Mubadalah.id – “Menjadi Korban kasus kekerasan seksual di negeri kita tercinta tidaklah mudah”, begitu kira-kira yang sering kali saya dengungkan ketika setiap kali menulis terkait menu rutinan yang tersaji ke hadapan kita.
Baru-baru ini muncul sebuah kasus kekerasan seksual, yakni seorang ayah yang melakukan pemerkosaan terhadap anaknya sendiri yang terjadi di Kecamatan Waringin, Serang. Pelakunya terbebas dari hukuman begitu saja atas nama perdamaian.
MS (45) sebagai ayah korban, dibebaskan dari segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Serang oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Serang, Kamis (16/01/2025). Terdakwa kekerasan seksual terhadap anaknya sendiri yang masih di bawah umur dinyatakan tidak bersalah.
Pertimbangan putusan bebas majelis hakim adalah karena telah terjadi kesepakatan damai antara terdakwa dan anaknya melalui surat perdamaian tertulis pada tanggal 9 Mei 2024. Surat itu tertuju ke Kapolres Serang dan tembusannya telah tersampaikan kepada Dinas Sosial P2TPA dan KPAI.
Ada juga kasus sebelumnya yang lain dan sempat mengemuka, yakni seorang oknum guru yang melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap muridnya yang juga masih di bawah umur. Awalnya ditangguhkan dan sekedar wajib lapor.
Menurut keterangan Kepolisian kala itu, penangguhan tersebut untuk memberikan kesempatan kepada pelaku untuk melanjutkan studi S2 serta memperbaiki hubungan rumah tangganya. Tapi katanya telah kembali ditahan, tapi saya yakin itu semua karena kebijakan dan kebijaksanaan aparat penegak hukum untuk menahannya bukan karena rame dan viral.
Jalan Damai Menjadi Pilihan
Bujet dah, ketika baca dan mendengar berita-berita semacam ini, kesel marah dan semua emosi campur aduk nggak terima. Kok bisa-bisanya pelaku cabul dan predator anak bisa lepas begitu saja tanpa mendapatkan hukuman yang setimpal.
Mau sampai kapan pelaku kekerasan bisa lenggang dan leluasa, sementara korban tidak mendapatkan hak sebagaimana seharusnya. Ini pun bukan hanya tidak adil bagi korban yang mengalami trauma berkepanjangan, namun bisa saja pelaku memperoleh korban baru. Na’udzubillah.
Saya kemudian teringat dengan tulisan lama saya, sekitar dua tahun lalu saya menuliskan keluh kesah yang nyaris sama, terkait kasus-kasus kekerasan seksual yang berujung damai. Ternyata pola ini masih tetap sama, dan berulang kali terjadi.
Banyak kasus-kasus kekerasan seksual yang selesai dengan mengatasnamakan perdamaian, demi menjaga nama baik, dan jurus andalan lain yang kerap mereka gunakan adalah embel-embel atas nama kekeluargaan. Duh sumpah saya pribadi ga habis pikir, kekerasan yang mereka lakukan justru berakhir damai. Sering berlindung di bawah ketek perdamaian yang seolah menjadi solusi final yang berujung keadilan.
Kalau kita mau menilik data kasus yang terjadi, betapa banyak kasus-kasus yang terlapor. Bahkan kalau merujuk pada pernyataan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo yang menyebutkan bahwa dia mengaku heran. Karena selama periode 2020-2024 ada ratusan ribu kasus kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan ke Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang berjumlah sekitar 400-an ribu kasus kekerasan terhadap perempuan dan 15-an ribu kasus kekerasan terhadap anak.
Namun yang selesai dan tertangani oleh unit Subdit PPA/PPO ada 105.475 kasus terhadap perempuan dan anak. Untuk rincian kasusnya, KDRT masih memegang angka tertinggi, lalu pencabulan, kekerasan fisik dan psikis, persetubuhan, dan pemerkosaan.
Bayangin coba, dari 400-an ribu, yang tertangani 100-an ribu. Ini menunjukkan bahwa menjadi korban kekerasan seksual sangatlah pelik. Bahkan orang-orang sekitar, masyarakat kebanyakan, aparat penegak hukum, dan nyaris kesemuanya tidak menunjukkan keberpihakan kepada korban, cenderung menyudutkan dan menyalahkannya.
