Mubadalah.id – Dari manakah lahirnya istilah perempuan selalu diidentikkan dengan pekerjaan domestik, bahkan ada yang mengatakan bahwa perempuan hanya memiliki tiga wilayah peran yaitu dapur, sumur dan kasur artinya bahwa kewajiban istri adalah mengerjakan urusan rumah tangga, mengurus suami dan anak. Dalam tulisan sebelumnya, “Istri tidak Masak untuk Suami Apakah Layak Dipoligami” saya mengulas tentang perspektif gender dalam melihat ketidakadilan relasi laki-laki dan perempuan.
Hal ini menjadi pertanyaan yang sedikit mengelitik karena dalam wacana-wacana fikh klasik, justru suami lah (laki-laki) yang memiliki kewajiban melakukan urusan domestik. Laki-laki di samping menafkahi keluarga, dia pun berkewajiban mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Menurut Madzhab Hanafi: “Seandainya suami pulang membawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, namun istrinya enggan memasak atau mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk pulang membawa makanan yang siap santap.
Menurut Madzhab Maliki: wajib atas suami melayani istrinya walau istrinya mempunyai kemampuan berkhidmat. Bila suaminya tidak pandai memberikan pelayanan, maka wajib baginya untuk menyediakan pembantu untuk istrinya”.
Madzhab Syafi’i: “Tidak wajib bagi istri membuat roti, memasak, mencuci, dan bentuk khidmat lainnya untuk suaminya. Karena yang ditetapkan dalam pernikahan adalah memberikan pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan yang lainnya tidak termasuk kewajiban”.
Madzhab Hanbali: “Seorang istri tidak diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan makanan, membuat roti, memasak dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah, menimba air sumur. Karena akadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Sedangkan pelayanan dalam bentuk lain tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen tanamannya”.
Gambaran ideal perempuan muslim menurut al-Qur’an dan Hadits Nabi adalah :
1) Berpolitik : dalam Surat An Naml dikisahkan tentang kesuksesan Ratu Balqis penguasa Negeri Saba sebagai Ratu yang sangat bijaksana, cerdas, memiliki kewibawaan yang tinggi, melakukan segala keputusan berdasarkan musyawarah.
Selanjutnya kisah Siti Aisyah yang diminta memediasi pembunuhan Khalifah Ustman. Siti Aisyah atas desakan para sahabat diminta memimpin untuk berdialog dengan Ali bin Abi Thalib agar menuntaskan kasus pembunuhan Ustman bin ‘Affan. Lalu terjadi kesalahpahaman atas kedatangan Siti Asiyah ini, akan tetapi setelah dijelaskan oleh Siti Aisyah, maka Ali bin Abi Thalib memahaminya.
Tetapi kemudian muncul fitnah di kedua belah pasukan yang ditimbulkan pihak ketiga, sehingga perang tidak terhindarkan. Sekalipun kisah ini menimbulkan perdebatan akan tetapi permintaan para sahabat yang laki-laki kepada Siti Aisyah untuk memimpin dialog dengan Ali bin Abi Thalib, hal ini membuktikan para sahabat mengakui kepemimpinan perempuan.
Rubayyi’ binti Mu’awwidz bersama sahabat perempuan lainnya, turut berperang bersama Nabi, memberi minum, melayani kebutuhan pasukan, membawa pulang yang terluka dan terbunuh. Ummu Sulaim membawa belati ketika perang Hunain. Ummu “Ammarah (Nusaibah bint Ka’ab) : turun ke medan perang dan menjadi perisai Nabi dalam perang Uhud, menerima belasan serangan pedang di tubuhnya sehingga diberi gelar Ummu al Asyaf : perempuan penuh luka pedang.
2) Bekerja : Seperti perempuan Madyan pada kisah Nabi Musa dalam al-Qur’an diceritakan sebagai perempuan yang bekerja dengan menggembala ternak, dalam hadits Nabi dikisahkan Rithah istri Ibnu Mas’ud juga bekerja untuk menghidupi keluarganya.
3) Kritis : dalam sebuah Hadits Nabi dikisahkan protes sahabat perempuan yang akan dinikahkan paksa dan Nabi mengabulkan keberatan perempuan tersebut untuk menikah dengan laki-laki pilihannya.
4) Berpendidikan: dalam Hadits Nabi dikisahkan Rasul memberikan waktu khusus mengajar kepada sahabat perempuan yang merupakan hasil protes para sahabat perempuan.
Jika dilihat dari gambaran ideal perempuan dalam budaya patriarkhi dan dihubungkan dengan banyaknya peristiwa poligami yang dilakukan oleh suami, selalu yang sering disalahkan adalah perempuan. Alasan-alasan istri tidak memberikan pelayanan yang baik (tidak memasak, tidak melayani makan, tidak memuaskan dalam pelayanan seksual), sering keluar rumah (sekalipun bekerja) dan lain-lain.
Hal ini tentu bermula dari cara pandang yang salah terhadap perempuan. Perempuan adalah manusia yang memiliki derajat yang sama dengan laki-laki. Dalam rumah tangga seyogyanya ada kesalingan, baik dalam mengurus rumah tangga di rumah atau membangun ekonomi keluarga dengan bekerja di ranah publik.
Dalam kisah nyata yang diceritakan “layangan putus” pasangan suami istri dalam kisah ini memiliki anak empat, satu anak masih dalam kandungan. Sang istri mengurus empat orang anak plus sedang hamil, jika pandangan bahwa urusan rumah tangga hanya dapat dilakukan istri maka hal ini merupakan pandangan yang salah kaprah.
Istri akan menanggung beban kerja yang sangat berlebih di mana akibatnya tidak dapat memenuhi gambaran sebagai perempuan ideal dalam budaya patriarkhi dengan tidak dapat melayani suami baik memasak, mengambilkan makan atau melayani kebutuhan seksual. Sehingga akhirnya dengan mudah dijadikan alasan dan distigmakan sebagai layak dipoligami.
Sejatinya dalam rumah tangga harus ada kesalingan, “Hunna libaasun lakum wa antum libaasun lahunna”, istrimu adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi istrimu. Tegas sekali al-Qur’an menyatakan prinsip kesalingan dalam rumah tangga ini. Rasulullah pun mengerjakan pekerjaan rumah tangga bersama dengan istrinya. Rujukan-rujukan kerumahtanggaan dalam al-Qur’an dan Hadits Nabi menunjukkan adanya prinsip kesalingan dalam rumah tangga.
Memerlukan waktu dan juga usaha untuk terwujudnya kesetaraan, dan keadilan gender dalam rumah tangga. Perlu usaha memberikan pemahaman terkait gambaran ideal perempuan muslim dan cara pandang laki-laki terhadap perempuan, bahwa perempuan bukan hanya makhluk rumahan, perempuan bukan hanya makhluk seksual.
Tetapi perempuan sama dengan laki-laki merupakan makhluk intelektual, makhluk spiritual yang dapat bersama dengan laki-laki membangun rumah tangga, memberikan kontribusi kemaslahatan untuk keluarga, masyarakat, agama dan negara. Laki-laki dan perempuan harus memiliki prinsip kesalingan dalam rumah tangga, suami dan istri bersama-sama mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena pekerjaan rumah tangga bukan hanya pekerjaan istri sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Rumah tangga adalah tanggung jawab bersama antara laki-laki dan perempuan, maka dalam pengelolaannya dilakukan secara bersama-sama. Wallahu a’lam bis shawab. []