Mubadalah.id – Beberapa keterangan di bawah ini merupakan kumpulan hadits perempuan shalat di masjid. Apa saja hadits perempuan shalat di masjid?
Teks Ke-36
Hadits ini ditujukan kepada para laki-laki yang merasa memiliki perempuan, lalu menguasai mereka, dan suka melarang dari aktivitas publik, seperti shalat berjama’ah di masjid.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ كَانَتِ امْرَأَةٌ لِعُمَرَ تَشْهَدُ صَلَاةَ الصُّبْحِ وَالْعِشَاءِ فِي الْجَمَاعَةِ فِي الْمَسْجِدِ، فَقِيْلَ لَهَا لِمَ تَخْرُجِيْنَ وَقَدْ تَعْلَمِيْنَ أَنَّ عُمَرَ يَكْرَهُ ذٰلِكَ وَيَغَارُ قَالَتْ وَمَا يَمْنَعُهُ أَنْ يَنْهَانِي قَالَ يَمْنَعُهُ قَوْلُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ». رواه البخاري.
Terjemahan:
Ibnu Umar Ra. menyatakan bahwa istri Umar selalu ikut shalat Subuh dan Isya’ berjamaah di masjid. Ditanyakan kepadanya, “Mengapa kamu masih keluar rumah, padahal kamu tahu suamimu, Umar, membenci hal ini dan cemburu?”
Ia menimpali, “Mengapa ia tidak mau melarangku saja sekalian?”
“Umar tidak melarangmu karena ada pernyataan Rasulullah Saw., ‘Janganlah melarang perempuan yang ingin mendatangi masjid-masjid Allah.” (Shahīh al-Bukhārī).
Sumber Hadits:
Hadits perempuan shalat di masjid ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahīh-nya (no. hadits: 908), Imam Muslim dalam Shahīh-nya (no. hadits: 1018), Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. hadits: 565 dan 566), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. hadits: 16), Imam Malik dalam Muwaththa’-nya (no. hadits: 469), dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. hadits: 4745, 9776, 10287, 22083, dan 22093).
Penjelasan Singkat:
Teks hadits ini, sekali lagi, mencatat budaya akut masa pra-Islam yang lebih banyak mengekang perempuan dan melarang mereka dari segala aktivitas publik, termasuk ibadah di tempat-tempat publik seperti masjid. Kebiasaan ini tentu saja masih merembes dan bercokol dalam kepala banyak masyarakat, laki-laki dan perempuan. Mereka lalu menganggap hukum asal bagi aktivitas laki-laki adalah boleh, kecuali yang dilarang. Sementara, hukum asal bagi perempuan adalah dilarang, kecuali yang dibolehkan.
Ketika hal tersebut masih terjadi di kalangan umat Islam, Nabi Muhammad Saw. langsung memberi ultimatum, “Janganlah melarang perempuan yang mau pergi ke masjid-masjid.” Masjid, saat itu, adalah satu-satunya representasi tempat pertemuan publik untuk segala urusan, baik ritual, sosial, maupun politik.
Pernyataan Nabi Muhammad Saw. ini penting untuk mengembalikan kesadaran umat Islam bahwa perempuan adalah manusia yang memiliki kebutuhan yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh manfaat dari kebaikan yang bersifat publik atau dari tempat-tempat publik. Jika mereka terus-menerus dilarang, mereka akan sulit memperoleh kebaikan tersebut.
Pernyataan Nabi Muhammad Saw. yang demikian tegas dan jelas ini mungkin tidak mudah diterima banyak orang, terutama laki-laki. Dari dialog di atas, orang sekelas Umar bin Khathab Ra. saja masih tidak suka bila perempuan keluar rumah. Tetapi, ia harus tunduk dengan titah Nabi Muhammad Saw. Dan ia pun mengikuti perintah tersebut. Sebab, yang menjadi panutan adalah Nabi Muhammad Saw., yang mendukung penuh agar perempuan memperoleh segala kemaslahatan, serta terbebas dari segala kekerasan, hegemoni, dan diskriminasi. Islam adalah agama penebar kebaikan bagi seluruh umat manusia. Dan kebaikan ini harus dirasakan oleh perempuan dan laki-laki.
Teks Ke-37
Sama dengan semangat teks di atas, teks di bawah ini mendorong para laki-laki untuk membuka jalan, memberi izin, dan memfasilitasi para perempuan bisa beribadah di ruang publik.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: «إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ بِاللَّيْلِ إِلَى الْمَسْجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ». رواه البخاري.
Terjemahan:
Ibnu Umar Ra. menuturkan bahwa Nabi Muhammad Saw. Bersabda, “Apabila perempuan-perempuan kamu minta izin keluar rumah di malam hari ke masjid, maka izinkanlah.” (Shahīh al-Bukhārī).
Sumber Hadits:
Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahīh-nya (no. hadits: 873), Imam Muslim dalam Shahīh-nya (no. hadits: 1019), dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. hadits: 289, 5307, 6414, 6415, dan 6555).
Penjelasan Singkat:
Hal-hal baik yang akan dilakukan atau akan diperoleh istri/perempuan dari aktivitas mereka di ruang publik seringkali terbentur dengan keharusan “izin suami”. Teks hadits di atas menyasar mereka yang seringkali menggunakan isu “izin suami” sebagai alat untuk mengekang dan mengurung perempuan. Mereka dilarang dari segala aktivitas, sehingga tidak lagi bisa menjadi manusia utuh, yang bisa berelasi dengan saudara, tetangga, dan masyarakat luas.
