Mubadalah.id – Dalam memilih pasangan hidup, perempuan memiliki hak yang lebih kuat dibanding kedua orang tuanya. Bahkan, saudara atau kerabat jauh sekalipun tidak memiliki wewenang untuk menentukan siapa yang harus menjadi pasangan hidupnya.
Karena pemaksaan dalam perjodohan baik secara halus maupun terang-terangan, ia tidak akan pernah melahirkan kerelaan, ketulusan, apalagi kebahagiaan. Karena yang terjadi justru sebaliknya munculnya luka-luka batin, hipokritas dalam relasi keluarga, bahkan potensi kekerasan dalam rumah tangga yang lebih besar.
Sebab, cinta yang dipaksa adalah cinta yang rapuh. Dan rumah tangga yang dibangun di atas paksaan, hanya akan menyisakan kekosongan, bukan kedamaian.
Kita tidak bisa terus-menerus menjadikan moralitas keberagamaan sebagai alat paksa yang mengebiri hak-hak perempuan. Agama harus menjadi sumber nilai-nilai kasih sayang dan keadilan, bukan cambuk yang mengancam orang agar selalu taat pada aturan yang mereka maknai secara sempit dan patriarkis.
Pendidikan agama, jika ingin relevan dengan zaman, seharusnya kita tanamkan secara partisipatoris, yakni dengan membangun kesadaran, bukan dengan memaksa ketaatan.
Ruang Relasi yang Setara
Pernikahan adalah ruang relasi antara dua pribadi yang setara. Karena itu, pilihan atas pasangan hidup harus kita kembalikan kepada kedua calon mempelai, tanpa intervensi, tekanan, atau pemaksaan dari siapapun. Termasuk dari orang tua yang kadang masih memegang kuat nilai-nilai adat atau kehormatan keluarga yang justru menekan perempuan.
Dalam fiqh Islam sendiri, otoritas memilih pasangan hidup ditentukan oleh kedewasaan dan kematangan (al-bulugh wa ar-rusyd), bukan oleh jenis kelamin, apalagi posisi dalam silsilah keluarga.
Ketika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, telah mencapai batas-batas kedewasaan tertentu baik secara biologis maupun psikologis. Maka ia memiliki hak penuh untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
Kedewasaan ini bisa kita lihat dari tanda-tanda seperti menstruasi, mimpi basah, tumbuhnya bulu kelamin, atau usia tertentu yang masyarakat sepakati. Artinya, tidak ada ruang bagi pembatasan hak perempuan untuk memilih, selama ia sudah dewasa dan matang menurut standar yang ia sepakati.
Sudah saatnya kita menggeser cara pandang terhadap relasi keluarga dan pernikahan. Tidak lagi memaksakan kehendak atas nama demi kebaikan anak perempuan, tetapi membuka ruang dialog, mendengar suara mereka, dan menghormati pilihan mereka.
Sebab, perempuan bukanlah properti yang bisa kita atur dan tentukan masa depannya. Ia adalah subjek penuh yang layak menentukan sendiri siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya.
Sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, ajaran Islam sesungguhnya berpihak pada kebebasan dan keadilan dalam relasi antar manusia, termasuk dalam hal memilih pasangan.
Maka, jika kita masih memaksakan perjodohan atas nama tradisi atau agama, mungkin bukan ajaran Islam yang sedang kita perjuangkan. Tetapi ego dan kuasa atas tubuh dan hidup orang lain. []