Mubadalah.id – Di lingkungan rumahnya, Rahmah el-Yunusiyah menyaksikan langsung bagaimana banyak perempuan tidak mendapatkan kesempatan sekolah. Perempuan dianggap cukup berada di rumah, tanpa perlu memahami ilmu agama secara mendalam. Situasi inilah yang kemudian menyalakan kegelisahannya.
Baginya, ketidakadilan itu tidak boleh kita biarkan. Jika perempuan terus berada di luar ruang pendidikan, mereka akan selamanya berada pada posisi masyarakat kelas dua.
Kegelisahan itu berubah menjadi tindakan. Bersama dua sahabatnya, Siti Nansia dan Djawana Basyir, Rahmah el-Yunusiyah mendirikan sebuah madrasah khusus perempuan: Madrasah Lil Banat.
Langkah ini menjadi sebuah pernyataan tegas bahwa perempuan berhak mendapatkan pendidikan setara dengan laki-laki. Ia menyampaikannya langsung kepada kakaknya:
“Jika laki-laki bisa, kenapa perempuan tidak bisa? Kita harus memulai sekarang, atau perempuan akan tetap terbelakang.”
Namun perjuangan tidak mudah. Tradisi pada masa itu masih menolak perempuan belajar di sekolah formal. Kehadiran madrasah perempuan, orang-orang menganggapnya melawan adat. Banyak yang meremehkan gagasan Rahmah el-Yunusiyah. Tetapi ia tetap maju, karena ia tahu bahwa perubahan tidak pernah tumbuh dari rasa takut.
Kemudian, hal inilah yang menjadikan warisan pendidikannya begitu penting hari ini. Ia bukan hanya pendiri madrasah. Ia adalah simbol bahwa pendidikan perempuan tidak boleh kita negosiasikan.
Ia membuktikan bahwa ketika perempuan diberi ruang belajar, masyarakat ikut terangkat. Dan sebaliknya, ketika perempuan tidak diberik akses ilmu, maka seluruh bangsa ikut stagnan.
Karena itu, menjaga warisan Rahmah el-Yunusiyah berarti memastikan pendidikan perempuan tetap menjadi prioritas. Menjaga warisannya berarti melawan setiap bentuk diskriminasi yang mengekang perempuan. Dan menjaga warisannya berarti mengingatkan negara bahwa kesetaraan tidak akan pernah tercapai jika perempuan terus ditempatkan di pinggir. []








































