupsi.
Rafael Alun adalah salah satu bukti. Lalu kita berpikir dan bertanya-tanya, apakah kebijakan Prabowo menaikkan gaji pejabat akan berdampak efektif mengurangi praktik korupsi? Apakah tidak ada cara lain untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya?
Hasil Riset Penyebab Korupsi
Beberapa hasil penelitian, salah satunya temuan Juwita dan Yoserizal (2025) dalam artikel berjudul “Faktor Penyebab Meningkatnya Angka Korupsi” menunjukan faktor-faktor penyebab korupsi yang sering muncul. Yakni lemahnya sistem pengawasan, rendahnya tingkat transparansi dalam pemerintahan, rendahnya integritas individu, rendahnya tingkat kesejahteraan pegawai, serta lemahnya penegakan hukum yang berlaku.
Penelitian lain oleh Syarief dan Prastiyo (2018) faktor korupsi terjadi karena dua hal: individu dan struktural. Faktor struktural adalah faktor pengawasan dan lemahnya penegakan hukum. Sedangkan faktor individu adalah rendahnya tingkat moral dan integritas karyawan dan pemimpin. Hasil-hasil riset tersebut menjadi gambaran bahwa korupsi terjadi bukan saja karena rendahnya tingkat kesejahteraan pegawai, namun juga banyak faktor yang melatarbelakanginya.
Jack Bologne (1993), pencetus teori GONE (Greed, Opportunity, Needs, and Exposure), menyoroti keserakahan (Greed) sebagai salah satu faktor penyebab korupsi. Selain itu, beberapa filsuf, seperti mengutip dari Ensiklopedia Filsafat Stanford, berpendapat bahwa korupsi terjadi ketika penguasa memerintah untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, bukan untuk kebaikan bersama dan sesuai dengan hukum.
Hasil riset yang menyatakan bahwa kecilnya kesejahteraan pegawai menjadi pemicu adanya korupsi, setidaknya sudah terbantahkan dengan fakta di lapangan. Bahwa yang gaji pejabat yang tinggi saja masih banyak yang doyan embat duit rakyat. Artinya, kebijakan pak presiden yang ingin menaikkan gaji demi mencegah terjadinya korupsi saya kira perlu dikaji ulang dan dipikirkan matang-matang.
Korupsi Biang Masalah Kemiskinan dan Sosial
Pemerintah harus lebih serius dan tegas lagi dalam menumpas praktik korupsi. Korupsi tidak kita pungkiri berdampak pada tingginya angka kemiskinan yang kemudian merembet pada meningkatnya kriminalitas.
Kriminalitas mencakup berbagai tindakan melawan hukum yang merugikan individu atau masyarakat. Dalam keseharian, tak jarang kita melihat aksi pencurian, perampokan, pembunuhan, penganiayaan, penipuan, dan penyalahgunaan narkoba.
Juni Adri Kasma (2024) dalam artikel yang diterbitkan oleh jurnal Media Riset Ekonomi Pembangunan (MedREP) mengungkap bahwa terjadinya kriminalitas di Indonesia disebabkan oleh 1) kemiskinan, 2) pengangguran, dan 3) pendapatan rendah.
Hasil riset ini sangat masuk akal mengingat orang dengan kondisi finansial yang tak memadai, akan lebih nekat melakukan dosa seperti pembegalan, pencurian, hingga yang paling sadis: pembunuhan, demi mendapatkan harta secara instan.
Ketika banyak orang melakukan aksi begal, mencuri uang dan barang berharga milik orang kaya, membunuh teman demi menguasai hartanya, perampokan, dan lain sebagainya, menandakan tidak saja masih lemahnya sistem keamanan di negara ini. Tetapi juga ada banyak faktor yang mempengaruhi, seperti ekonomi, sosial, psikologis, dan pendidikan. Dan ini perlu jadi perhatian banyak stakeholder, terkhusus oleh pemerintah.
Kejahatan Terstruktur, Sistematis dan Masif
Orang mencuri, membegal, merampok, dan segala bentuk pelanggaran hukum lainnya, tentu tak bisa kita benarkan. Akan tetapi rasanya kurang adil jika kita hanya menyalahkan pelaku kejahatan. Ada kelompok yang sebenarnya, secara tidak langsung, ikut andil mempengaruhi terciptanya sistem kejahatan yang “terstruktur, sistematis dan masif”.
Ambil contoh seperti ini. Logikanya, orang yang melakukan aksi begal dan perampokan, adalah kaum alit yang kesulitan ekonomi. Bisa saja mereka sudah putus asa dengan keadaan. Suasana yang tidak berpihak padanya.
Semisal, ketika mereka sudah berusaha mencari pekerjaan kesana kemari, meminjam uang sana sini untuk bertahan hidup, namun tak ada perusahaan atau orang yang mau menerimanya. Alhasil, dengan kondisi yang diperparah dengan stres misalnya, mereka akhirnya terpaksa melakukan perbuatan keji tersebut.
Dengan cara-cara instan seperti itulah mereka bisa mendapatkan uang untuk bekal makan, meskipun berisiko bakal mendekam di balik jeruji besi. Bagi mereka, tak ada pilihan lain selain merampok, mencuri dan membegal, karena hasilnya lumayan, daripada cuma jadi pengamen yang keuntungannya sedikit.
Maka, pemerintah dalam hal ini perlu menyelamatkan mereka dari lubang-lubang kemelaratan. Tidak mudah, tapi usaha terus menerus harus dilakukan. Ikhtiar mensejahterakan rakyat, bahasa sederhananya.
Kesejahteraan untuk Alit
Janji 19 juta lapangan kerja untuk anak-anak muda harus diwujudkan segera. Akses modal usaha bagi para pemuda juga perlu dibuka selebar-lebarnya, tanpa adanya diskriminasi. Pun, juga akses ke bidang pendidikan.
Biaya sekolah dan pendidikan tinggi yang murah, dan bila perlu gratis, tentu menjadi dambaan masyarakat kelas menengah ke bawah. Sebab, orang yang berpendidikan (tinggi) memiliki potensi besar untuk memajukan ekonomi. Tidak saja bagi dirinya, tetapi juga mengangkat derajat keluarganya.
Kini, pemerintah jangan hanya memikirkan soal gaji pejabat agar tidak korupsi. Fokus juga pada penanganan akar masalah sosial dan tindak kejahatan. Jika boleh ngasih saran, operasional yang akan dipakai untuk menaikkan gaji pejabat, dialihkan saja untuk meningkatkan kesejahteraan bagi para pekerja dengan gaji yang masih di bawah standar UMR, seperti guru TPQ, guru honorer, dosen honorer, dan lain-lain.
Saya yakin pejabat di tingkat elite sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kehidupannya. Tinggal bagaimana di level alit. Golongan alit yang gajinya masih di bawah rata-rata dan hanya cukup untuk makan minum, juga ingin diberi kasih sayang. Bukan hanya kaum elite saja yang butuh diperhatikan. Jika banyak masyarakatnya makmur, sejahtera, dan sentosa, maka perlahan angka kemiskinan bisa terpangkas.
Bagaimana pun, kemiskinan, sebagai salah satu akar masalah sosial dan kejahatan, harus kita perangi. Bukan hanya oleh orang yang mengalaminya, tetapi juga oleh orang yang berada di luar kemiskinan itu. Memerangi kemiskinan merupakan tanggung jawab semua orang, tanggung jawab sebagai umat beragama, sebagai anggota masyarakat sosial, sebagai pemimpin, ilmuwan, dan tentu saja pemerintah. []