Mubadalah.id – Dalam budaya Islam, pernikahan tidak hanya kita pandang sebagai hubungan antara dua individu. Melainkan sebagai peristiwa sakral yang menyatukan keluarga juga masyarakat. Selain sebagai perayaan cinta, pernikahan juga menjadi pengingat akan nilai-nilai penting seperti komitmen, saling menghargai, dan keberkahan.
Tak heran jika Islam memandang walimah sebagai bentuk ungkapan syukur sekaligus wadah sosial untuk menyebarkan kebaikan. Di dalamnya, dakwah dan budaya sering kali berbagi ruang yang sama. Musik, tarian, dan hiburan walimah yang pada awalnya hadir dengan tujuan edukatif, kini telah berkembang dalam berbagai bentuk yang beragam.
Namun, di tengah upaya menyelaraskan syariat dengan ekspresi budaya, kita tidak bisa menghindari pertanyaan penting. Ke mana arah pertunjukan budaya dalam walimah saat ini? Apakah benar dakwah dan budaya telah menyatu, atau justru kita sedang menyaksikan penggunaan simbol-simbol Islam untuk melegitimasi bentuk hiburan yang tidak mencerminkan akhlak Islami?
Salah satu fenomena yang mencuat dalam konteks ini adalah keberadaan orkes gambus. Seni musik yang kental dengan nuansa Arab dan keislaman. Kini, orkes gambus sering tampil dengan format yang menyerupai orkes dangdut, lengkap dengan gerakan yang menggoda, ritual saweran, dan suasana yang jauh dari nilai-nilai dakwah. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi?
Pesta Pernikahan
Dahulu, orkes gambus terkenal sebagai seni musik Islami yang sarat dengan doa, pujian kepada Nabi, dan pesan-pesan moral, mencerminkan semangat dakwah yang kuat. Kini, lagu-lagu yang mereka bawakan tidak lagi mengandung makna mendalam. Melainkan lebih berfokus pada cinta duniawi, yang tak jarang mengarah pada godaan dan rayuan.
Musik yang mereka mainkan pun terdengar keras dan menghentak. Tarian-tarian sering diiringi oleh musik Timur Tengah. Sementara gestur tubuh para penyanyi yang menggoda menarik perhatian penonton laki-laki. Saat ini, orkes gambus dan orkes dangdut memiliki banyak kemiripan.
Satu-satunya perbedaan yang mencolok hanyalah kesan religius yang tampak di permukaan—seperti penggunaan gamis, hijab, atau lirik berbahasa Arab. Namun sebenarnya tidak mengandung makna Islam yang hakiki. Simbol-simbol keagamaan yang mereka tampilkan hanyalah menjadi lapisan luar, semacam kanvas kosong yang tidak mencerminkan nilai-nilai Islam secara substansial.
Salah satu ironi terbesar dari orkes gambus yang kerap tampil di pesta pernikahan saat ini adalah praktik saweran. Dalam tradisi ini, penonton laki-laki biasanya naik ke atas panggung dan memberikan uang kepada penyanyi perempuan. Sering kali pula beserta dengan gestur tubuh yang menggoda, bahkan menyentuh.
Dalam konteks orkes dangdut, perilaku semacam ini jelas dianggap tidak pantas. Namun, dalam versi “Islami” yang terbungkus dalam format gambus, praktik tersebut seolah mendapat pembenaran—berkat jilbab sang penyanyi, lirik yang sesekali menyebut Nabi, atau irama bernuansa Timur Tengah.
Kemunafikan Simbolik
Di sinilah muncul bentuk kemunafikan simbolik. Tindakan yang secara prinsip bertentangan dengan nilai-nilai Islam justru dilegitimasi melalui estetika Arab dan label syariah. Fenomena ini tidak hanya mencederai etika Islam, tetapi juga mencerminkan bagaimana simbol-simbol agama termanipulasi untuk meredam kritik publik.
