• Login
  • Register
Jumat, 6 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

Ketika Ismail a.s. bersuara dan Hajar yang bertahan, maka perempuan hari ini berhak menolak menjadi “kurban” dalam narasi patriarki yang sakral.

Maulana Alif Rasyidi Maulana Alif Rasyidi
05/06/2025
in Hikmah
0
Kritik Asma Barlas

Kritik Asma Barlas

463
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Iduladha sebagai ritual tahunan kerap kita rayakan sebagai simbol ketaatan absolut Ibrahim atas perintah Allah. Benarkah begitu? kritik Asma Barlas dalam “Abraham’s Sacrifice in the Qur’an: Beyond the Body” justru menilai narasi ketaatan absolut dengan tegas, yakni: “Al-Qur’an tidak menyebutkan pengikatan fisik Ismail, tubuh bukanlah fokus kisah, dan otoritas patriarkal tidak pernah menjadi inti pesan Ilahi”.

Narasi Qur’ani vs. Tafsir Patriarkal

Pernyataan kritik Asma Barlas tersebut berlandaskan pada QS. As-Saffat: 99-107, bahwa dialog antara Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. justru menampilkan konsensus (keridhoan dua belah pihak) — sang ayah bertanya pendapat anaknya, “Apa pendapatmu?” dan Ismail menjawab, “Lakukanlah perintah Allah”.

Fakta kesejarahan tersebut bukanlah sekadar kepatuhan buta, melainkan kesetaraan agensi moral antara ayah dan anak. Sayangnya, tafsir tradisional sering  menambahkan detail “pengikatan tubuh” yang tak ada dalam teks suci. Narasi pengikatan tersebut muncul dalam sebagian interpretasi Alkitab, yang justru  berpotensi mengubah kisah ini menjadi alat legitimasi (pembenar) kekuasaan sepihak laki-laki atas perempuan dan anak.

Konsensus, Bukan Paksaan: Menolak Kekerasan atas Nama Otoritas

Barlas menegaskan bahwa Al-Qur’an “menolak etika pengkhianatan” yang tertulis dalam tafsir Kristen-Yahudi. Tatkala Alkitab mengisahkan bahwa Ibrahim diam-diam membawa Ishak ke altar (Kejadian 22:1-24), Al-Qur’an justru menekankan transparansi(komunikasi terbuka): Ibrahim mengomunikasikan mimpinya kepada Ismail, dan sang anak diberi hak memilih.

Situasi tersebut selaras dengan prinsip Qur’ani: “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 256) dan “Setiap jiwa hanya menanggung dosanya sendiri” (QS. Fathir: 18).

Baca Juga:

Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

Membaca Novel Jodoh Pasti Bertemu dalam Perspektif Mubadalah

Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

Sayangnya, ritual kurban kerap mengalami pengkerdilan menjadi simbol “kepatuhan perempuan dan anak pada otoritas laki-laki”, sebagaimana tercermin pada kasus poligami atau pernikahan paksa yang dibungkus dalil agama.

Membaca pandangan Buya Husein Muhammad, sesungguhnya dialog Ibrahim-Ismail mencerminkan kepemimpinan partisipatif yang selaras dengan QS. Ali Imran: 159 tentang musyawarah. Ketaatan dalam Islam harus lahir dari kesadaran kritis, bukan paksaan. Ismail sesungguhnya bukanlah objek pasif, melainkan subjek yang berhak menegoisasikan makna pengorbanan

Penafsiran terhadap perintah penyembelihan sesungguhnya menyiratkan spirit intelektual untuk memahami teks suci agama lebih sistematis dan kontekstual. Mengutip pandangan Barlas, beliau menyebut: “Allah tidak pernah memerintahkan pengorbanan manusia secara literal. Perintah tersebut sesungguhnya merupakan ujian nyata” .

Penting sebagai landasan hukum, bahwa QS. Al-Ma’arij: 11-14 dan Al-Isra’: 31 secara eksplisit melarang pembunuhan anak. Namun bila memaknai lebih kontekstual hari ini, kenyataan masyarakat justru menampilkan budaya patriarki yang kerap “mengorbankan” perempuan dan anak sebagai kelompok rentan atas nama tradisi.

Kisah Siti Hajar sebagai ibu Nabi Ismail, yang terasingkan di padang pasir oleh Ibrahim a.s. (QS. Ibrahim: 37), jarang tersampaikan dalam khutbah Iduladha.

Narasi Kesalingan (Resiprokal) dalam kisah kenabian Ibrahim a.s.

