Mubadalah.id – Satu minggu ini kasus penemuan jenazah seorang perempuan di sungai wara-wiri di time line medsosku. Utamanya di Instagram. Karena penasaran, saya terus memantau kasusnya. Setelah Polresta Kota Cirebon melakukan penyelidikan, inilah kronologi pembunuhan oleh pelaku kekerasan yang ternyata adalah suaminya sendiri.
Melansir dari Radar Cirebon, pelaku kekerasan Moh Mugni Fawaiz alias MM adalah ayah muda yang baru berusia 20 tahun. Dia kini terancam hukuman penjara seumur hidup, setelah mengaku telah membunuh istrinya sendiri Olivia alias OL (20).
Moh Mugni Fawaiz dan Olivia menikah pada 15 November 2022 dan sudah dikaruniai anak yang kini berusia 11 bulan. MM menghabisi nyawa istrinya pada Minggu dini hari, 7 Januari 2024 di rumahnya, Desa Bunder, Kecamatan Susukan, Kabupaten Cirebon.
Jasad korban ia buang ke Sungai dan baru warga temukan beberapa hari kemudian di bawah jembatan Desa Jatipura, Kecamatan Susukan, sekitar 200 meter dari TKP pembunuhan. Usai membunuh istrinya, MM sempat kabur ke Rembang, Jawa Tengah kemudian ke Bali. Di tengah pelariannya itu dia tertangkap.
Unit Tekab Sat Reskrim Polresta Cirebon bersama Unit Resmob Ditreskrimum Polda Jabar menangkapnya di Jalan Legian, Kuta, Bali, Senin 15 Januari 2024 sekitar pukul 17. 51 WITA. Polisi telah mengumumkan kasus ini. Berdasarkan proses penyelidikan, ditemukan fakta bahwa pelaku telah merencanakan perbuatan tersebut.
Motif Pelaku
Hal yang membuat saya paling kesal dan marah dengan kasus pembunuhan ini, adalah motif pelaku. Di mana dia tega menghabisi nyawa istrinya sendiri karena sang istri tidak mau diajak berhubungan seksual. Lalu pelaku curiga jika istrinya punya PIL alias pria idaman lain. Sungguh alasan yang sangat membagongkan!
Menurut Ratna Sari dalam artikelnya di Mubadalah.id, perasaan benci kepada pasangan juga termasuk dari tindakan KDRT yang banyak terlupakan. Seorang suami memberikan ucapan-ucapan yang menyakitkan hati istri, bersikap kasar, dan terlalu menuntut kesempurnaan dari pasangannya, ini juga merupakan bentuk kezaliman terhadap istri.
Suami terkadang lupa bahwa istri bukanlah bidadari yang memiliki kesempurnaan. Di mana istri juga memiliki kekurangan yang seyogyanya kita harus saling memahami satu sama lain. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَرِثُوا۟ ٱلنِّسَآءَ كَرْهًا ۖ وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا۟ بِبَعْضِ مَآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Dan pergaulilah dengan mereka (istri) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka. (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu. Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Qs. An-Nisa:19).
Pada ayat di atas kita bisa pahami bersama bahwa setiap kekurangan dan kelebihan dari pasangan seharusnya sudah siap kita terima sebelum maupun sesudah ijab qabul terucapkan. Banyak firman Allah tentang tuntunan dalam berumah tangga dengan tentram. Bahkan Rasulullah juga telah memberikan teladan dalam membina rumah tangga.
Femisida
Kasus pembunuhan istri oleh suaminya sendiri yang terjadi di Kabupaten Cirebon tersebut, masuk dalam upaya femisida. Berdasarkan penjelasan Siti Aminah, bahwa Sidang Umum Dewan HAM PBB, mendefinisikan femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang terpicu oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan, sehingga boleh menerima perlakuan secara tidak bermartabat.
United Nation Women mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan berbasis gender yang merupakan manifestasi kekerasan paling brutal dan ekstrim terhadap perempuan dan anak perempuan.
Definisi ini sebagai pembunuhan yang disengaja dengan motif berbasis gender. Karena femisida terpicu oleh stereotip peran gender, diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan. Lalu hubungan kekuasaan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki, serta norma-norma sosial yang merugikan perempuan.
Dengan demikian, dapat kita ketahui bersama bahwa femisida sangat berbeda dengan pembunuhan biasa lainnya. Femisida lebih kita titikberatkan oleh isu kekerasan berbasis gender pada perempuan.
Sementara itu dalam Siaran Pers Komnas Perempuan tentang Dugaan Femisida dalam Relasi Personal, menyebutkan bahwa Komnas Perempuan telah melakukan pemantauan femisida (femicide) sejak tahun 2017 melalui pemberitaan media.
Hal ini mereka lakukan karena minimnya pengaduan ke Komnas Perempuan dan lembaga layanan. Hasilnya menunjukkan bahwa ada 388 pemberitaan tentang pembunuhan terhadap perempuan. Dari 388 kasus tersebut, ada 159 kasus yang terindikasi kuat sebagai femisida. Dari 159 kasus yang media beritakan, terdapat 162 jenis femisida. Hal ini karena satu kasus memuat dua jenis femisida yaitu pembunuhan terhadap ibu dan anaknya.
Pelaku, Orang Terdekat Korban
Komnas Perempuan juga telah menganalisa putusan tentang kasus kematian yang terjadi pada perempuan. Dari jumlah 100 putusan pengadilan terkait kematian istri, ada 15 kasus yang masuk kategori kasus femisida intim. Hasil analisa putusan pengadilan kasus pembunuhan terhadap perempuan menunjukkan 60% lokasi kejadian perkara pembunuhan berada di rumah.
Dengan demikian, sampai kapanpun kita jangan pernah mentolerir pelaku kekerasan, karena pada akhirnya kekerasan akan dinormalisasi, dan menganggapnya sebagai kejahatan biasa. Perempuan akan terus menjadi kelompok yang paling rentan sebagai korban kekerasan, bahkan oleh orang terdekatnya sekalipun.
Saya berharap sekali, agar kita semua bisa terus memantau kasus pembunuhan ini yang masih berjalan proses hukumnya. Mengadili pelaku dengan hukuman maksimal, dan memberi rasa keadilan terhadap keluarga korban.
Meski saya tak bisa membayangkan bagaimana nasib anak pasangan muda itu yang masih berusia 11 bulan. Ayahnya akan dicap sebagai pembunuh ibunya sendiri. Stigma sebagai anak pembunuh itu akan terus melekat, dan menghantui seumur hidupnya. Malangnya nasibmu Nak! []