Laksana pagi yang mengantar siang, surat al-Fatihah mengawali perkenalan kita dengan seluruh kandungan al-Qur’an. Al-Fatihah adalah surat pertama, yang berarti pembuka dan pengantar. Karena peran ini, di samping karena kandunganya yang epic, iapun dikenal sebagai induk al-Qur’an (umm al-Qur’an).
Terdiri dari tujuh ayat. Diawali dengan ayat Bismillahirrahmanirrahim. “Dengan keagungan Allah Swt yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Sebuah permulaan, untuk mengingat keagungan, dan kasih sayang Allah Swt, agar seluruh aktivitas hidup kita, juga dipenuhi dengan keagungan, kemuliaan, dan kasih sayang. Dari-Nya dan juga dari diri kita. Bismilah adalah doa kita dan motivasi untuk kita. Sekaligus komitmen kita pada nilai-nilai kemuliaan dan kasih sayang. Pada mulanya adalah Bismilah yang menuntun pada Hamdalah.
Alhamdu lillaahi rabbil ‘alamin. Segala puji bagi Allah Swt Pengasuh seluruh alam. Ungkapan ini adalah pengakuan seorang hamba pada eksistensi dan sifat-sifat Tuhan. Di kalimat ini, ada dua eksistensi. Eksistensi Allah Swt yang Tuhan dan eksistensi seluruh alam (‘aalamin) yang menjadi makhluk-Nya. Relasi antara kedua eksistensi ini adalah pengasuhan (rububiyah) oleh Tuhan dan pengakuan hamba dengan memuji-Nya (hamdiyah).
Yang kentara, di kalimat Hamdalah ini ada empat konsep kata, pujian (hamdiyah), ketuhanan (uluhiyah), pengasuhan (rububiyah), dan kealaman (‘alamiyah). Pujian adalah kewajiban manusia, sebagai bagian dari alam (‘alamiin), pada eksistensi ketuhanan (Allah Swt), karena peran pengasuhan (rabb) yang telah dilakukan bagi pemeliharaan dan pelestarian seluruh alam.
Pujian kita kepada Tuhan, bukan karena Dia membutuhkannya. Allah itu ash-ahamad, tidak membutuhkan sesuatu. Tapi segala sesuatu membutuhkan-Nya. Kita, sebagai manusia, adalah yang paling membutuhkan pujian pada Tuhan ini (hamdiyah). Kita memuji-Nya agar ingat (dzikr) pada-Nya. Kita mengingat-Nya agar sadar dengan sifat dan peran pengasuhan-Nya (rububiyah). Sebagaimana sifat-sfat-Nya dalam Bismilah, kita juga di sini mengingat sifat dan peran-Nya ini agar bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sebagai khalifah-Nya yang menerima mandat untuk memakmurkan dan melestarikan alam semesta.
Dalam perspektif mubadalah, ungkapan “Hamdalah” ini memberi pesan bahwa pujian itu (hamdiyah) berelasi dengan peran pengasuhan dan pemeliharaan (rububiyah). Dua konsep kata ini harus selalu berelasi kesalingan (mubadalah) dalam kehidupan kita. Setiap kerja pengasuhan yang kita lakukan, sekecil apapun, harus diapresiasi. Apresiasi yang sehat dan sportif harus lahir dari kinerja rububiyah yang nyata ada. Hamdiyah mendorong rububiyah, dan rububiyah melahirkan kehidupan penuh hamdiyah, hal-hal terpuji. Bahkan, dalam relasi kehidupun yang antar manusia yang kuat, sikap dan perilaku hamdiyah menjadi bagian integral dari tumbuhnya kerja-kerja rububiyah dan rububiyah ini akan lestari secara kuat dengan hamdiyah. Relasi ini masih perlu ditopang kembali, agar dasar dan tujuannya kuat, dengan nilai kasih sayang.
Arrahmanirrahim adalah dua sifat Allah yang hadir lagi, setelah “Hamdalah” untuk menguatkan konsep kasih sayang yang telah ditegaskan pada ayat pertama. Yaitu Bismillahirrahmanirrahim. Bahwa relasi hamdiyah kita sebagai manusia dengan rububiyah Allah Swt kepada alam semesta, yang kita representasikan dalam kehidupan relasional kita sehari-hari, antar manusia, harus senantiasa dikaitkan pada dasar dan tujuan prinsip relasi kasih-sayang.
Sebelumnya, melalui kalimat Bismilah, kita sudah berdoa kepada-Nya, memotivasi diri, dan berkomitmen dengan ajaran kasih sayang ini. Sekarang, kita kembali diingatkan dengan kasih sayang-Nya, agar komitmen kita semakin kuat, untuk selalu saling menyayangi satu sama lain.
