Mubadalah.id – Kairo 1983. Musim semi yang melankoli mulai merekah. Taman-taman penuh bunga warna-warni menebarkan keharuman yang menggairahkan. Sore itu, di atas altar rerumputan hijau yang segar, aku menatap dengan penuh minat sekelompok perempuan-laki-laki muda tengah terlibat dalam perbincangan manis dan tawa riang yang renyah. Wajah-wajah mereka kadang merah merona, bercahaya, berbinar-binar. Ada pula tatapan-tatapan mata di antara mereka yang menembus jantung dan menciptakan deburan-deburan ombak di dada.
Di sudut lain tampak anak-anak kecil berlari-lari, berkejar-kejaran, ada yang terjatuh dan menangis, lalu berhenti, bangun dan berlari lagi, seperti tak ada luka. Langit biru yang jernih kemudian berangsur-angsur berubah menjadi temaram, dan memunculkan cahaya merah saga. Beberapa saat kemudian bulan segera bergerak perlahan menuju puncak langit.
Bila musim ini tiba, aku, sering pergi menyusuri pinggir sungai Nil, dan berharap bisa mendengarkan celoteh para penyair dan sastrawan yang biasa nongkrong di cafe-cafe disana. Aku tidak tahu apa yang mereka perbincangkan di sana. Tetapi aku melihat dari jauh saja, mereka tampak begitu asyik, penuh canda ria, kadang tergelak۔gelak.
Nah suatu hari aku melihat Taufiq el-Hakim dengan peci khasnya. Sastrawan terkemuka Mesir itu duduk sendiri sambil minum ‘qahwah’ (kopi). Ia tampak begitu asyik membaca buku-buku sastra, karya para penulis dan tokoh sastra dunia.
Kandidat Nobel sastra dari Mesir itu sendiri telah menulis begitu banyak karya sastra. Antara lain “Syahrazad’, “’Audah al-Ruh”, “Odipus”, dan lain-lain. Ada karyanya yang menarik hatiku. Ia adalah “al-Syahid al-Mal’un” (pahlawan terkutuk) atau “al-Syaithan al-Mazhlum” (setan yang terzalimin).
Taufiq mengkhayal tentang Iblis. Raja para setan itu tiba-tiba gundah-gulana bukan kepalang. Hatinya dicekam oleh rasa bersalah dan sejuta dosa. Ia juga sudah tak tahan terus menerus dicaci-maki manusia dan menjadi kambing hitam. Ia selalu mendengar manusia mengutuknya setiap akan menghadap Tuhan, dan memohon perlindungan-Nya. “A’udzu Billah min as-Syaithan ar-Rajim”. “Ini gara۔gara setan iblis”, dan lain۔lain.
Setan Iblis betul-betul ingin taubat, kembali ke jalan yang benar. Ia ingin berhenti mengganggu, mengacaukan, menyesatkan dan menjerumuskan manusia. Ia ingin jadi saleh untuk selamanya, biar bumi jadi aman dan damai, tak ada lagi kebencian yang menyala-nyala antar manusia, tak ada lagi pedang yang bertarung dan bom-bom tak lagi diledakkan di mana-mana dan meratakan bumi manusia. Dan dengan begitu, dunia akan menjadi aman damai sentosa selama-lamanya.
Iblis berpikir lama. “Kepada siapakah gerangan aku harus mengkonsultasikan niatku ini”, “siapakah yang bisa aku ajak bicara dan memecahkan perasaanku ini”, bisik hatinya.
“Aha!”, terial Iblis kemudian, sambil melonjak-lonjak gembira. Ia teringat Paus di Roma. Semua orang katolik di seluruh dunia mengetahui bahkan meyakini bahwa Paus adalah Imam Agung, Pemimpin Spiritualitas teragung dan wakil Kristus. Iblis segera langsung menuju Vatikan di Roma,tempat di mana Paus bermukim, sekaligus sebagai kepala Pemerintahan Vatikan. Pintu diketuk. “Siapa?”, kata yang di dalam. “Aku, setan, iblis”.
Paus : haah? Silakan masuk.
Mau apa kau ke sini, Iblis?
Iblis : “Yang mulia. Aku sengaja datang kepadamu. Aku akan bertobat. Segala sesuatu tentu ada masa berakhirnya bukan?. Aku akan mengakhiri petualanganku menggoda, mengganggu dan menjerumuskan umat manusia ke neraka. Aku ingin menjadi makhluk Tuhan yang baik dan setia.”
Dada Paus bergetar, mendengar kata-kata Iblis itu. Ia gembira sekaligus bingung. Pikirannya melayang-layang entah ke mana. Bingung bukan kepalang.
Iblis melanjutkan: “Bukankah Kristus pernah mengatakan : “Tuhan Bapa di langit akan sangat bergembira manakala ada hambanya yang bertaubat dari dosa-dosanya?”.
“Iya benar. Memang. Tuhan Maha Pengasih. Maha Penyayangۧ. Tapi, tapi. Wah, terus terang, aku tidak bisa membantumu”, jawab Paus dengan suara terbata-bata. Ia sangat bingung harus menjawab apa.
Iblis paham, meski sangat kecewa. Lalu segera pamit dan pergi, sambil mengucapkan terima kasih atas penerimaannya yang santun.
Dengan mengepak-ngepakkan sayapnya, Iblis segera melesat meninggalkan pemimpin agama yang sangat dihormati jutaan orang di dunia itu. Langkah Iblis sudah bulat menuju Kairo, Mesir, untuk menemui seorang ulama besar dan pemimpin berjuta umat.
