Maka, rumusan “istri ideal” itu pun pada praktiknya menjadi tidak ideal karena cita keluarga “sakinah, mawaddah wa rahmah” yang di dalamnya semua pihak merasa terlindungi.
Mubadalah.id – Sering kita menemukan rumusan suatu yang di buat secara subyektif, tanpa melibatkan “pasangan” yang semestinya di dengar pendapatnya. Ambil contoh, rumusan “orang tua idaman” atau “guru idaman” yang dibuat tanpa melibatkan pandangan anak atau murid.
Akibatnya, rumusan itu manjadi sepihak dan tidak akomodatif bagi ana dan murid. Disharmoni hubungan pun terjadi.
Begitulah, rumusan sebuah relasi yang tidak partisipatoris akan berujung pada “keharmonisan semu” yang berpotensi menyimpan api dalam sekam. Itu pula terjadi dalam rumusan “ istri ideal” atau “suami idaman” yang ia buat tanpa melibatkan istri.
Istri Ideal yang Tidak Ideal
Mungkin anda pernah membaca buku atau tulisan yang mendeskripsikan tentang istri ideal yang rumusanya demikian menyudutkan istri? Sebagai misal, rincian tentang batas ketaatan istri kepada suami.
Disebutkan bahwa istri yang ideal adalah yang selalu taat pada suami meskipun suaminya zalim. Termasuk selalu siap melayani suami berhubungan seks kapan pun, di mana pun, dan dalam kondisi apa pun.
Lalu, ia harus diam tak menyahut meski suami menghina dan menyumpah serapahinya. Bahkan tidak berhubungan dengan family dan sahabatnya yang tidak suami sukai, dan sebagainya.
Rumusan ini, ironisnya, sebagai penjabaran surat an-Nisa ayat 34 yang artinya “…dan istri salehah adalah mereka taat (kepada Allah dan suami).”
Idealkah rumusan ini? Tentu saja tidak! Sebab pemahaman di atas pemahaman yang “suami sentries”, tidak memahami makna dan konteks ayat, menafikan ayat dan hadis yang lain serta mengabaikan prinsip ma’ruf dan kemaslahatan bersama.
Sang perumus entah sengaja atau tidak telah menafikan ayat yang memerintahkan setiap suami untuk memperlakukan istrinya dengan cara yang patut (QS an-Nisa ayat 19). Dan hadis yang menyatakan bahwa orang mukmin terbaik adalah mereka yang terbaik bagi istrinya (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Sang perumus juga tidak memikirkan bahwa dampak dari rumusannya adalah penderitaan istri yang dengan sendirinya mengakibatkan sulit tercapainya tujuan perkawinan itu sendiri. Bagaimana mungkin sebuah keluarga bisa kita katakan ideal jika di dalamnya ada pihak yang menderita?
Maka, rumusan “ideal” itu pun pada praktiknya menjadi tidak ideal karena cita keluarga “sakinah, mawaddah wa rahmah” yang di dalamnya semua pihak merasa terlindungi dan terayomi, damai, penuh cinta, dan kasih sayang dalam sebuah hubungan yang harmonis lahir dan batin tidak tercapai. []