“Sesungguhnya, ketika Allah Swt selesai menciptakan alam ini, telah menuliskan sebuah pernyataan sebagai kewajiban Diri, yang berbunyi: bahwa kasih sayang-Ku jauh melebihi kebencian-Ku” (Sahih Bukhari, no. hadits: 3230).
“Allah Swt tidak akan menyayangi orang-orang yang tidak mau menebarkan kasih-sayang antar manusia”, kata Nabi Saw (Sahih Bukhari, no. hadits: 7465).
Ditegaskan lagi dalam riwayat lain: “Orang-orang yang biasa saling menyayangi satu sama lain, akan disayangi Yang Maha Penyayang. Maka, sayangi semua penduduk bumi, agar semua penduduk langit menyayangi kalian”, kata Nabi Saw (Sunan Abu Dawud, no. hadits: 4943).
Melalui tiga ayat awal al-Fatihah ini, sesungguhnya telah terang benderang bahwa kasih sayang adalah ajaran ketuhanan dan pondasi spiritual untuk kemanusiaan. Allah Swt mewajibkan diri-Nya sebagai Pengasih dan Penyayang, mengutus Nabi Muhammad Saw sebagai bentuk dan untuk menebar kasih sayang pada seluruh alam (rahmatan lil ‘lamain, QS. Al-Anbiya, 21: 107), menurunkan wahyu-Nya dalam bentuk al-Qur’an juga untuk ajaran kasih sayang (QS. Ad-Dukhan, 44: 1-6), dan meminta seluruh manusia untuk saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain.
Suatu saat, ada seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah Saw. Dia bertanya: “Wahai Rasul, kebaikan apa yang dianjurkan Islam?
“Berbagi makanan dan menebar perdamaian kepada siapapun yang kamu kenal maupun yang tidak kamu kenal”, kata Nabi Muhammad Saw (Sahih Bukhari, no. hadits: 28).
Sahabat Abu Hurairah ra sendiri pernah mengabarkan sabda Nabi Muhammad Saw: “Kalian semua tidak akan pernah bisa masuk surga, kecuali jika kalian beriman. Kalian juga tidak akan dianggap sebagai orang-orang yang beriman, kecuali jika kalian satu sama lain saling mencintai. Maukah kalian, aku tunjukkan apa yang membuat kalian mudah saling mencintai satu sama lain? Ucapkan salam (dan tebarkan perdamaian) di antara kalian” (Sahih Muslim, no. hadits: 203).
Dalam hadits Kitab al-Mustadrak Imam al-Hakim, ditegaskan, bahwa kasih sayang yang berkali-kali diminta Allah Swt dan dituntut Nabi Muhammad Saw adalah yang umum dan menyeluruh (ar-rahmah al-‘ammah), bukan yang sempit antar golongan atau kelompok semata. Tetapi yang mencakup semua manusia dan seluruh semesta. Inilah bentuk dari pengasuhan semesta alam itu (rububiyah ‘alamiyah).
Kerja-kerja pengasuhan (rububiyah) yang didasarkan pada ajaran kasih sayang ini (rahamutiyah) ini yang akan selalu dipertanggung-jawabkan Allah Swt kepada kita semua. Kelak, di kemudian hari, pada hari pertanggung-jawaban (yaumuddin) kita akan ditanya kembali sejauh mana kita telah membangun peradaban, melalui kerja-kerja pengasuhan yang penuh kasih sayang.
Maaliki yaumiddiin (ayat ke-4). Allah Swt yang memiliki hari pertanggung-jawaban itu. Kita akan menemui-Nya dan kita akan ditanya kembali tentang hubungan kita dengan-Nya, relasi kita antara manusia, dan relasi kita dengan semesta ini.
Apakah kita selalu merujuk pada kasih-sayang-Nya (ar-rahman ar-rahim)?
Apakah kita menerapkan sifat-sifat ini dalam kehidupan kita sehari-hari?
Apakah kita selalu menghiasi diri kita dengan sikap-sikap yang terpuji dan sering memuji (hamdiyah)?
Apakah kita selalu mendasar pada cinta dan kasih sayang dalam kerja-kerja pengasuhan (rububiyah) kita?
Surat al-Fatihah itu untuk kita. Ramadan ini bisa menjadi momen kita bersama menerapkan kandungan-nya, baik rahamutiyah, hamdiyah, maupun rububiyah mulai dari diri kita, bersama keluarga di rumah. Mari kita terapkan kandungan al-Fatihah ini dalam kehidupan kita sehari-hari, agar kita selalu bahagia dan membahagiakan, di sini maupun di akhirat nanti. Su’adaa ad-daarain. Fid-dunya hasanah wa fil akhirah hasanah. Amiin.