Mubadalah.id – Kehidupan rumah tangga yang Islam inginkan adalah rumah tangga yang tentram, sejahtera dan kuat; spiritual, ekonomi dan mental. Termasuk menentukan bagaimana kehidupan rumah tangga ke depan, dan istri tinggal di mana setelah menikah.
Berangkat dari keluarga yang demikian itu, akan terbentuk bangsa yang kuat pula, atau dalam bahasa Alquran “negeri indah permai yang senantiasa diliputi ampunan dari Tuhan.” Masyarakatnya tentram dari kekhawatiran-kekhawatiran, kelaparan dan kemiskinan. Sebagaimana kaum Saba’ yang Alquran ceritakan dalam surat Saba’ ayat 15. Baldatun thayyibah wa rabbun ghafūr.
Namun menyatukan dua karakter manusia tidaklah mudah. Apalagi pernikahan bukan sekedar menyatukan dua manusia tapi dua keluarga, beda kepala beda isi, apalagi beda budaya, bahasa, dan ras. Keliru memahami intonasi saja bisa runyam menimbulkan ketidaknyamanan.
Kita perlu manejemen dan kemauan dari setiap pihak untuk saling memahami dalam mencapai tujuan pernikahan; mewujudkan perlindungan, melangsungkan keturunan dan mewujudkan rasa tenang (sakinah), dengan cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah).
Masalah domisili istri tinggal di mana setelah menikah misalnya, seringkali menjadi problem pasangan suami istri (pasutri), baik sebelum pernikahan atau setelah menikah. Sebagian orang tua ingin anaknya tetap tinggal bersama mereka, dengan berbagai alasan, misal karena anak semata wayang, anak mewarisi tanggung jawab sosial orang tua seperti lembaga dan bisnis, atau karena anak kesayangan.
Istri Manut Suami, Benarkah?
Kembali pada adat setempat kadang menjadi jalan keluar bagi dua keluarga yang memperebutkan domisili anaknya. Ada juga yang bersikeras dengan jargon “Setelah menikah, istri adalah adalah milik suami” maka perkataan suami adalah setara dengan titah Tuhan. Mirisnya, ada kawan perempuan saya yang dibawa suaminya dan tidak diperkenankan menjenguk orang tua. Sama sekali. Dalihnya, mau cari di kitab ulama manapun, yang benar adalah istri manut pada suami.
Jika benar demikian, betapa kejam agamaku memutus hubungan orang tua dengan anaknya yang telah menjadi wasilah eksistensi keberlangsungan manusia di bumi ini. Padahal perintah berbuat baik pada orang tua seringkali beriringan dengan larangan menyukutukan Allah, QS. Al-Isra: 23, QS Al-An’Am: 151, QS An-Nisa: 36 dan QS Al-Baqarah: 83. Tidak ada pembatasan usia, jenis kelamin dan hubungan lainnya untuk tidak berbuat baik pada orang tua.
Membahas domisili pasangan suami istri erat kaitannya dengan penyediaan rumah. Dimana tersedia tempat tinggal disanalah yang lebih berhak ditempati (dijadikan domisili). Di Madura, khususnya Sumenep, wali dari anak perempuan memiliki tanggung jawab menyediakan rumah sebagai pertanda mempelai suami harus ikut berdomisili di daerah mempelai perempuan dengan membawa seperangkat properti rumah sebagai hibah/pemberian, bukan sebagai mahar.
Menyoal Tanggung Jawab
“Tanggung jawab” ini sebagaimana pendapat malikiyah, menjadi beban istri sesuai nilai mahar yang ia terima. Namun jika adat di tempatnya mengharuskan lebih dari nilai mahar maka harus dilakukan. Al-‘ādatu muhakkamatun. Kebiasaan setempat bisa menjadi landasan hukum.
Atau menjadi syarat –dalam Kompilasi Hukum Islam kita sebut Perjanjian Nikah- sebelum menikah. Baik syarat yang terucapkan atau syarat tradisi setempat. Al-masyrūthi ‘urfan ka al-masyrūhi syar’an.
Sebaliknya, di daerah lain justru mempelai laki-laki yang menyediakan segala jenis kebutuhan ekonomi, sandang, pangan, dan papan. Karena mahar yang suami berikan pada istri bukanlah kompensasi dari rumah dan propertinya. Pendapat ini sebagaimana termaktub dalam madzhab Hanafiyah, bahwa mahar adalah murni pemberian dan milik istri seutuhnya. Tidak ada sumber hukum yang membebani perempuan menyediakan rumah.
Pendekatan Makruf
Hemat penulis, perihal pernikahan tidak bisa hanya berpatokan pada hitam putih fikih. Relasi suami istri –dan relasi sosial yang lain- seharusnya memakai pendekatan makruf, yang oleh Nyai Hj Badriyah Fayumi mendefinisikan sebagai segala sesuatu yang mengandung nilai kebaikan, kebenaran dan kepantasan yang sesuai dengn syariat, akal sehat dan pandangan umum suatu masyarakat.
Makruf yang Nyai Hj Badriyah gagas ini lahir dari ayat Alquran surat An-Nisa ayat 19, yang memerintahkan suami berlaku makruf kepada istri.
Maka dalam berembuk domisili sebaiknya mempertimbangkan kebaikan dan prioritas. Bukan berdasarkan kasta atau jenis kelamin, melainkan kebaikan jangka panjang masing-masing pasangan. Maksud kebaikan di sini adalah kebaikan yang bersifat makro, mencakup lebih banyak reveren.
Di daerah mana yang mungkin dapat kita jangkau lebih banyak kebaikan (maslahat), maka di sanalah ia sebaiknya tinggal. Prinsipnya adalah kebaikan. Mencari paling banyak kebaikan dan –tentu- dengan cara yang baik (makruf), benar dan pantas. Ketiganya bisa diukur dengan syariat dan adat. Bermusyawarahlah dengan pasangan, keluarga dan kerabat untuk mencari hasil mufakat. walLāhu a’lam. []