Mubadalah.id – Setiap 25 November tiba, semarak dunia pendidikan menyambutnya. Ya, Hari Guru Nasional menjadi momen untuk merefleksikan kembali pendidikan kita. Tepat di penghujung warsa.
Hari Guru Nasional tentu merupakan sebuah “hadiah” untuk para pendidik. Rendahnya gaji guru yang telah jadi polemik panjang barangkali sejenak redam. Hanya redam, tak lantas berarti tuntas!
Kita tentu perlu merenungkan hal lain—tak melulu soal gaji. Ini tak berarti meminggirkan derita para guru yang “berhonor jongkok”. Tapi, kita tak boleh menjebakkan diri pada lagu, “Kalau gurunya tidak sejahtera, bagaimana pendidikan bakal maju?”
Kesejahteraan guru tentu memang seyogianya menjadi prioritas. Pendidikan tak boleh bermodalkan ikhlas. Bagaimanapun, para guru tetaplah makhluk ekonomi. Mereka berhak atas kecukupan upah, penghapus tiap keringat lelah.
Namun, refleksi Hari Guru Nasional tahun ini juga layak jika beroleh pembacaan begini: bagaimana guru telah menerapkan pembelajaran yang menghargai multi-intelegensia siswa?
Puja Matematika, Puji Linguistika
Seringkali, pendidikan untuk anak negeri masih berlaku diskriminatif. Kemampuan intelegensia anak mengalami pemerasan dan penyempitan. Kecerdasan seseorang sekadar dilihat dari nilai matematika dan skor ujian bahasanya.
Itulah yang kita sebut sebagai puja matematika, puji linguistika. Keduanya bak mahadewa yang layak disembah. Setidaknya, disembah dalam artian begini: orang tua rela merogoh kocek berapa saja demi membuat anaknya dapat nilai sembilan.
Pemahaman itu kini bahkan menguat. Kebijakan pemerintah menyelenggarakan ujian TKA (Tes Kemampuan Akademik) kian mengglorifikasi matematika dan bahasa. Anak pintar berarti siswa yang lolos TKA dengan skor luar biasa.
“Kemampuan numerasi siswa-siswa di Indonesia masih rendah karena adanya anggapan bahwa Matematika adalah materi yang sulit,” keluh Menteri Abdul Mu’ti.
Apalagi, pemerintah memproyeksikan nilai TKA sebagai saringan masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Kebijakan ini memungkinkan pragmatisme pendidikan yang berkepanjangan. Alih-alih membentuk paradigma baru, paradigma lama justru kian mendapat amplifikasi.
Tak Sebatas Matematika, Tak Melulu Bahasa
Memahami multi-intelegensia siswa memang kiranya perlu menengahkan diri dalam perayaan Hari Guru Nasional tahun ini. Kita perlu “agak bertobat” dari iman glorifikatif terhadap matematika dan linguistik.
Karena, dalam perspektif multi-intelegensia, kecerdasan manusia sangatlah bervariasi. Selain matematika dan linguistik, terdapat pula berbagai kecerdasan lain.
Kita bisa menyebut kecerdasan spasial, kecerdasan musikal, atau interpersonal. Selain itu, ada pula kecerdasan intrapersonal, natural, juga kinestetik. Ringkasnya, kecerdasan sangatlah pelangi. Tidak hitam putih!
Pemahaman ini menjadi penting, utamanya dalam membekali siswa. Seringkali, kesalahan paradigma dalam memandang ragam kecerdasan mengakibatkan eksklusi antara sang pintar dan sang bodoh.
Padahal, dalam paradigma multi-intelegensia, setiap anak tak ada yang bodoh. Masing-masing memiliki kecerdasannya sendiri dan tidak untuk diadu-bandingkan.
Refleksi, Modalitas, dan Aksi
Refleksi atas selebrasi Hari Guru Nasional tentu diharapkan dapat mewujud dalam bentuk aksi nyata. Maksudnya, pemahaman akan multi-intelegensia siswa mesti bermanifestasi di dalam kelas.
Namun, untuk menuju tahapan itu, kita bersama memerlukan modalitas. Aristoteles memahami modalitas sebagai sesuatu yang menunjukkan kemungkinan atau ketidakmungkinan.
Sederhananya, modalitas merupakan sarana atau fasilitas menuju terwujudnya tujuan (dalam hal ini aksi nyata). Kehendak kita untuk mewujudkan keberagaman kecerdasan di dalam kelas perlu beroleh pelbagai “jembatan emas”.
Jembatan emas itu dapat berwujud kebijakan (policy), kurikulum, strategi pembelajaran, modul, maupun sarana pendukung lainnya. Reformasi kurikulum yang telah berlangsung sepanjang banyak edisi pemerintahan tentu punya implikasi serius.
Segala bentuk modalitas itu mesti dapat menjadikan siswa dengan “kecerdasan jagung” dapat membuahkan jagung bertongkol terbaik. Sementara, anak dengan “kecerdasan padi” juga mesti dididik untuk menghasilkan padi pulen dengan bulir besar.
Pada akhirnya, momen Hari Guru Nasional tahun 2025 ini mesti menjadi momen kebangkitan menuju kecerdasan universal: bahwa jagung tak boleh dipaksa berbuah padi! []












































