Mubadalah.id – Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) telah berhasil menyita perhatian publik Indonesia bahkan dunia. Berbagai rangkaian kegiatan terselenggara dalam rangka merayakan 100 Tahun NU dan menjemput abad ke-2 NU. Menurut penulis salah satu rangkaian kegiatan yang penting adalah “Halaqah Fiqih Peradaban”.
Halaqah Fiqih Peradaban dilaksanakan di 275 titik atau tempat, di Pesantren hingga Hotel. Ini menandakan kesadaran sekaligus kebangkitan pengurus NU dan Nahdliyyin dalam rangka menghadapi berbagai persoalan umat manusia di masa lalu, dan yang akan datang. Yakni dengan mengarusutamakan pengetahuan, intelektualisme atau ilmu ke hadapan publik.
Judul tulisan di atas penulis ramu dari pernyataan KH. Akhmad Said Asrori yang merupakan Katib Aam PBNU dan sekaligus salah satu narasumber dalam Halaqah Fiqih Perabadan dengan tema “Fiqih Siyasah dan Masalah Kaum Minoritas”. Pernyataan yang mengejutkan di tengah guyonan dalam halaqah tersebut, KH. Asrori mengingatkan bahwa NU penting mengisi otak, dan akal, yang telah Tuhan ciptakan bagi umat manusia.
Memenuhi Otak tampaknya merupakan salah satu agenda besar NU dengan menghadirkan ratusan halaqah yang tersebar di beberapa tempat dan tema yang beragam. Kebangkitan NU dalam menjemput abad ke-2 telah ditetapkan dan dikukuhkan dengan persiapan pengetahuan. Pengetahuan tidak dapat kita abaikan dalam peradaban dunia telah mampu menaklukkan negara-negara besar, blok-blok baru, dan menembus batas-batas teritorial yang selama ini dinilai telah mapan.
Kita dapat mengingat judul buku “Power/Knowlodge” karya Michel Foucault yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia “Wacana Kuasa/Pengetahuan”. Pengetahuan menjadi titik penaklukkan dunia, pengembaraan peradaban manusia, dan pemajuan kemanusiaan. Bahkan tidak sedikit kuasa dan pengetahuan seringkali berselingkuh untuk merekayasa berbagai perubahan dan realitas masyarakat.
Memahami Peradaban Dunia
NU memahami bahwa peradaban dunia hari ini telah terbelah menjadi blok yang mementingkan kelompok, individu, dan politik. NU mau tidak mau di abad ke-2 harus menjadi bagian penting dari perubahan dan perdamaian dunia. Hal ini mengingatkan kita pada tema satu abad NU yaitu “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru”. Tema tersebut memperjelas dan mempertegas bagaimana NU harus bersiap diri, mengayun, dan memberi bekal bagi Nahdliyyin dalam sebuah kegiatan penting Halaqah Fiqih Peradaban.
Halaqah fiqih peradaban menjadi momen di mana kebangkitan NU dimulai dengan wacana dan ilmu pengetahuan. Sebagai sebuah bangsa, negara, dan agama tidak mungkin dapat meraih dan berkontribusi bagi kehidupan manusia tanpa melibatkan pengetahuan. Hal ini tentu mudah sekali kita telusuri dari masa keemasan Islam yang terpenuhi dengan sumbangan ilmu pengetahuan bagi peradaban dunia (Al Makin, 2018).
Pengetahuan sudah semestinya tidak mengenal batas-batas wilayah, negara dan bangsa. Atau hanya sekedar sekat mazhab dan kelompok. Gus Ulil Abshar Abdalla dalam ceramahnya pada halaqah tersebut menyebutkan bahwa ulama atau cendekiawan Islam terdahulu mampu berbuat untuk dunia, mempengaruhi dunia, dan menjadi penakluk dunia, karena tidak mengenal batas-batas wilayah.
Seorang cendekiawan muslim terdahulu dapat menjelajah pengetahuan dari berbagai suku, bangsa, ras, etnis dan budaya. Bahkan dengan cara pandang jauh yang tidak dapat akal sehat umat manusia perkirakan. Hal ini sejalan dengan apa yang tersampaikan oleh Budiman Sudjatmiko dalam pidato kebudayaan bertajuk “Berguru pada Alam yang Terkembang” ((Budiman: 2018). Sehingga kondisi ini menunjukkan bahwa ulama terdahulu menjadi teladan bagi warga NU dan umat Islam untuk mengambil ilmu pengetahuan dari negara manapun.
Menjadi Titik Permulaan
Halaqah fiqih peradaban menjadi titik permulaan bahwa warga NU sudah harus kembali mengambil pengetahuan dan menjadikan pengetahuan sebagai kekuatan dalam mempengaruhi dunia. Hal ini dapat pula kita lihat dari berbagai tema yang terbahas dalam haalqah. Seperti: Fiqih Siyasah: Peran Strategis NU dalam Merekonstruksi Tatanan Peradaban Dunia Baru. Fiqih dan Tasawuf dalam Kehidupan Bernegara. Lalu Fiqih Siyasah dan Masalah Kaum Minoritas. Selain itu, Fiqih Siyasah NU dan Realitas Peradaban Baru, dan Fiqih Siyasah dalam Tantangan Dunia.
Kesadaran dalam menghadapi era kebangkitan NU telah kita mulai dengan kemampuan intelektual dan kematangan berpikir. Bertambah dengan bekal untuk menghadapi berbagai pembahasan. Peradaban dunia adalah agenda besar dalam abad ke-2 NU. Di mana NU telah mengambil kembali wacana kemanusiaan di tengah berbagai konflik negara-negara, dan tantangan dunia di abad modern ini. Kesiapan NU tentu lahir dari berbagai problem umat manusia, dan mempengaruhi peradaban manusia, yang tidak mungkin dapat kita lakukan tanpa pengetahuan.
Rangkaian halaqah ini mengisyaratkan bahwa NU kembali memenuhi otak warga NU dan umat Islam. Yakni dengan berbagai wacana modern yang kerap tersesatkan, dikafirkan, dan kita nilai produk kafir. Itulah sebabnya halaqah adalah momen mengisi otak untuk dapat mencerdaskan kehidupan kaum muslimin dengan berbagai wacana dan keilmuan.
Realitas tersebut tentu dapat kita lihat dengan bagaimana kontribusi NU dalam satu Abad sebelumnya terhadap kehidupan umat beragama, bernegara dan berbangsa di Indonesia. Dari mengisi kotak, membimbing umat, dan mendidik generasi-generasi penerus agama dan bangsa di dunia pendidikan. NU bahkan siap menjadi benteng terakhir bagi kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia di atas panji “mencintai tanah air sebagian dari iman.”
Abad ke-2 NU tentu menjadi harapan besar bagi warga NU dan umat Islam untuk terus memperkuat jangkauannya ke tengah-tengah dunia global. Yakni dengan kebangkitan pengetahuan dan komitmen kemanusiaan. Hal ini membawa pembaharuan dan semangat baru dalam mendigdayakan NU menuju peradaban dan kebangkitan baru. []