• Login
  • Register
Minggu, 1 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Guru Besar dan Penceramah Agama Ketika Relasi Kuasa Menjadi Alat Kekerasan Seksual

Perubahan harus kita mulai dari dalam, dan tidak ada ruang toleransi bagi pelaku kekerasan.

Firda Imah Suryani Firda Imah Suryani
16/04/2025
in Publik
0
Relasi Kuasa

Relasi Kuasa

2.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Seorang guru besar yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi baru-baru ini mengundang keprihatinan yang mendalam. Lebih mengejutkan lagi, individu ini tidak hanya berprofesi sebagai akademisi, tetapi juga sebagai penceramah agama. Dia kerap diundang untuk memberikan ceramah di berbagai kesempatan.

Dalam masyarakat, statusnya sebagai dosen dan penceramah agama memposisikannya dalam kedudukan yang memiliki pengaruh besar terhadap publik. Namun, kasus kekerasan seksual yang melibatkan dia menunjukkan ketidaksesuaian antara citra moral yang terbangun melalui peran penceramah agama dengan kenyataan kejahatan yang dilakukannya.

Fenomena ini memunculkan sejumlah pertanyaan mendalam mengenai bagaimana institusi pendidikan dan agama bisa begitu lemah dalam mengatasi kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang kita anggap sebagai panutan moral.

Kasus ini memperlihatkan betapa relasi kuasa dalam dunia akademik menjadi faktor utama dalam berlanjutnya praktik kekerasan seksual di kampus. Seorang dosen dengan status guru besar, yang juga memiliki peran sebagai penceramah agama, memiliki posisi yang sangat kuat.

Mahasiswa, yang seharusnya berhak mendapatkan pendidikan yang aman, sering kali terperangkap dalam ketidakberdayaan ketika berhadapan dengan dosen yang memiliki kekuasaan besar terhadap masa depan akademik mereka.

Baca Juga:

Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

Budaya Seksisme: Akar Kekerasan Seksual yang Kerap Diabaikan

Penyalahgunaan Otoritas Agama dalam Film dan Drama

Refleksi Filosofis atas Kekerasan Seksual di Dunia Akademik

Relasi kuasa ini tidak jarang disalahgunakan untuk melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswa. Mereka takut melapor karena khawatir akan konsekuensi negatif terhadap nilai akademik mereka atau stigma sosial yang diterima di kampus.

Demi Nama Baik Kampus

Ironisnya, ketika kasus kekerasan seksual ini terungkap, tidak sedikit yang meragukan kebenaran laporan korban. Bahkan ada yang memilih untuk diam demi menjaga reputasi institusi pendidikan.

Sering kali, lembaga kampus yang kita harapkan menjadi benteng perlindungan justru lebih peduli pada citra baiknya daripada pada hak-hak korban. Ini menunjukkan betapa institusi pendidikan sering kali terjebak dalam budaya impunitas yang memanjakan pelaku kekerasan dan menempatkan korban pada posisi yang semakin terpinggirkan.

Lebih jauh lagi, ketegangan moral muncul ketika pelaku kekerasan seksual ini juga terkenal sebagai penceramah agama. Sebagai penceramah, ia berada di hadapan banyak orang, menyampaikan nilai-nilai moral dan agama yang seharusnya mengajarkan kesetaraan, penghormatan terhadap martabat manusia, dan keadilan.

Namun, kenyataannya, ia malah melakukan pelanggaran terhadap nilai-nilai yang ia ajarkan. Ini membingungkan banyak orang, karena seseorang yang seharusnya menjadi panutan moral justru melanggar norma-norma dasar tentang hak asasi manusia dan kehormatan individu.

Hal ini menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam terhadap integritas moralnya. Baik di kalangan umat yang mengikutinya dalam ceramah agama maupun di kalangan mahasiswa yang menganggapnya sebagai sosok yang mereka hormati di dunia akademik.

Lebih Mendahulukan Citra dan Reputasi

Lebih jauh, pernyataan seorang dosen di departemen tempat pelaku mengajar menyebutkan bahwa pihak kampus sangat hati-hati dalam menangani kasus ini. Karena khawatir akan merusak nama baik institusi. Dalam konteks ini, jelas terlihat bahwa kampus lebih mendahulukan citra dan reputasi daripada perlindungan terhadap korban.

Kampus, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi semua sivitas akademika, malah menjadi ruang yang rawan untuk kekerasan seksual. Terutama ketika pelaku memiliki kedudukan yang tinggi. Padahal, jika benar-benar berpihak pada korban, institusi pendidikan seharusnya bertindak tegas tanpa ada rasa takut akan dampak negatif terhadap reputasi mereka.

