Mubadalah.id – Dalam dua kesempatan acara peringatan Isra’ Mi’raj tahun ini, bertepatan dengan peringatan satu Abad NU. Yakni di Sokaraja Purwokerto yang diadakan oleh Fatayat NU Sokaraja pada 19 Februari 2023, dan di Masjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia pada 26 Februari 2023. Saya menyampaikan spirit Isra’ Mi’raj dalam melintas jagat membangun peradaban.
Dengan ilustrasi yang saya sesuaikan dengan jamaahnya, yakni perempuan dan ibu muda di Sokaraja, dan mahasiswa putra putri di UII, inilah spirit Isra’ Mi’raj dalam melintas jagat dan membangun peradaban dalam refleksi saya :
Isra’ Mi’raj itu perjalanan antar ruang yang melipat waktu, melintasi jagat untuk membangun peradaban. Jika kini NU berkomitmen untuk merawat jagat karena bumi memang sudah rapuh dan mengalami krisis ekologi yang parah, sehingga harus ada usaha keras dan maksimal dari semua penghuninya untuk merawat jagat. Maka dulu Isra’ Mi’raj mengajarkan penduduk bumi untuk berwawasan lintas benua, lintas waktu, bahkan lintas dunia.
Perjalanan mu’jizat Isra’ Mi’raj mengandung spirit membangun peradaban. Dengan menerapkan spirit ini insya Allah dunia akan damai, maju, lestari. Peradaban yang bagaimanakah?
Pertama, peradaban yang menempatkan perempuan sebagai manusia seutuhnya dan subyek kehidupan sepenuhnya.
Perempuan tidak hanya kita pandang sebagai makhluk fisik biologis seksual, melainkan juga makhluk intelektual, spiritual, dan sosial sebagaimana laki-laki. Perempuan menjadi subyek primer kehidupan sebagai Khalifah Allah di muka bumi bersama laki-laki. Bukan subyek sekunder, apalagi menjadi obyek.
Apa kaitan peradaban ini dengan Isra’ Mi’raj? Kaitannya jelas. Isra’ Mi’raj terjadi saat Nabi sangat bersedih karena kehilangan perempuan luar biasa yang mendukungnya dari dalam. Yakni Siti Khadijah Ra. Kesedihan makin mendalam karena orang yang menjadi benteng pelindungnya dari serangan luar juga meninggal. Yakni sang paman Abu Thalib.
Di tahun kesedihan itulah (Amul Khuzni, 10 kenabian) Isra’ Mi’raj terjadi. Dengan perjalanan itu Allah menunjukkan tanda-tanda kekuasaanNya, seolah berkata, “jangan berlarut sedih dan kecil hati. Ada Aku yang Mahabesar.” Perjalanan Isra’ Mi’raj mengkonfirmasi arti penting perempuan dalam peradaban Islam.
Oleh karena itu jika ingin membangun peradaban, jangan pernah lupakan, pinggirkan apalagi tinggalkan perempuan. Nabi Muhammad Saw. sendiri dengan tulus dan lugas selalu menyebut peran dan arti penting Khadijah: orang yang pertama kali beriman saat yang lain ragu, orang yang mengorbankan hartanya setiap saat. Terutama saat 4 tahun kaum muslimin minoritas Mekkah diboikot ekonomi dan sosial oleh kuffar Mekkah, dan orang yang dari rahimnya Allah berikan Nabi keturunan, sedangkan dari istri yang lain tidak.
Maka, umat Islam hari jika ingin membangun peradaban, laki-laki dan perempuan harus bersama saling tolong menolong dalam amar ma’ruf, nahi munkar, mendirikan salat (ibadah ritual ketuhanan), menunaikan zakat (ibadah sosial kemanusiaan), taat kepada Allah dan RasulNya. Ketika laki-laki dan perempuan berkolaborasi membangun peradaban dengan tolong menobolong melakukan hal tersebut, Rahmat Allah akan datang. (QS at Taubah 71).
Kedua, peradaban yang memberi tempat luas dan menantang manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
Semua tahu, bahwa Isra’ Mi’raj terjadi dengan kendaraan yang bernama Buraq. Moda transportasi visioner yang belum terpikir oleh nalar penduduk Mekkah, dan bahkan semua manusia saat itu. Perjalanan Makkah- Masjidil Aqsha sejauh 1500 km-an dalam nalar umum saat itu ditempuh dalam waktu 40 hari perjalanan unta.
Lha, ini semalam bisa bolak balik Mekkah-Palestina-Mekkah. Mustahil! Kata nalar yang menghukumi sesuatu berdasarkan kemampuan otaknya yang terbatas. Padahal nalar rasional bisa menjangkau, bahwa modal transportasi yang canggih mampu memperjalankan makhluk berkali lipat lebih cepat. Semut yang merambat Jakarta-Surabaya entah butuh waktu berapa tahun untuk sampai. Tapi dengan naik pesawat, dua jam sudah bisa pulang pergi. Apanya yang mustahil?
Isra’ Mi’raj menantang manusia untuk berpikir, melakukan riset, penemuan dan inovasi untuk kemajuan IPTEK yang berpangkal dari Allah dan bermuara kepada Allah. Surah Ar Rahman ayat 33 telah dengan jelas mengisyaratkan hal tersebut.
Ketiga, peradaban yang menghargai sejarah agama, sejarah kemanusiaan, serta kesatuan dan persatuan agama-agama dan umat manusia
Isra’ Mi’raj menghubungkan agama-agama samawi, agama hanif yang nasabnya bertemu di Nabi Ibrahim. Sebelum Nabi Muhammad, tradisi kenabian berpusat di Bani Israil (anak cucu Nabi Ya’kub). Tidak terpikir oleh Bani Israil akan ada Nabi dari kalangan Arab, meskipun Nabi Muhammad Saw. juga keturunan Nabi Ibrahim.