Sejauh Mana Implementasi UU-TPKS?
Saya juga meyakini bahwa kasus kekerasan seksual ibarat fenomena gunung es, yang muncul di permukaannya lebih sedikit ketimbang bongkahan es yang mengakar di bawahnya yang jauh lebih besar. Dengan kata lain permasalahan atau laporan yang ada hanyalah ujungnya saja.
Padahal sebenarnya kasus yang terpendam di bawah masih banyak dan perlu mendapatkan perhatian lebih dari semua pihak. Dengan kata lain, angka yang belum terlapor berkemungkinan besar lebih banyak dari itu.
Padahal kalau boleh jujur, saat ini payung hukum yang mendasari kekerasan seksual sudah ada. Tapi realita lapangan malah menunjukkan sebaliknya.
Pertanyaannya kemudian, Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sudah ada, tapi mengapa kasus kekerasan seksual semakin merajalela? Sejauh mana UU TPKS ini dalam impelementasinya sudah optimal?
Nah ini menjadi PR bersama, bagaimana UU TPKS ini benar-benar bisa terimplementasi dalam laku kehidupan. Khususnya dalam memberikan keberpihakan kepada korban dan penanganan yang berperspektif korban. Tanpa menghakimi korban dan mesti memiliki pengetahuan gender yang kuat bagi aparat penegak hukum.
Sehingga penyudutan terhadap korban dan kecenderungan untuk menyalahkannya takkan terjadi lagi. Kalaupun terjadi, minimal lebih sedikit dari sebelumnya. Memberikan ruang aman, akomodasi hak-hak korban harus terpenuhi, hak pendampingan, termasuk tata cara pemeriksaan terhadap korban.
Sebenarnya sadar atau tidak, kasus-kasus kekerasan seksual yang berujung damai hanya tampak menjadi solusi di permukaaan dan seolah menjadi solusi paling manjur. Padahal ini hanya upaya simplistis yang tidak menyelesaikan persoalan sama sekali.
Apalagi bila pelakunya adalah mereka yang memiliki kuasa, seolah-olah semua akan selesai dengan uang dan backingan. Sungguh ini bukan tentang ganti rugi yang diberikan, tapi trauma seumur hidup yang tak bisa terbayangkan.
Tak Ada Kata Damai Untuk Kekerasan Seksual
Sahnya UU-TPKS sebagai produk hukum sebagai upaya aktivis perempuan dan ikhtiar pemerintah untuk membela hak-hak korban yang terabaikan untuk mendapatkan hak yang sepatutnya. Tujuan idealnya adalah untuk memberikan ruang aman dan keberpihakan kepada korban di satu sisi.
Di sisi yang berbeda untuk memberikan efek jera kepada pelaku dengan hukuman yang seadil-adilnya. Kalau saja kita mau mengimplementasikan UU-TPKS ini secara ideal. Maka saya yakin tidak akan ada kata damai bagi para pelakunya, kecuali telah memperoleh hukuman yang setimpal.
Meski ada yang beranggappan bahwa jalan damai sebagai upaya win-win solution. Bagi saya itu hanyalah omong kosong semata yang sama sekali tidak menghadirkan hukum berkeadilan. Payung hukumnya telah jelas ada, tinggal bagaimana lingkungan yang ada, memihak kepada korban atau tidak.
Betapapun jalan menuju keadilan itu begitu pelik dan terjal. Saya yakin sedikit demi sedikit kalau kita berdiri tegak bersama, sebaris dalam melawan ketidakadilan, dan secara sadar menilai bahwa kekerasan seksual sebagai tindak kejahatan yang tidak boleh kelar dengan menempuh jalan damai.
Sungguh satu-satunya jenis kedamaian paling buruk yang melahirkan dampak-dampak negatif adalah akhir damai dari kekerasan seksual. Baru kali ini saya merasa kesal dan membenci jalan damai yang semacam ini.
Saya berharap semoga di kemudian hari tidak ada lagi kekerasan seksual yang berujung damai, kecuali si pelaku telah mendapatkan hukuman yang setimpal dan korban memperoleh haknya dengan seadil-adilnya. []