Ia berkantor di Universitas Al-Azhar, sebuah Universitas Islam kuno, terkemuka dan paling prestisius di dunia muslim. Ia disebut sebagai universitas tertua kedua sesudah Universitas Qairawan di Maroko, yang didirikan oleh seorang perempuan, Fatimah Al Fihri. Sementara Univ. Al-Azhar didirikan tahun 970 M oleh dinasti Fathimiyah, bermazhab Syiah. Nama Fatimah dan Al Azhar diambil dari nama putri Nabi Fatimah al-Zahra, istri Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Ya, inilah pusat pendidikan agama, tempat beribu ulama besar di dunia pernah menimba ilmu keislaman dan menjadi para pemimpin di negaranya masing-masing. Pemimpin tertinggi Universitas al Azhar ini dipanggil “Al-Syeikh al-Akbar” (Grand Syeikh). Ini adalah jabatan tertinggi di sana yang pada masa awalnya setara dengan posisi Perdana Menteri dalam struktur pemerintahan di Mesir. Dalam sejumlah hal Grand Syeikh lebih dihormati dan ucapan-ucapannya lebih dipatuhi masyarakat daripada ucapan-ucapan Perdana Menteri sendiri.
Iblis melesat menuju bilangan Husein. Di sana ada masjid Husein. Konon di dalamnya dikubur kepala cucu Nabi bernama Husein bin Ali bin Abi Thalib yang terbunuh di Karbala, Irak itu. Di sebelah masjid itu ada kantor, tempat, kantor Syeikh Al Azhar memimpin universitas Islam tertua di dunia itu. Di seberang jalan ada masjid (Jami) al-Azhar. Masjid ini dibangun oleh Panglima Johar al-Siqli, tahun 970 M pada pemerintahan Mu’ iz Li Dinillah, dari dinasti Fatimiah.
Iblis datang ke sana untuk tujuan yang sama, minta fatwa agama tentang rencana pertobatannya. Di kantornya yang bersahaja itu, ia diterima dengan baik oleh al-Syeikh al-Akbar. Sesudah dipersilakan duduk di ruang kantornya, dialog pun terjadi:
“Ayyuha al Syeikh al-Muwaqqar”, (wahai maha guru yang terhormat), kata Iblis. “bukankah Tuhan mengatakan dalam kitab suci-Nya:
فسبح بحمدربك واستغفره . إنه كان توابا
“Fa Sabbih bi Hamdi Rabbika wa istaghfirhu. Innahu Kaana Tawwaba” (Sucikanlah dengan Memuji Tuhanmu dan bertobatlah. Sungguh Dia Maha Penerima pertobatan (hamba-hamba-Nya)?”. “Innallah Ghafurun Rahimun”.
“Ya benar, Tuhan memang Maha Pengampun dan Maha Penyayang kepada ciptaan-Nya. Dia menerima dengan terbuka siapa pun yang ingin bertaubat, kembali pada-Nya, kapan saja dan di mana saja ”, kata Syeikh dengan tenang.
“Kalau begitu, aku akan bertaubat. Bagaimana menurut anda, apakah Tuhan akan menerima taubatku?”.
Syeikh terperangah, kaget, merenung sambil mengurai-urai jenggot panjangnya yang kebanyakan sudah memutih itu. Pikirannya bergulat. “Oh, andaikata setan iblis bertobat dan jadi saleh, bagaimanakah kelak al-Qur’an harus dibaca. Berapa dan betapa banyak ayat-ayatnya yang akan hilang. Kitab suci ini jadi berantakan dan tidak lagi utuh. Ada-ada saja si Laknatullah ini”, kata hatinya.
إنك جئتنى فى امر لا قبل لى به.. وهذا شيئ فوق سلطتى.. وأعلى من مقدرتى. ليس لى يدى ما تطلب. ولست الجهة التى تتجه اليها فى هذا الشأن.
“Kamu datang kepadaku untuk satu hal yang tidak mampu aku lakukan. Ini sesuatu yang di luar profesiku, di luar kemampuanku, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu dan aku bukan orang yang tepat untuk soal ini”.
الستم رؤسآء الدين يا ايها الشيخ العالم العلامة البحر الفهامة
“bukankah Anda pemimpin agama paling terkemuka di dunia, tuan Syeikh yang amat pandai?”, sergah Iblis.
“Ya, ya”, Syeikh menganggukkan kepalanya. Dengan berusaha bersikap tenang ia menjawab: “Niatmu sungguh baik. Tapi tugasku hanyalah mengibarkan panji-panji Islam (I’la Kalimah Islam), menyebarkan pengetahuan Islam kepada kaum muslimin dan menjaga kewibawaan institusi ini (al-Muhafazhah ‘ala Majd al-Azhar)”.
”Ok, Syeikh. Jika anda tidak bisa memberi jawaban, lalu aku harus bertanya kepada siapa lagi, ke mana?. Aku sungguh-sungguh ingin taubat”, desaknya.
Syeikh membisu. Iblis pamit tanpa bicara apa-apa. Ia sangat kecewa, tetapi juga tak mau menyerah. Niatnya sudah bulat untuk berubah menjadi baik dan berjanji tak akan lagi menjerumuskan manusia ke dalam dosa dan tak lagi jadi kambing hitam mereka yang kalah. Kalau Grand Syekh Azhar tidak bisa menjawab, maka tentu tak ada orang lain lagi yang bisa, pikir Iblis. Ia menganggap Grand Syeikh sama dengan Paus di Roma, pemimpin tertinggi umat Katolik itu. []