Menelaah pandangan Faqih Abdul Kodir tentang metode penafsiran mubadalah yang sarat akan hubungan kesalingan (resiprokal), maka seyogyanya kisah kenabian sebagai refleksi bahwa jika Allah s.w.t. menguji Nabi Ibrahim a.s.  dengan perintah menyembelih,  maka Allah s.w.t. pun juga menguji Siti Hajar  dengan pengasingan.

Keduanya adalah pilar spiritualitas haji yang setara, tetapi sejarah hanya mengabadikan yang pertama. Kurban juga seharusnya menjadi refleksi keadilan distributif: bahwa pembagian daging kepada fakir miskin (QS. Al-Hajj: 28), bukan hanya untuk mengukuhkan status sosial yang berkuasa.

Menghidupkan Kembali Semangat Kesetaraan dalam Ritual

Tafsir Sufi Ibn Arabi yang termaktub dalam karya Asma Barlas, sejatinya menawarkan perspektif unik: “Ujian Ibrahim bukan tentang ketaatan, tetapi kemampuan menafsirkan kehendak Allah”.

Jika mimpi penyembelihan bermakna sebagai metafor pengorbanan ego (bukan fisik), maka kurban sudah pasti menjadi simbol dekonstruksi keangkuhan maskulin. Konsekuensinya, para ayah mengedepankan komunikasi dan konsensus kepada anaknya dalam setiap  pengambilan keputusan hidup.

Kondisi memprihatinkan bagi umat, tatkala praktik kurban hari ini justru terjebak dalam kompetisi “hewan terbesar” atau pembagian daging yang diskriminatif — perempuan dan anak yatim sering mendapat bagian tersisa, misalnya. Padahal Baginda Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi amanat bahwa orang yang berkurban,  tetangga, dan orang  yang membutuhkan berhak menikmati daging kurban secara merata.

Iduladha yang Membebaskan

Umat semestinya melakukan refleksi, bahwa kisah Ibrahim-Ismail adalah alegori tentang kesetaraan, penolakan patriarki, dan prioritas keadilan atas ikatan darah.  Setiap tetes darah hewan kurban seharusnya menjadi tangisan melawan kekerasan domestik, pernikahan anak, atau marginalisasi perempuan atas nama “tradisi”.

Iduladha bukan panggung untuk mengukuhkan otoritas laki-laki, melainkan momentum menghidupkan kembali semangat “Laa ikroha fid-diin”. Semangat yang berarti tiada paksaan dalam menyembah Allah, termasuk dalam relasi gender.  Ketika Ismail a.s. bersuara dan Hajar yang bertahan, maka perempuan hari ini berhak menolak menjadi “kurban” dalam narasi patriarki yang sakral oleh anggapan sebagian umat. []

 

 

Tags: Buya Husein MuhammadiduladhaKritik Asma BarlasMubadalahNabi IbrahimNabi Ismail AsPengorbanan Siti Hajar
Maulana Alif Rasyidi

Maulana Alif Rasyidi

lulusan hukum Universitas Jember dengan minat mendalam pada isu gender dan kebijakan publik, aktif menulis di berbagai media seperti radarbaru.com dan mubadalah.id tentang isu-isu kritis mulai dari isu lingkungan hingga femisida. Expertise di bidang hukum diperkuat melalui pengalaman magang di Kantor Pengacara dan BPBH Fakultas Hukum UNEJ, plus sertifikasi Contract Drafting yang membuat profil semakin credible. Sebagai aktivis gender yang literally slaying, saya aktif mengembangkan kajian dan kepenulisan di Forum Kajian Keilmuan Hukum FH UNEJ dengan fresh perspective. Dengan kombinasi analytical thinking yang kritis dan writing skills yang on point, saya siap memberikan perspektif segar dalam menganalisis isu-isu hukum kontemporer.

Terkait Posts

Wuquf Arafah

Makna Wuquf di Arafah

5 Juni 2025
Aurat

Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial

5 Juni 2025
Batas Aurat Perempuan

Dalil Batas Aurat Perempuan

5 Juni 2025
Aurat Perempuan

Memaknai Aurat Perempuan secara Utuh

4 Juni 2025
Pesan Mubadalah

Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

4 Juni 2025
Ibadah Kurban

Nilai Ekonomi dan Sosial dalam Ibadah Kurban

3 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Berkurban

    Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tambang Nikel Ancam Kelestarian Alam Raja Ampat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • 3 Solusi Ramah Lingkungan untuk Pembagian Daging Kurban
  • Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha
  • Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang
  • Makna Wuquf di Arafah
  • Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID