Mubadalah.id – Selepas kepergian Gus Dur, ada banyak buku-buku yang mengisahkan perjalanan beliau dalam memperjuangkan kemanusiaan. Dalam berbagai versi, Gus Dur tidak sekadar hadir sebagai guru, tokoh politik atau sebagai pemimpin, akan tetapi sebagai manusia yang membela manusia lainnya. Hal ini seperti yang dikisahkan ulang oleh H. Abdul Wahid dalam buku Karena Kau Manusia, Sayangi Manusia.
Ulasan-ulasan dalam buku ini tidak hanya tentang tindak laku yang diajarkan oleh Gus Dur, tetapi juga menceritakan kebersahajaan seorang Gus Mus, yang juga sering mengingatkan masyarakat tentang bagaimana menyayangi dan memuliakan sesama manusia. Buku bersampul ilustrasi wajah Gus Dur dan Gus Mus tersebut pada akhirnya mengundang saya untuk membaca isinya secara mendalam.
Dalam pengantar bukunya, Abdul Wahid menyampaikan bahwa kebaikan-kebaikan yang dicontohkan oleh dua tokoh besar Indonesia, yakni Gus Dur dan Gus Mus merupakan warisan yang mesti diteladani, sarana bagi manusia agar mau berpikir dan bertindak adil dalam setiap laku kehidupan, baik di bidang politik, sosial maupun dalam beragama.
Kisah-kisah inspiratif perjuangan kemanusiaan yang dibagikan oleh Abdul Wahid juga merupakan kisah yang mudah diingat, dipahami serta diceritakan ulang, sehingga bisa disebarluaskan secara lebih mudah.
Salah satu kisah inspiratif yang diceritakan ulang oleh Abdul Wahid adalah pertemuan seorang sufi dengan kakek pengemis yang buta dan anak kecil polos yang menuntunnya. Abdul Wahid mengisahkan sang sufi melakukan protes kepada Tuhan atas keadaan yang dialami dua orang tersebut. Sang sufi bertanya, kenapa Tuhan tidak memberi petunjuk pada mereka. Lalu Tuhan menjawab, bahwa Tuhan telah menciptakan sang sufi untuk memberi petunjuk dan mengurus dua orang yang ditemuinya (Wahid, 2018: 107).
Dari kisah tersebut, Abdul Wahid ingin menegaskan kembali bahwa Allah SWT adalah Maha Penolong dan Maha Pengasih. Allah memang tidak secara langsung memberi pertolongan kepada hamba-Nya, akan tetapi menjadikan manusia pilihan-Nya sebagai mitra untuk memberi bantuan kepada sesamanya. Hal itu pula yang selama hidup diupayakan oleh Gus Dur, yakni memberi bantuan, melayani kepentingan manusia lain, terutama masyarakat yang lemah, tertindas atau terdzalimi.
Gus Dur berpandangan bahwa persamaan hak dan derajat di mata hukum serta keadilan atas nama kemanusiaan mesti dijunjung tinggi. Di sini sosok Gus Mus juga memiliki pandangan yang serupa, bahwa cara menjunjung derajat atau martabat manusia adalah dengan memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan dan melindungi orang-orang yang tertindas, serta meringankan kesulitan orang lain.
Pertolongan dan perlindungan yang diberikan kepada orang lain tersebut juga merupakan wujud cinta kepada sesama (Wahid, 2018: 62). Hal itu kemudian juga relevan dengan sabda Rasulullah SAW yang dikutip oleh Abdul Wahid dan sering diposting oleh Gus Mus dalam salah satu media sosialnya, “Orang-orang penyayang akan disayang oleh Yang Maha Penyayang. Sayangilah yang ada di bumi, maka yang di langit akan menyayangimu.” (Wahid, 2018: 63).
Selain perkara di atas, buku ini juga mengajak pembaca merefleksikan dan menakar kembali keberadaan cinta dan benci dalam diri masing-masing. Hal ini berkaitan dengan cara manusia menilai sesuatu di luar dirinya, terutama yang berhubungan dengan orang lain.
Kadang seseorang memang lebih suka menilai baik orang-orang yang sudah dikenal, yang menguntungkannya atau yang dekat dengannya, dan memberi penghakiman atau penilaian buruk kepada orang baru atau orang yang tidak disukai, meski ia benar dan tidak melakukan kesalahan. Tentu hal semacam itu menjadikan seseorang bersikap tidak adil.
Padahal menurut Gus Dur, ketika seseorang berjuang mewujudkan kehidupan yang lebih manusiawi, berkeadilan dan tidak membeda-membedakan perlakuannya kepada orang lain hanya karena berbeda posisi atau gelar, suku, ras dan agama, maka itu merupakan bagian dari jihad.
Dalam hal ini, Gus Dur mendorong adanya interpretasi atas makna jihad, sehingga tidak selalu dipahami sebagai perang dan kekerasan. Jihad versi Gus Dur adalah mengupayakan keterpenuhan kebutuhan orang lain dan menghindarkan orang lain dari kesulitan-kesulitan yang membelenggunya.
Sementara untuk bisa bersikap adil, Gus Mus kerap mengingatkan agar kita tidak berlebihan dalam mencintai atau membenci sesuatu, sebab hal tersebut seringkali justru membuat seseorang kehilangan akal sehat dan tidak bisa berbuat adil.
Menurut Gus Mus, merayakan cinta yang berlebihan akan membuat seseorang kehilangan daya kritis, sehingga tidak mampu menggunakan nalarnya untuk mengambil keputusan. Sementara memupuk kebencian yang berlebihan justru hanya akan menimbulkan kerusakan, baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitar (Wahid, 2018: 147).
Kemudian di bab terakhir buku ini, Abdul Wahid memberikan beberapa cerita humor milik Gus Dur dan Gus Mus yang diambil dari berbagai sumber. Dari cerita-cerita humor tersebut, Abdul Wahid seperti ingin menegaskan bahwa dalam humor pun, kedua sosok berpengaruh tersebut tidak pernah kehilangan prinsip hidupnya untuk tetap menjunjung sisi kemanusiaan alias tidak menyinggung orang lain ketika humor-humornya dilontarkan.
Bagi saya pribadi, buku ini tidak hadir dalam rangka memaksa atau menggurui, akan tetapi mengajak pembacanya untuk memahami diri sendiri. Lewat kutipan-kutipan pesan yang dihadirkan pada setiap awal ulasan, membuat saya tergerak untuk mengintrospeksi diri. Bahwa tujuan manusia hidup di bumi ini adalah untuk menebar kemanfaatan bagi sesamanya, menjadi mitra Tuhan untuk menegakkan keadilan dan menyebarkan ajaran kemanusiaan di semesta raya. []
Judul : Karena Kau Manusia, Sayangi Manusia
Penulis : Dr. H. Abdul Wahid, M.Ag.
Penerbit : Diva Press
Tahun : 2018
Tebal : 240 halaman.