Tips ini bisa menjadi salah satu upaya agar kita punya mental kuat, dan tidak terlalu nyungsep saat menemui kondisi yang tidak kita inginkan
Mubadalah.id – Seorang bapak bilang padaku “semenjak saat itu, saya tidak akan percaya lagi ke orang 100 persen mas. Bukan karena apa, tapi agar tidak terlalu kecewa aja. Jadi bagaimanapun tetap harus ada self control, karena namanya manusia pasti memiliki kesalahan. Itu salah satu cara supaya kita tidak terlalu merasakan kekecewaan”.
Bapak itu menceritakan pengalamannya yang telah terkena tipu, oleh rekan bisnisnya. Dari cerita dan pesannya padaku, sampai sekarang aku masih menerapkan tipsnya itu agar tidak terlalu percaya sepenuhnya pada siapapun atau apapun di dunia ini, kecuali pada Tuhan. Karena namanya makhluk, tidak ada yang sempurna dan pasti memiliki kekhilafan.
Aku setuju dengan pesannya, agar harus selalu memiliki self control. Karena ini dapat memperkuat mental kuat, dan membantu supaya tidak terlalu merasa hancur berkeping-keping, bagai tenggelam ke dasar laut yang paling dalam. Dari self control ini, aku belajar memprediksi bahwa akan ada saja sesuatu yang tidak mengenakan dari suatu kejadian. Yang pada akhirnya, setelah hal itu benar terjadi, aku hanya bilang “tuh kan” kemudian aku tersenyum dan tertawa “hahaha”.
Pikirkan Hal Negatif yang Mungkin Terjadi
Membaca buku “Filosofi Teras” aku rasa sangat cocok untuk kita yang kerap diliputi masalah internal di diri kita. Ada sebuah tips dari seorang filsuf stoa agar kita dapat memperkuat mental dalam menghadapi kesulitan hidup. Tips ini bisa menjadi salah satu upaya agar mental kuat kita tidak terlalu nyungsep saat menemui kondisi yang tidak kita inginkan.
“Premeditatio malorum” atau “premeditate evil” sebuah bahasa latin yang jika kita mengartikannya adalah “Memikirkan/Membayangkan hal-hal jahat/negatif yang mungkin terjadi”. Henry sang penulis buku, mengutip perkataan dari Marcus Aurelius dalam karyanya Meditations
“Mulailah setiap harimu dengan menyatakan pada dirimu sendiri: Hari ini saya mungkin menghadapi tantangan, bertemu dengan orang-orang yang tidak tahu berterima kasih, menerima kritik, menghadapi ketidaksetiaan, merasakan niat buruk, dan menghadapi sikap egois. Semua ini terjadi karena mereka mungkin tidak sepenuhnya memahami perbedaan antara yang baik dan yang buruk.”
“Saya tidak dapat merasa terluka oleh semua itu, karena tidak ada yang dapat menggiring saya ke perilaku yang buruk. Saya memiliki kemampuan untuk tetap tenang dan tidak membenci sesama, karena pada dasarnya kita hadir di dunia ini untuk saling bekerja sama.”
Praktik Premeditatio Malorum memiliki kemiripan prinsip kerja dengan imunisasi. Pada proses imunisasi, kita memasukkan kuman yang telah dilemahkan agar sistem kekebalan tubuh dapat bersiap menghadapi kuman yang sebenarnya jika ia datang. Dengan begitu, kita dapat membangun “kekebalan mental” untuk menghadapi situasi yang sebenarnya, jika terjadi.
Pernyataan ini sesuai dengan informasi di website Kementerian Kesehatan, yang menjelaskan bahwa imunisasi adalah tindakan pencegahan melawan penyakit, dengan memberikan bakteri atau virus yang dilemahkan atau dimatikan untuk merangsang sistem imun tubuh, membentuk antibodi, dan menciptakan kekebalan terhadap penyakit.
Ngapain sih ngelakuin Negative Thinking?
Sang penulis mengajak kita berpikir, sebenarnya untuk apa kita memikirkan hal-hal negatif? Bukankah ini bertentangan dengan apa yang telah dikatakan filsuf Seneca di awal pembahasan buku “Kita sering menyiksa diri dengan pikiran-pikiran negatif yang tidak perlu?
