• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Joker, Kita, dan Masyarakat yang Sakit

Abdul Rosyidi Abdul Rosyidi
10/10/2019
in Publik
0
film, joker
30
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Joker lahir dari masyarakat yang sakit, dari kota yang sekarat, Gotham. Membahas Joker tentu tak akan paripurna tanpa lebih dulu kita mengenal kota tempat dia hidup. Kota gelap yang melahirkan banyak kegilaan.

Dalam sebuah artikel dikatakan, “Gotham” ternyata berasal dari kata bahasa Inggris kuno yang berarti “kota kambing.” Joker pernah membuat lelucon tentang ini dalam Detective Comics #880 dengan mengatakan kota Gotham berarti “surga untuk para kambing.”

Di Gotham, kita banyak menjumpai keganjilan dan kegilaan. Orang-orang gila di sana akan dijebloskan ke dalam Arkham Asylum, sebuah tempat rehabilitasi para kriminal gila. Siapa yang masuk ke Arkham biasanya dia akan menjadi semakin gila.

Arkham seperti menjadi kawah candradimuka bagi para penjahat psikopat Gotham. Segala penjahat selalu berkaitan dengan tempat misterius ini.

Tapi Gotham dan Arkham adalah fiksi. Dia diciptakan sedemikian sekarat agar bisa “diperah” DC untuk menghasilkan supervillain yang tak habis-habis. Sebut saja Two-Face, Riddler, Penguin, Ras Al-Ghul dan tentu saja Joker.

Baca Juga:

Kursi Lipat dan Martabat Disabilitas

Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah

7 Langkah yang Dapat Dilakukan Ketika Anda Menjadi Korban KDRT

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

Kita tak usah terlalu serius meyakini Gotham itu nyata. Tapi mungkin idenya terinspirasi dari kota nyata seperti New York, Chicago, atau Jakarta.

Yang pasti, bagi saya film Joker (2019) benar-benar mengetuk-ngetuk pikiran dan nurani. Ia melihat seorang penjahat dari sudut manusiawi penjahatnya. Hingga terbersit sedikit tanya, adakah kejahatan lahir dari kebaikan yang tersakiti?

Kalau iya berarti kita sebagai masyarakat juga ikut andil, baik langsung maupun tidak langsung, melahirkan penjahat super. Minimal andil kita adalah merasa diri selalu sebagai sang pahlawan. Yang selalu baik dan abai terhadap nasib orang lain.

Dan pada bagian inilah apa yang diceritakan di film benar-benar terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari.

Sejatinya Gotham adalah simbolisme dari kota yang dilanda bencana sosial. Kota bukan lagi menjadi tempat bagi masyarakat tapi hanya menjadi wadah bagi kerumunan individu. Penduduknya sibuk mengejar hasrat pribadi dan abai terhadap nasib orang lain.

Nah, satu yang begitu menggelisahkan sewaktu nonton film ini adalah karena kita “dituduh” ikut berperan dalam kegilaan dan kejahatan yang kita sumpah serapahi. Jujur saya duduk tidak nyaman di dalam gedung bioskop. Rasa kemanusiaan itu diketuk-ketuk berulang kali.

Lalu mendadak terpikir, mungkin setiap kita adalah penduduk Gotham. Atau kalaupun bukan tapi gejala menjadi penduduk Gotham sudah kita rasakan hari ini. Tidak mau mengantre, maunya menang sendiri, menyuap untuk mendapatkan pelayanan lebih, memberikan uang agar dipilih menjadi bupati, gubernur, presiden, atau wakil rakyat, setelah jadi, rame-rame korupsi. Apalagi ini kalau bukan kegilaan.

Dan lucunya, semua keculasan dilakukan hanya untuk membangun istana pribadi. Membangun pagar tembok super tinggi. Mengisolasi diri dari kehidupan masyarakat. Tutup mata terhadap kemiskinan dan penderitaan orang lain.

Di tempat yang lain, seorang suami membunuh istri dan anak tirinya, ayah memperkosa anak kandungnya sendiri, saudara saling bantai berebut harta orang tua yang mengasihi mereka semua, remaja kita membunuh remaja sebayanya, dan lainnya.

Korban perkosaan dan pelecehan seksual justru dijebloskan ke penjara. Sementara pelakunya bebas merdeka. Nenek-nenek mengambil buah coklat dihukum penjara, sementara pemilik perusahaan yang membakar ribuan hektare hutan di Kalimantan ongkang-ongkang kaki.

Ini adalah tragedi. Ini bencana sosial yang nyata. Kita semua berada di dalamnya, di Gotham yang gila.

Maka pada saat terjadi pristiwa kriminal yang memilukan, pertanyaan tentang kegilaan itu tidak cukup hanya pada tataran siapa pelaku? Tapi harus sampai pada kenapa kejahatan itu bisa terjadi? Jangan-jangan ada sumbangsih kita untuk menciptakan situasi tersebut.

Dalam film, keacuhan kita digambarkan bisa menjadi pupuk untuk melahirkan penjahat sepeti Joker. Tapi dalam dunia nyata, bukan tak mungkin, keacuhan itu sendiri yang sebenar-benar kejahatan.[]

Abdul Rosyidi

Abdul Rosyidi

Abdul Rosyidi, editor. Alumni PP Miftahul Muta'alimin Babakan Ciwaringin Cirebon.

Terkait Posts

Jam Masuk Sekolah

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

7 Juni 2025
Iduladha

Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

7 Juni 2025
Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

7 Juni 2025
Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Siti Hajar

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

7 Juni 2025
Relasi Kuasa

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

7 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jam Masuk Sekolah

    Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kursi Lipat dan Martabat Disabilitas
  • Jalan Tengah untuk Abah dan Azizah
  • 7 Langkah yang Dapat Dilakukan Ketika Anda Menjadi Korban KDRT
  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID