Mubadalah.id – Haji Ramah Lansia menjadi tema yang Kementerian Agama (Kemenag) pilih dalam pelayanan penyelenggaraan rukun Islam kelima di tahun ini. Tagline tersebut cukup relevan mengingat calon jemaah haji berusia 65 tahun ke atas mencapai 66.943 orang, atau 30,2% dari total 221.000 kuota jemaah haji Indonesia tahun 2023 (Dirjen PHU, 2023).
Melalui moto tersebut, Kemenag berharap bisa turut mengurangi tantangan fisik yang jemaah lansia hadapi dengan memfokuskan perhatian serta melengkapi sarana prasarana serta fasilitas yang mereka butuhkan.
Tidak cuma menjadi tanggung jawab pemerintah, semangat Ramah Lansia ini semestinya penting pula seluruh jemaah jalani. Pasalnya, menjalankan ibadah haji di Tanah Suci membutuhkan rasa solidaritas dan kepedulian tinggi. Sebagaimana semangat awalnya, ibadah haji menjadi penanda persatuan umat Islam dunia dalam menghambakan diri kepada Allah Swt.
Ketidakpedulian Tumbuh dari Riya
Beberapa pekan sebelum memasuki musim haji, penulis sempat melaksanakan umrah dan menemukan sejumlah hal yang penting untuk diperhatikan bagi jemaah yang hendak beribadah di Tanah Suci tahun ini. Yang paling kerap teringat adalah bahwa perbuatan riya tidak hanya berpotensi menghapus pahala, akan tetapi juga bisa memberangus rasa kepedulian antarsesama.
Sebagian besar orang, misalnya, cenderung mengartikan umrah maupun haji sebagai seluas-luasnya kesempatan dalam melaksanakan ibadah. Bahkan, dengan mengatasnamakan dakwah maupun rasa syukur, mereka mengabarkan kepada khalayak telah melaksanakan tawaf untuk kali ke sekian, juga mendirikan salat sunah atau melaksanakan umrah ketika berhaji secara berulang-ulang.
Para jemaah tidak mempedulikan bahwa tidak semua orang mendapatkan kesempatan serupa. Bukan karena malas atau tidak terbukanya hidayah, akan tetapi karena adanya sejumlah keterbatasan ataupun energi berbeda-beda yang setiap orang miliki, terlebih jemaah lansia.
Para jemaah perlu mengingat kembali bahwa hakikat dari karakter ibadah adalah kemudahan, sesuai kemampuan, dan tidak memberatkan. Allah Swt berfirman:
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Tidak Menorehkan Ketersinggungan Pihak Lain
Di sisi lain, Allah Swt juga tidak memperkanankan kita untuk melaksanakan ibadah, tetapi justru menorehkan ketersinggungan atau ratapan bagi pihak lain. Dalam QS. Al-Baqarah: 264, Allah Swt berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُبْطِلُوْا صَدَقٰتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْاَذٰىۙ كَالَّذِيْ يُنْفِقُ مَالَهٗ رِئَاۤءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ فَمَثَلُهٗ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَاَصَابَهٗ وَابِلٌ فَتَرَكَهٗ صَلْدًا ۗ لَا يَقْدِرُوْنَ عَلٰى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُوْا ۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan membatalkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia, sedangkan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu licin yang di atasnya ada debu, lalu batu itu diguyur hujan lebat sehingga tinggallah (batu) itu licin kembali. Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir.”
Unsur-unsur riya yang tumbuh dalam menjalankan sebuah ibadah juga berpotensi mematikan rasa kepedulian terhadap orang lain. Rasa ingin mendapatkan pujian, dan sebagainya membuat seseorang menjadikan diri dia sebagai obyek, bukan subyek kepedulian. Allah Swt berfirman:
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ خَرَجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ بَطَرًا وَّرِئَاۤءَ النَّاسِ وَيَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ بِمَايَعْمَلُوْنَ مُحِيْطٌ
“Janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang keluar dari kampung halamannya dengan rasa angkuh dan ingin dipuji orang (riya) serta menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah. Allah Maha Meliputi apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal: 47)
Pentingnya Prinsip Kesalingan saat Berhaji
Salah satu hikmah terbesar dari syariat ibadah haji adalah ukhuwah atau persaudaraan. Ketika semua umat Islam berkumpul di Padang Arafah, jemaah yang datang dari segala penjuru dunia itu terdiri atas berbagai bangsa, warna kulit, dan status yang berbeda-beda. Namun, mereka melebur di satu tempat dengan kain yang rata-rata berwarna sama. Yakni ihram putih untuk merenungi diri dengan doa-doa dalam kebersamaan.
Berinteraksi satu dengan lainnya sembari bertukar informasi, saling berkomunikasi, dan bersilaturahim. Pada saat-saat tertentu, saling tolong-menolong menyelesaikan masalah untuk kepentingan bersama. Lalu melaksanakan manasik, salat berjemaah, makan dan minum bersama-sama. Yakni dengan tujuan yang juga sama, yakni memenuhi undangan Allah sebagai tamu-Nya yang istimewa.
Hikmah ini tidak sekadar menjadi bahan tadarus yang hanya habis dalam sesi ucapan, akan tetapi perlu kita maknai lebih dalam lagi. Sebab, prinsip kesalingan saat berhaji merupakan buah dari ketakwaan orang-orang mukmin. Rasulullah Muhammad Saw bersabda:
الْمُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا وَشَبَّكَ أَصَابِعَهُ
“Sesungguhnya orang mukmin bagi mukmin yang lain seperti bangunan yang satu sama yang lain saling menguatkan. Dan beliau mengeratkan jari jemarinya.” (HR Imam Bukhari).
Amanat tentang pentingnya untuk menguatkan prinsip kesalingan saat berhaji juga dibuktikan sebagai rapor dari nilai serangkaian ibadah yang telah kita lakukan. Predikat mabrur yang para hujjaj idamkan pun tak lepas dari pencapaian kebaikan secara sosial.
Dalam At-Targhib wat Tarhib, Al-Mundziri menjelaskan:
قوله المبرور قيل هو الذي لا يقع فيه معصية وقد جاء من حديث جابر مرفوعا إِنَ بِرَّ الحَجِّ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَطِيْبُ الكَلَامِ وعِنْدَ بَعْضِهِمْ إِطْعَامُ الطَّعَامِ وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ
“Mabrur adalah ibadah haji yang tidak terdapat maksiat di dalamnya. Sebuah hadits marfu’ dari sahabat Jabir ra, ‘Sungguh, haji mabrur itu memberikan makan kepada orang lain dan melontarkan ucapan yang baik.’ Menurut sebagian, ‘Memberikan makan kepada orang lain dan menebarkan salam.”
Alhasil, Haji Ramah Lansia merupakan yel pendorong ibadah secara berkesalingan. Ibadah tak melulu hanya menjadi urusan manusia dengan Tuhannya, akan tetapi juga dianjurkan berbuah pada peningkatan kepedulian sosial antarsesama. []