Perjalanan ke Masjidil Aqsha, tempat suci pusat agama para Nabi Bani Israil dari Masjidil Haram adalah perjalanan yang menyambungkan silsilah kenabian, kesatuan ajaran (tauhid), sekaligus satunya kemanusiaan. Nabi Muhammad Saw. bertemu dengan arwah Nabi-nabi Bani Israil dalam damai dan bersahabat. Itu adalah tonggak peradaban yang dibangun di atas kesatuan agama dan kemanusiaan yang sangat penting.
Dari Isra’ umat Muhammad patut belajar bahwa ikhtiar untuk mempertemukan titik-titik kesamaan keyakinan akan Allah dan tauhid, kebersambungan sejarah, dan kesatuan kemanusiaan adalah modal penting membangun peradaban. Dialog dan silaturrahim antara umat, antar agama, antar ras, antar bangsa adalah cara penting membangun peradaban.
Keempat, peradaban yang mengedepankan persaudaraan antar manusia, persaudaraan antar generasi
Dalam peristiwa itu, ada penghormatan kepada senior dan penerimaan kepada yunior dengan tulus. Bahkan yang senior memberikan saran demi kebaikan yuniornya. Perjalanan Mi’raj Nabi dari langit pertama hingga ke langit ketujuh menunjukkan itu semua.
Di setiap langit, Nabi Muhammad Saw mengucapkan salam kepada para Nabi. Para Nabi menjawab salam sambil menyambut hangat Nabi Muhammad Saw. Nabi Adam As di langit ke-1 menyambutnya dengan ucapan Marhaban bil Ibni as Shalih wan Nabiyy as-Shalih (selamat datang anak saleh dan Nabi yang saleh).
Selanjutnya, Nabi Yahya dan Isa di langit ke-2, Nabi Yusuf di langit ke-3, Nabi Idris di langit ke-4, Nabi Harun di langit ke-5, Nabi Musa di langit ke-6, dan Nabi Ibrahim -alaihimussalam- di langit ke-7, menyambut Nabi Muhammad Saw. dengan kalimat hangat bersahabat “marhaban bil akhir as Shalih wan Nabiy as Shalih” (selamat datang saudara yang saleh dan Nabi yang saleh).
Semua sambutan itu menyatakan persaudaraan dan pengakuan kesalehan dan kenabian Muhammad Saw. dari para Nabi tersadulu. Nabi Musa as sebagai senior bahkan memberikan perhatian yang besar kepada Nabi Muhammad agar meminta diskon kepada Allah, dari salat 50 waktu menjadi hanya 5 waktu, karena sayang dan peduli kepada umat Nabi yuniornya.
Mi’raj telah mengajarkan bahwa persaudaraan, saling menebar salam, menghadirkan perdamaian, dan ucapan-ucapan yang mengakui kebaikan adalah modal penting membangun peradaban.
Kelima, peradaban yg menekankan pentingnya penghambaan hanya kepada Allah, ketaatan kepada perintahNya, dan pengasahan spiritualitas manusia hingga ke titik tertinggi
Mi’raj adalah simbol bahwa titik tertinggi eksistensi manusia terletak pada ketinggian spiritualitasnya, karena manusia selain makhluk fisik (dan psikis), intelektual, juga makhluk spiritual. Dengan Mi’raj Nabi bertemu Allah. Dengan Mi’raj Nabi mendapat titah langsung dariNya berupa salat 5 waktu yang membantu manusia menjadi makhluk spiritual, baik dalam hubungannya dengan Allah (vertikal) maupun sesama manusia (horizontal).
Secara vertikal salat merupakan wujud keikhlasan penghambaan manusia kepadaNya, sarana mengingatNya, media untuk meminta pertolonganNya, dan sekaligus menjadi cara spiritual agar setiap hamba bisa mi’raj (naik derajat menjadi makhluk spiritual yang “bertemu” dengan Yang Maha spiritual). Secara horizontal salat merupakan benteng yang mencegah perbuatan keji dan munkar. Semua itu hanya bisa dilakukan oleh manusia yang memiliki spiritualitas.
Isra’ Mi’raj dan salat mengajarkan bahwa manusia hidup itu melakukan perjalanan dan relasi horizontal, fisikal, sekaligus vertikal, dan spiritual. Pasca Isra’ Mi’raj Nabi membangun peradaban berbasis salat. Dengan salat umat ia ajak bertemu dengan Allah, bersyukur, mengingat, menghamba. Dengan salat umat diajak ngumpul berjamaah di masjid, yang dengan masjid itu banyak hal dilakukan untuk membangun peradaban.
Salat menyatukan dan mengonsolidasikan umat sekaligus menghubungkannya dengan Allah. Ini adalah cara yang sangat penting dan luar biasa dalam membangun peradaban. Peradaban yang menjadikan Allah (melalui aktualisasi spiritualitas manusia) sebagai titik mula, dan titik akhir, rujukan hubungan horizontal dan vertikal.
Inilah peradaban yang membedakan Islam dengan peradaban atau isme-isme lain yang tidak menjadikan spiritualitas sebagai bagian penting. Pastinya beda, peradaban yang kita bangun di atas spiritualitas dan nilai-nilai yang abadi, samawi, keseimbangan duniawi ukhrawi dan adiluhung, dengan peradaban yang hanya berorientasi pada fisik, material dan duniawi.
Inilah renungan membangun peradaban dengan mengambil pelajaran dari Isra’ Mi’raj yang terjadi di bulan Rajab. Di mana ini adalah bulan yang sama dengan bulan lahir NU, versi saya. Semoga bermanfaat. Bagaimana versi Anda? []