Sikap diam yang diambil oleh banyak pihak ini tidak hanya memperburuk situasi korban. Tetapi juga menunjukkan adanya relasi kuasa dan ketidakpedulian terhadap hak asasi manusia di dalam dunia pendidikan. Ini menjadi gambaran jelas dari kegagalan sistem yang ada. Kampus tidak boleh membiarkan tindakan kekerasan seksual terus berkembang di dalamnya.

Selain itu, fakta bahwa seorang pelaku kekerasan seksual masih bisa berperan sebagai penceramah agama menggambarkan kekurangan pengawasan moral dalam lingkungan. Di mana seharusnya menjunjung tinggi etika dan norma sosial. Penceramah agama, yang harusnya memberikan teladan, malah melakukan tindakan yang merusak tatanan moral yang seharusnya mereka ajarkan.

Dalam konteks ini, kita berhadapan dengan kenyataan bahwa institusi pendidikan harus segera melakukan evaluasi dan perbaikan yang signifikan terhadap sistem pengawasan dan perlindungan di kampus. Kampus harus menciptakan lingkungan yang tidak hanya mendidik mahasiswa dalam hal pengetahuan. Tetapi juga dalam membangun karakter yang menghargai hak asasi manusia, kesetaraan, dan keadilan.

Tidak ada Toleransi bagi Pelaku Kekerasan

Tidak ada tempat bagi pelaku kekerasan seksual untuk bersembunyi di balik status dan kedudukannya. Lembaga pendidikan harus berani mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa setiap individu, terlepas dari status sosial atau akademiknya, harus tunduk pada aturan yang sama. Semua bentuk kekerasan seksual harus kita hentikan, dan korban harus kita berikan perlindungan serta dukungan yang memadai.

Kasus ini menjadi pengingat bagi kita bahwa tidak ada tempat bagi impunitas dalam dunia pendidikan. Kampus harus menjadi tempat yang aman dan bebas dari kekerasan. Terutama kekerasan seksual, yang selama ini terus terjadi dalam kesunyian. Mengabaikan atau menutupi kasus seperti ini hanya akan memperburuk ketidakpercayaan terhadap sistem pendidikan dan nilai-nilai moral yang dipegang oleh masyarakat.

Untuk itu, kita membutuhkan sistem yang lebih transparan, lebih adil, dan lebih berpihak kepada korban. Institusi pendidikan, terutama yang memiliki pengaruh besar seperti perguruan tinggi dan lembaga agama, harus menjunjung tinggi standar moral yang tak tergoyahkan. Yakni dengan memastikan bahwa tidak ada ruang bagi kekerasan seksual dalam lingkup akademik dan sosial mereka.

Perubahan harus kita mulai dari dalam, dan tidak ada ruang toleransi bagi pelaku kekerasan. Jika kita benar-benar ingin menciptakan dunia pendidikan yang lebih baik, kita harus berani menghentikan impunitas dan menegakkan keadilan untuk semua.

Tags: Guru BesarkampusKekerasan seksualpelaku kekerasanPenceramah Agamarelasi kuasa
Firda Imah Suryani

Firda Imah Suryani

Saya perempuan bukan aib masyarakat, bukan juga orang kriminal.  Pengemar musik indie dan pemakan sayuran.

Terkait Posts

Perempuan Penguasa

Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

31 Mei 2025
Ruang Aman bagi Anak

Fenomena Inses di Indonesia: Di Mana Lagi Ruang Aman bagi Anak?

30 Mei 2025
Kasus Argo

Kasus Argo UGM dan Sampai Kapan Nunggu Viral Dulu Baru Diusut?

30 Mei 2025
Gus Dur

Pentingnya Menanamkan Moderasi Beragama Sejak Dini Ala Gus Dur

30 Mei 2025
Ibadah Haji

Esensi Ibadah Haji: Transformasi Diri Menjadi Pribadi yang Lebih Baik

29 Mei 2025
inklusivitas

Pentingnya Membangun Kesadaran Inklusivitas di Tengah Masyarakat yang Beragam

29 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • IUD

    Bagaimana Hukum Dokter Laki-laki Memasangkan Kontrasepsi IUD?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tren Mode Rambut Sukainah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pengalaman Kemanusiaan Perempuan dalam Film Cocote Tonggo

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sejarah Para Perempuan Penguasa Kerajaan Wajo, Sulawesi Selatan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)
  • Tren Mode Rambut Sukainah
  • Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga
  • Bagaimana Hukum Dokter Laki-laki Memasangkan Kontrasepsi IUD?
  • Pengalaman Kemanusiaan Perempuan dalam Film Cocote Tonggo

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID