Mubadalah.id – Baru saat sini saya sadar bahwa ada Mufassir Al-Qur’an yang getol dengan inklusifitas dan kesetaraan terhadap penyandang disabilitas.
Hingga saat ini pendapat mufassir al-Qur’an kerap menjadi referensi dalam kajian multidisipliner ilmu yang cukup otoritatif. Salah satu hal yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana mufassir al-Qur’an, sebagai ahli tafsir yang memahami teks suci Islam, memberikan perhatian terhadap aksesibilitas dan inklusifitas dalam pemahaman al-Qur’an bagi difabel.
Meskipun hanya sekedar narasi, akan tetapi pemikiran inklusif mereka dalam menegakkan diksi kesetaraan hak difabel dalam al-Qur’an agaknya cukup progressif. Karena hingga saat ini pemahaman terhadap ayat-ayat penyandang disabilitas dipahami secara usang. Artinya, belum ada penjelasan tersendiri bagaimana narasi kesetaraan hak difabel harus kita prioritaskan.
Secara umum, para mufassirr sepakat bahwa surat ‘Abasa sebagai episentrum landasan utama dalam menjelaskan penyandang disabilitas. Yang biasa kita kenal dengan kisah Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Singkatnya kisah tersebut mencerminkan eksklusifitas perhatian nabi Muhammad terhadap difabel. Atau dapat kita katakan peristiwa tersebut terjadi dalam ruang-ruang kecil yang di dalamnya terdapat hanya beberapa orang
Bagaimana dengan hari ini? Perlu kita sadari bertambahnya angka penyandang disabilitas menyadarkan non-difabel agar memiliki dan menumbuhkan ekosistem yang berasas inklusif dan setara. Maka sudah selayaknya kita memahami teks suci tidak hanya secara leterlek dan asumsi saja, tetapi juga bertindak nyata.
Apa Itu Tafsir Inklusif ?
Dalam hal ini, ssaya akan menggambarkan terkait tafsir inklusif. Tafsir Inklusif dapat kita artikan dengan metode penafsiran yang menghasilkan produk penafsiran yang terbuka terhadap segala persolan dinamika sosial. Salah satu tujuannya yaitu menumbuhkan dan memberikan respon atas kebutuhan masyarakat terhadap pelbagai penyelesaian konflik kehidupan sosial yang memiliki nilai-nilai fleksibilitas dalam melihat persoalan.
Dalam konteks difabel, penafsiran Al-Qur’an dilakukan sebagai upaya untuk menafsirkan Al-Qur’an dengan cara memperhatikan kebutuhan dan kondisi penyandang disabilitas.
Ini tidak hanya terbatas pada pemberian pemahaman teks secara fisik (misalnya, lewat media braille bagi tunanetra atau tanda bahasa isyarat untuk tunarungu), tetapi juga melibatkan pengertian tentang bagaimana nilai-nilai dalam Al-Qur’an dapat diterjemahkan untuk mendukung penyandang disabilitas dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Mufassir membangun narasi inklusifitas bagi difabel bermula dengan mengaitkan problematika realitas dan kebutuhan sosial. Yang berlandaskan dan mensadur dari hukum Islam, syariat, Fiqih, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, tentunya Mufassir memperhatikan kemaslahatan sosial secara utuh.
Kemudian tidak dapat kita lupakan, kesalingan, kesetaraan, dan kemaslahatan sosial semestinya dapat kita capai dengan metode tafsir ini. Akan tetapi, apabila kita kolaborasikan dengan metode dan pendekatan yang lebih modern agaknya lebih komprehensif. Sebut saja yang ada saat ini metode dan pendekatan mubadalah serta KUPI.
Wahbah Zuhaili Mufassir Yang Inklusif
Bagi pemerhati tafsir Al-Qur’an tentu sudah tidak asing lagi dengan nama Wahbah Zuhaili. Yapss, betul. Wahbah Zuhaili adalah Mufassir Al-Quran dan ulama kontemporer abad ke 20. Karyanya yang cukup monumental adalah Fiqih islam wa adillatuhu dan Tafsir Al-Munir.
