• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Istri Pemberi Nafkah

Teks ini juga menggunakan kata nafkah dari istri ke suami. Sehingga kita bisa mengasumsikan bahwa istri juga bisa memberi nafkah kepada suami.

Redaksi Redaksi
21/08/2024
in Keluarga
0
Nafkah istri

Nafkah istri

319
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pembahasan mengenai istri pemberi nafkah dalam fiqh merupakan salah satu topik pembahasan yang sangat kompleks. Banyak pandangan yang memungkinkan melahirkan terobosan-terobosan progresif terkait sharing properti dalam keluarga.

Sebelum mendiskusikan kompleksitas ini, perlu merujuk terlebih dahulu pada berbagai teks sejarah yang menyatakan bahwa perempuan pada masa Nabi Saw juga ada yang bekerja, menghasilkan uang, dan menggunakannya untuk menfakahi keluarga, suami dan anak-anak.

Salah satu teks yang dimaksud adalah yang tercatat dalam Tabaqat Ibn Sa’d, bahwa Ritah bint Abdullah pernah mendatangi Rasulullah Saw dan bertanya: “Wahai Rasul, saya perempuan pekerja, dan saya jual hasil pekerjaan saya”. Kemudian ia bertanya mengenai nafkah yang ia berikan kepada suaminya dan anak-anak mereka. Nabi Saw menjawab: “Kamu memperoleh imbalan dari apa yang kamu nafkahkan itu”.

Perempuan Bekerja

Teks ini berbicara mengenai perempuan yang bekerja, menghasilkan uang, dan membelanjakannya untuk menafkahi keluarganya; suami dan anak-anak. Teks ini juga menggunakan kata nafkah dari istri ke suami. Sehingga kita bisa mengasumsikan bahwa istri juga bisa memberi nafkah kepada suami.

Tetapi kebanyakan pembahasan fiqh menafsirkan teks seperti di atas sebagai zakat/sedekah dari istri yang kaya ke suami yang miskin. Fiqh tidak menempatkannya pada konteks nafkah sebagaimana suami kepada istri.

Baca Juga:

Fiqh Al Usrah: Menemukan Sepotong Puzzle yang Hilang dalam Kajian Fiqh Kontemporer

Aurat Menurut Pandangan Ahli Fiqh

Makna Hijab Menurut Pandangan Ahli Fiqh

Urgensi Fikih Haji Perempuan dalam Pandangan Nyai Badriyah Fayumi

Karena itu tidak akan ditemui pembahasan fiqh mengenai nafkah istri kepada suami atau keluarga. Memang, kata nafkah dalam al-Qur’an dan Hadits, bisa diartikan berbagai hal, memberi, membelanjakan, sedekah, zakat, dan nafkah untuk kebutuhan keluarga. Tetapi asumsi fiqh yang menempatkan suatu kata nafaqah dalam suatu teks untuk persoalan zakat, dan kata nafkah yang lain sebagai nafkah keluarga.

Karena teks tersebut berbicara soal keluarga, mungkin lebih tepat ditafsirkan sebagai nafkah dari istri untuk keluarga. Dengan demikian, nafkah sesungguhnya tidak menjadi monopoli laki-laki atau suami.

Jika kita merujuk pada kasus kehidupan Rasulullah Saw bersama Khadijah, dimana semua kebutuhan keluarga justru dicukupi oleh sang istri. Maka kita seharusnya merumuskan ulang tentang monopoli laki-laki dalam hal kewajiban nafkah.

Rasulullah Saw tidak tercatat, dalam hadits maupun sejarah, bekerja atau memiliki pekerjaan tertentu untuk kebutuhan keluarga setelah menikah dengan Khadijah. Besar kemungkinan, kebutuhan keluarga Rasulullah Saw dipenuhi dari harta kekayaan Khadijah, sang istri yang saudagar sukses.

Apalagi di usia ketika awal-awal turun wahyu, di mana Rasulullah Saw hampir menghabiskan banyak waktunya untuk bersemedi di gua hira, kemudian untuk berdakwah dan pendidikan, yang semuanya saat itu bersifat sosial non-ekonomis, atau tidak sebagai mata pencaharian sebagaimana sekarang.

Nafkah Istri

Nafkah istri untuk keluarga tidak bisa kita anggap zakat, karena asas zakat berbeda dengan asas nafkah. Zakat misalnya hanya untuk orang miskin, tidak boleh ia berikan kepada anggota keluarga dekat. Dan kadarnya juga terbatas tergantung pada jumlah harta yang ia miliki. Misalnya kadar zakat uang hanya 2,5 % yang wajib ia keluarkan dari pendapatan harta seseorang pertahun.

Jadi, kalau pendapatan istri satu tahun 100 juta, maka zakatnya hanya 2,5 juta saja untuk suami dan anak-anak selama satu tahun. Zakat juga tidak berdasarkan pada berapa jumlah penerima dan berapa kebutuhan mereka.

Jadi, berapapun jumlah anak dalam suatu keluarga, kewajiban istri hanya 2,5 juta pada kasus kepemilikan 100 juta. Berbeda dengan kewajiban nafkah yang asasnya adalah kebutuhan penerima; baik pangan, sandang, dan papan. Sekalipun tentu saja tetap merujuk pada asas kemampuan yang memberi.

Bayangkan, 97,5 juta untuk istri selama setahun, sementara 2,5 juta untuk suami dan anak-anak jika ada selama setahun. Jadi, pemberian istri pada kasus hadits di atas lebih tepat sebagai nafkah, bukan zakat, karena bisa kita pastikan ia memberi untuk menutupi kebutuhan suami dan anak-anak bukan untuk memenuhi kewajiban zakat.

Nafkah adalah pola distribusi kekayaan pada skala yang lebih kecil, yaitu keluarga, di samping pola lain seperti mahar, waris, hibah, dan hadiah. Nafkah keluarga juga asasnya secara umum adalah kebutuhan. Asas kebutuhan artinya, anggota keluarga yang kaya harus memberi nafkah pada anggota keluarga yang miskin dan membutuhkan. []

Tags: fiqhnafkahpandangan
Redaksi

Redaksi

Terkait Posts

Marital Rape

Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

2 Juli 2025
Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Peran Ibu

Peran Ibu dalam Kehidupan: Menilik Psikologi Sastra Di Balik Kontroversi Penyair Abu Nuwas

1 Juli 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Konten Kesedihan

    Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketika Istilah Marital Rape Masih Dianggap Tabu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Perceraian Begitu Mudah untuk Suami?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim
  • Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama
  • Kisah Jun-hee dalam Serial Squid Game dan Realitas Perempuan dalam Relasi yang Tidak Setara
  • Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID