Mubadalah.id – Jika seorang perempuan menyusui anaknya sendiri, apakah ia berhak menuntut upah atas susuan ? Kepada siapakah sang perempuan itu menuntut upahnya? Jawabannya, tentu tergantung dari kondisi sang perempuan itu sendiri dalam hubungannya dengan suami.
Wahbah az-Zuhaily dalam konteks ini menjelaskan tiga kondisi sang perempuan ketika menyusui, dan masing-masing terdapat hukumnya, yang semuanya berkaitan dengan kewajiban nafkah.
Kondisi pertama, menurut ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah. Jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam ikatan perkawinan atau di tengah-tengah ‘iddah dari talak raj’iy. Maka ia tidak berhak menuntut upah secara spesifik dari susuan.
Karena dalam kondisi ini, sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah kepada sang istri, maka istri tidak boleh menuntut upah (ujrah) yang lain meskipun sebagai imbangan menyusui. Kebutuhan menyusui bisa dimasukkan ke dalam jumlah besarnya nafkah sehari-hari.
Akan tetapi, pada kondisi kedua, jika sang perempuan yang menyusui sudah ditalak dan selesai dari ‘iddah, atau dalam ‘iddah wafat, disepakati oleh para ulama bahwa sang perempuan boleh menuntut upah atas susuannya itu, dan ayah dari anak yang disusuinya wajib memberikan upah itu secara adil.
Sebab, bagi istri yang sudah ditalak dan habis ‘iddahnya atau dalam ‘iddah wafat dalam ketentuan fikih sudah tidak ada lagi nafkah yang harus diterimanya dari sang suami.
Hal ini berdasarkan pada surat ath-Thalaq ayat 6:
فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ وَأْتَمِرُوْا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوْفٍۚ
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik.” (QS. ath-Thalaq ayat 6)
Pandangan Ulama Hanafiyah dan Malikiyyah
Menurut sebagian ulama Hanafiyah, pada kondisi ketiga, jika sang perempuan yang menyusui itu masih dalam ‘iddah talak ba’in. Maka ia berhak menuntut upah dari susuannya.
Hal ini berdasarkan pada kenyataan hukum bahwa status perempuan yang mendapat talak ba’in sama dengan perempuan yang tidak memiliki hubungan perkawinan (al-ajnabiyyah): ia tidak lagi memperoleh hak nafkah.
Pendapat yang sama juga seperti dalam pandangan ulama Malikiyyah. Alasan mereka seperti dalam surat ath-Thalaq ayat 6:
فَاِنْ اَرْضَعْنَ لَكُمْ فَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۚ
Adalah pernyataan yang tegas tentang tuntutan nak upah atas susuan bagi perempuan yang ditalak ba’in.
Dalam ayat yang sama, terutama pada lafadz:
وَاِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهٗٓ اُخْرٰىۗ
“… dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” Maka sang ayah juga wajib memberikan upah yang adil kepadanya. Apabila mereka memang istirdaf‘ (meminta bantuan orang lain untuk menyusukan anaknya). []