Teks ini menegaskan bahwa seorang suami tidak berhak menolak keinginan istri/perempuan untuk shalat di masjid pada malam hari sekalipun. Penolakan ini biasanya didasarkan pada keinginan individual laki-laki, seperti meminta layanan atau karena rasa cemburu. Ini seharusnya diselesaikan dengan cara lain, bukan dengan cara melarang istri dari aktivitas yang bermanfaat dan baik bagi mereka.
Lebih dari itu, teks ini juga menginspirasi bahwa persoalan izin seharusnya digunakan untuk hal-hal baik dan bermanfaat bagi komitmen kebersamaan sebuah keluarga. Dalam sebuah relasi yang saling menghormati satu sama lain, tentu saja sang istri seyogianya memberi tahu (izin) suami tentang sesuatu yang akan dilakukannya. Hal yang sama juga seharusnya dilakukan suami kepada istri. Pemberitahuan (izin) ini tentu saja sangat baik, agar seseorang (suami/istri) bisa tahu posisi pasangannya dan dapat mengantisipasi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Bayangkan jika tidak ada pemberitahuan (izin), maka keduanya akan kesulitan ketika memerlukan pertolongan.
Pemberitahuan ini sama sekali bukanlah lisensi yang menjadikan seseorang sangat tergantung dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari. Mungkin saja, untuk hal-hal yang bisa merusak komitmen bersama, izin ini berarti pembicaraan bersama yang lebih mendalam agar sikap saling memahami dan saling mengerti bisa diperoleh dengan lebih baik. Tetapi, pemberitahuan/izin sama sekali tidak boleh digunakan sebagai alat untuk melarang seseorang dari aktivitas yang baik dan bermanfaat.
Teks Ke-38
Jika kedua teks di atas bersifat preskriptif, maka teks hadits ini di bawah ini adalah deskriptif tentang fakta dan teladan yang terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw. Yaitu, para perempuan yang shalat berjama’ah di masjid.
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَخْبَرَتْهُ قَالَتْ: كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِيْنَ يَقْضِيْنَ الصَّلَاةَ، لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ. رواه البخاري.
Terjemahan:
Urwah bin Zuabir Ra. meriwayatkan bahwa Aisyah Ra. bercerita, “Kami para perempuan mukmin biasa hadir mengikuti Rasulullah Saw. shalat Subuh dengan pakaian wol kami. Kami akan bergegas pulang ke rumah masing-masing setelah selesai menunaikan shalat. Karena masih pagi buta dan gelap, seseorang masih belum bisa mengenali kami.” (Shahīh al-Bukhārī).
Sumber Hadits:
Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahīh-nya (no. hadits: 578 dan 875), Imam Muslim dalam Shahīh-nya (no. hadits: 1491 dan 1495), Imam Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. hadits: 423), Imam Nasa’i dalam Sunan-nya (no. hadits: 550 dan 551), dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. hadits: 24645, 24730, 26091, dan 26751).
Penjelasan Singkat:
Teks ini menambah catatan mengenai aktivitas perempuan yang selalu shalat berjamaah di subuh hari. Sesuatu yang dilupakan banyak pihak. Bahkan, tidak sedikit yang mencoba menghilangkan tradisi ini dengan melarang mereka datang, masuk, dan berkumpul di masjid. Betapa mulia para perempuan itu, yang keluar beribadah justru ketika sebagian besar orang masih memilih tidur di rumah atau sibuk mengurus rumah tangga.
Catatan hadits ini, dan hadits-hadits serupa seperti di atas, menunjukkan dua hal penting. Pertama, shalat berjamaah itu pada prinsipnya adalah baik di mata Islam bagi laki-laki dan perempuan. Untuk itu, tidak bisa dikatakan bahwa berjamaah hanyalah baik bagi laki-laki, sementara perempuan dianggap lebih baik shalat di rumah. Apalagi jika dikatakan bahwa shalat perempuan di tempat yang paling tersembunyi dianggap lebih baik agar lebih khusyuk dan tidak diganggu atau mengganggu orang lain. Tidak. Manfaat shalat berjamaah, baik dari sisi pahala, penguatan spiritual, maupun peningkatan pengetahuan, tidak boleh hanya dikhususkan bagi laki-laki. Karena secara prinsip, Islam diperuntukkan bagi laki-laki dan perempuan.
Kedua, kehadiran seseorang untuk bersosialisasi dengan masyarakat, melalui shalat berjamaah dan yang lainnya, adalah baik untuk perkembangannya secara psikologis dan sosial. Seringkali, di tempat-tempat publik dilakukan musyawarah bersama, kesepakatan-kesepakatan, atau penyediaan layanan-layanan tertentu, bahkan pembagian-pembagian bantuan ekonomi. Mengucilkan perempuan di dalam rumah berarti menjauhkan mereka dari segala manfaat penguatan psikologi dan sosial tersebut. Ini tentu saja bertentangan dengan kemaslahatan Islam yang bersifat universal.
Sekali lagi, karena Islam adalah agama untuk laki-laki dan perempuan, maka semua kemaslahatan publik yang dianjurkan Islam, juga seharusnya diterima dan dirasakan oleh keduanya. Bukan salah satunya saja.