Jawabannya adalah, sama sekali tidak bertentangan. Karena Premeditatio Malorum bermula dengan kesadaran dikotomi kendali. Kesadaran bahwa sesuatu yang berada di luar kendali kita, tidak berpengaruh pada baik tidaknya hidup kita. Berbeda dengan pikiran negatif yang menyiksa, karena ini memberikan penilaian/judgment terhadap hal-hal di luar kendali kita.
Perbedaan lainnya adalah Premeditatio Malorum sepenuhnya berada dalam kekuasaan kita. Kita yang memilih untuk merencanakan simulasi berbagai situasi negatif pada waktu yang kita tentukan. Kita memulainya dengan maksud untuk menyiapkan solusi atau mengurangi reaksi emosional negatif apabila benar-benar menghadapi kejadian buruk.
Premeditatio Malorum memulainya dengan dikotomi kendali dan mengakhirinya dengan pertanyaan “Bagaimana saya dapat mengurangi dampak dari kejadian negatif ini jika memang terjadi? Jika tidak ada solusi, apakah saya benar-benar akan merasakan luka?
Sementara itu, kecemasan yang tak terkendali tidak memberikan hasil apa pun, muncul begitu saja tanpa kontrol, dan hanya menyiksa kita tanpa solusi yang jelas. Dan perbedaan paling pokok adalah kecemasan bersifat emosional. Adapun Premeditatio Malorum timbul dari pemikiran rasional dan kepala dingin.
Dengan melakukan Premeditatio Malorum, sebenarnya kita sedang mengubah suatu hal yang awalnya tidak terduga, menjadi bisa diantisipasi. Dampak negatifnya akan berkurang secara signifikan, ketika kejadian tersebut akhirnya benar terjadi.
Contoh Mempraktikkan Premeditatio Malorum
Bayangkan pada saat ingin berangkat ke kampus, sekolah atau kantor, hujan lebat akan mengguyur kita, atau bahkan badai mengombang-ambing kita sampai muter-muter seperti wahana di ancol.
Maka, jika dalam perjalanan hujan itu benar mengguyur kita, kita tidak lagi syok seperti tersengat listrik, karena kita sudah memprediksinya dan mungkin sudah mengantisipasi, misalnya dengan membawa jas hujan. Atau bagi yang memiliki mobil, lebih memilih menggunakan mobil agar tidak terguyur hujan.
Contoh lain, aku mengambilnya dari buku itu (filosofi teras). Ketika kita ingin melakukan sebuah perjalanan jauh, dengan menggunakan kendaraan pribadi. Kemudian kita mengantisipasi ban bocor, setidaknya kita sudah mengecek kesiapan ban serep dan perangkat-perangkat pendukung, seperti kunci ban, alat dongkrak dan lain sebagainya.
Contoh terakhir, aku mengambilnya dari buku itu juga. Seorang pria jomblo bersiap-siap untuk mengungkapkan perasaannya kepada seorang wanita. Bayangkan jika pria ini melakukan Premeditatio Malorum. Pertama, dia menyadari bahwa tanggapan wanita tersebut sepenuhnya di luar kendali dia.
Kemudian, dia mempertimbangkan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi dan hampir tidak memiliki solusi. Apakah wanita itu akan menolak sepenuhnya (menolak mentah-mentah)? Dari peristiwa itu, pria tersebut dapat memikirkan apakah penolakan dari sang wanita benar-benar merupakan bencana mutlak, ataukah hanya pandangan berlebihan terhadap kejadian itu.
Jika dia mempertimbangkan secara rasional, penolakan dari wanita yang dia sukai sebenarnya tidak harus menganggapnya sebagai akhir dari dunia dan segala isinya. Kedua, pria tersebut dapat melihat penolakan sebagai kejelasan (lebih baik daripada digantung), sehingga dia dapat dengan bebas untuk membuka hati kepada wanita lain.
Jika kita mengangan-angan, premeditatio malorum selaras dengan pepatah Indonesia yang sering kita dengar “Sedia Payung Sebelum Hujan”. Dari dulu nenek moyang kita mengajarkan agar selalu mengantisipasi atau mempersiapkan terlebih dahulu sebelum suatu hal terjadi.
Jangan-jangan nenek moyang kita terinspirasi dari ajaran filsuf stoa ini? atau filsuf stoa ini yang belajar dari nenek moyang kita? Untuk lebih jelasnya siapa yang lebih dulu memiliki ajaran ini, silahkan telusuri sejarah keduanya. Biar kalian tidak merasa aku gantung, seperti tak memberikan jawaban pasti, saat kau ungkapkan rasa cintamu padaku, cuaks. []