Mubadalah.id – Upah dalam Islam dipandang sebagai sesuatu yang fundamental, tidak hanya hubungan kerja sepihak, tapi unsur moral dan kesetaraan di dalamnya. Buktinya hadits dari Abdullah bin Umar:
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya”. (HR. Ibnu Majah)
Ini penegasan bahwa Islam memandang pembayaran upah di bawah kelayakan buruh sebagai manusia dan mengeliminasinya dari keuntungan kerja, sama artinya dengan pembunuhan buruh sebagai makhluk sosial.
Dengan demikian, sistem pengupahan yang terjadi saat ini bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) Pasal 25 (1) yang menyebutkan bahwa “Setiap buruh berhak atas standar hidup yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya.”
Kemudian dalam Pasal 11 Kovenan International Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menyebutkan bahwa “Negara-negara penandatangan Kovenan mengakui hak setiap orang atas standar hidup yang layak untuk diri dan keluarganya.”
Pernyataan atau deklarasi hak asasi manusia tentang kualitas hidup yang kita sebut “hak mendapat standar hidup yang layak” (buruh) secara substansi tidak berbeda dengan Islam.
Bahkan Islam jauh-jauh hari telah menegaskan “berilah upah pada buruh sebelum keringatnya kering.” Jargon tersebut merupakan bentuk penghargaan Islam terhadap kaum pekerja.
Saling Menjaga Kualitas Kerja
Islam memandang penting terciptanya lingkungan kerja kondusif antara buruh dan majikan. Islam mewajibkan dan memerintahkan untuk menjaga kualitas kerja itu dengan memenuhi hak-hak para pekerja.
Seringkali masalah penentuan upah minimum (al-ta’tsir al-ijbary) daerah menimbulkan konflik berkepanjangan antara buruh dan majikan. Di Indonesia sendiri tampaknya pemerintah lebih berpihak pada pengusaha, sehingga upah minimum provinsi yang ditetapkan pemerintah begitu murah.
Dalam hal ini, Islam dengan semangat syura berusaha memberikan jalan penyelesaian konflik buruh-majikan sebagai berikut: (1) negosiasi atau musyawarah. (2) Mediasi. Mediator biasa berasal dari kalangan praktisi, pemimpin militer, ekonom, praktisi hukum dan pengamat masalah sosial kemasyarakatan. (3) Arbitrase, tahkim: dan (4) lembaga peradilan (litigasi).
Empat cara tersebut merupakan usaha-usaha yang harus ditempuh untuk menetralisasi benturan buruh-majikan. Jika terjadi kebuntuan antarkedua belah pihak, demonstrasi atau unjuk rasa merupakan hak bagi pekerja untuk menyampaikannya secara etis. []