Untuk menunjukkan aspek inklusifitasnya, saya mengambil contoh ketika ia menafsirkan surat ‘Abasa. Sebelum menafsirkan surat tersebut, tema yang dicanangkan yaitu “Kesetaraan Dalam Perspektif Islam”. Kemudian dengan sistematis ia menafsirkannya dengan memaparkan aspek Imam Qiraah, Balaghah, I’rab, Mufradat lughawiyah, Asbabun Nuzul dan menafsirkannya.
“Dia (Muhammad) berwajah masam dan berpaling, karena seorang buta telah datang kepadanya (Abdullah bin Ummi Maktum).” (Abasa:1-2).
Nabi saw. bermuka masam dan memalingkan wajah beliau, ketika datang seorang buta dan memotong ucapannya. Orang itu adalah Abdullah bin Ummi Maktum. Rasulullah tidak suka ucapannya dipotong oleh Ibnu Ummi Maktum. Beliau pun berpaling. Oleh karena itu,turunlah ayat tersebut. Ibnu Ummi Maktum dimaafkan karena ia tidak tahu dengan kesibukan Rasulullah.
“Dan tahukah engkau (Muhammad) barangkali dia ingin menyucikan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan peng ajaran, yang memberi manfaat kepadanya” (Abasa:3-4).
Engkau tidak tahu, hai Muhammad, bisa jadi orang buta itu ingin membersihkan diri dari dosa dengan amal saleh yang ia pelajari darimu. Atau dia mengambil pelajaran sehingga dia mendapatkan manfaat dari apa yang ia pelajari darimu.
Dalam konteks ini, terdapat isyarat bahwa selain Ibnu Ummi Maktum, tidak ada yang perlu Nabi perhatikan dan Nabi harapkan petunjuk untuk orang-orang musyrik. Hal ini menunjukkan pemuliaan Allah terhadap Abdullah Ibnu Ummi Maktum.
Akhlak Nabi
Perlakuan Nabi ini meninggalkan kehati-hatian dan sesuatu yang lebih utama. Hal itu bukan dosa sama sekali dan tidak bertentangan dengan dasar kemaksuman para nabi. Sebab hal ini lahir dari perasaan alami seorang manusia, seperti ridha, marah, tertawa menangis dan hal lain yang tidak termasuk taklif dalam Islam.
Dari hal ini Wahbah Zuhaili mengatakan dengan hadirnya teguran Allah kepada Nabi Muhammad, Allah memerintahkan rasul-Nya untuk tidak mengkhususkan peringatan kepada seseorang, tetapi harus menyamakan perlakuan kepada orang mulia dan orang lemah, orang kaya dan miskin, pemimpin dan budak laki-laki dan perempuan, kecil dan besar, penyandang disabilitas. Allah yang akan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan
yang lurus.
Kemudian Wahbah Zuhaili menegaskan Ayat ini adalah bukti yang jelas tentang wajibnya persamaan dalam Islam dalam hal peringatan dan penyampaian dakwah tanpa membedakan antara yang miskin dan kaya. Ayat ini juga celaan dari Allah kepada Nabi-Nya ketika berpaling dari ‘Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Hal tersebut bertujuan supaya hati orang-orang fakir tidak terluka dan agar Nabi mengetahui bahwa orang fakir beriman lebih baik dari orang kaya.
Dalam kitab Al-Islam wa Al-‘Iaqah Wahbah Zuhaili memaparkan hak dan kewajiban non-difabel serta penyandang disabilitas.
Pertama, Kewajiban masyarakat terhadap penyandang disabilitas. Kedua, Hak-hak disabilitas. Yaitu Hak mendapatkan kesetaraan dengan yang lain, saling menghormati dan menghargai penyandang disabilitas, hak mendapatkan pengobatan dan pembiayaan dan Harus ada undang-undang khusus terkait hak disabilitas
Ketiga, Kewajiban dan Akhlak sebagai penyandang disabilitas. 1). Bersyukur kepada Allah atas nikmat yang Allah berikan dan bersabar dengan kondisi disabilitas. 2). Mampu bersosial dengan keadaan disabilitasnya. 3). Menunjukkan kekuatan diri untuk bertahan dan menerima takdir Allah serta bisa menjaga diri. []