Setelah mencermati bagaimana hiburan dalam acara walimah saat ini sering kali terkemas dengan simbol-simbol keislaman yang kosong makna. Penting bagi kita untuk kembali merujuk pada landasan normatif yang hakiki. Islam tidak sekadar menilai apa yang tampak secara lahiriah, melainkan juga memperhatikan substansi dan nilai yang terkandung di balik setiap perilaku sosial.
Salah satu hadis yang sering kita kutip dalam konteks pesta pernikahan adalah sabda Nabi ﷺ:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabila salah seorang dari kalian diundang ke walîmah (pesta pernikahan), maka hendaklah ia mendatanginya.””
Hadis ini kerap menjadi landasan bahwa memenuhi undangan pernikahan merupakan bagian dari etika Islam dan bentuk penghargaan kepada sesama. Namun, kewajiban tersebut tidak bersifat mutlak dan tetap bergantung pada syarat-syarat tertentu.
Menilik Keberkahan Walimah
Menurut para ulama seperti Imam An-Nawawi, kewajiban menghadiri walimah dapat gugur jika dalam acara tersebut terdapat unsur kemaksiatan yang tidak bisa kita cegah atau terhindari. Tidak diperbolehkan menghadiri walimah yang secara jelas menampilkan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai syariat. Seperti pertunjukan yang mengganggu konsentrasi ibadah, musik yang membangkitkan syahwat, atau pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan.
Dalam konteks inilah, kehadiran orkes gambus yang menyuguhkan pertunjukan bernuansa menggoda dan praktik saweran—meskipun dikemas dengan musik berbahasa Arab atau simbol-simbol Islami—perlu kita kaji secara kritis.
Jika muatannya tetap mengandung unsur maksiat dan mengaburkan nilai-nilai Islam, maka tampilan luarnya yang terkesan “lebih Islami” daripada hiburan populer lainnya tidak bisa kita jadikan alasan pembenaran. Menganggap kehadiran dalam pesta semacam itu sebagai kewajiban agama tanpa melakukan penilaian kritis justru bertentangan dengan semangat dari hadis tersebut.
Pada dasarnya, anjuran Nabi untuk menghadiri walimah bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan dan berbagi kebahagiaan dalam suasana yang penuh berkah. Bukan dalam suasana yang justru merusak nilai dan adab.
Oleh karena itu, jika sebuah walimah kehilangan keberkahannya karena isi acaranya bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, maka umat dituntut untuk bersikap. Tidak sekadar menolak hadir secara fisik, tetapi juga berperan aktif dalam membangun tradisi walimah yang sarat makna, bernilai, dan bermartabat.
Menyoal Hiburan Orkes Gambus
Pesta pernikahan idealnya menjadi ajang untuk meneguhkan nilai-nilai moral. Bukan malah kita jadikan pembenaran atas budaya hiburan yang menyimpang. Kemunculan orkes gambus yang masih mempertontonkan praktik saweran dan unsur sensual, meskipun terkemas dalam simbol-simbol Islam, mencerminkan adanya kesalahan dalam memahami esensi dakwah.
Penggunaan bahasa Arab, musik bernuansa Timur Tengah, atau busana syar’i tidak akan bermakna jika pesan moral Islam justru terabaikan. Sudah waktunya untuk melakukan perubahan cara pandang—dari yang hanya berfokus pada tampilan simbolik menjadi pada isi yang bermakna, dari sekadar hiburan menjadi sarana pendidikan nilai.
Upaya seperti memberikan edukasi kepada masyarakat tentang etika dalam walimah, mendukung seniman Muslim dalam menciptakan karya yang sesuai ajaran Islam. Selain itu menyebarkan kesadaran bahwa akhlak tidak boleh kita kompromikan demi tampilan luar, merupakan langkah awal yang penting.
Tujuannya agar walimah benar-benar menjadi bentuk ibadah, ia harus terbangun di atas nilai-nilai, bukan hanya diiringi oleh musik yang sekedar menjadi hiburan. []