Nikita Mirzani hadir dalam sebuah video rekaman yang menyebutkan seorang ulama berinisial HRS dengan sebutan “Tukang Obat”. Hal ini memicu berbagai tanggapan. Tidak terkecuali pengikut setia HRS yang kadung tak tahan menahan emosinya.
Adalah Ustad Maheer At-Thuwalibi alias Soni Eranata yang dikenal sebagai sosok ustad yang aktif di media sosial. Ia mengancam Nikita Mirzani untuk segara meminta maaf secara terbuka pada HRS. Jika tidak, ia mengancam akan membawa 800 orang mengepung kediamannya. Tidak tanggung-tanggung, Ustad Maheer bahkan menyebut Nikita Mirzani dengan sebutan “Lonte”.
Ancaman tersebut ternyata ditanggapi langsung oleh Nikita yang berujar tidak takut dengan ancaman tersebut, ia mengaku akan mengajak 800 orang yang akan mengepung rumahnya makan bakso bersama. Sampai saat ini, perseteruan antara keduanya belum ada yang berusaha meredam dan menahan egosentris masing-masing.
Dalam kajian psikologi sosial, tindakan yang dilakukan oleh dua tokoh yang penulis sebutkan di atas termasuk dalam kategori agresi, yakni segala bentuk perilaku yang disengaja terhadap makhluk lain dengan tujuan untuk melukainya. Agresi dibagi menjadi dua, yakni agresi verbal dan non verbal.
Sebenarnya apa saja sih faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perilaku agresi? Setidaknya ada 5 faktor, yakni, pertama, Faktor biologis. Hal ini dibagi lagi menjadi 3 bagian, a) Gen yang sangat berpengaruh pada pembentukan sistem neural otak yang mengatur perilaku untuk melakukan tindakan agresi, b) Adanya sistem otak yang tidak terlibat dalam tindakan agresi ternyata sangat berpotensi besar dalam memperkuat ataupun menghambat sirkuit dalam mempengaruhi perilaku agresi, dan c) adalah terdapatnya kimia darah yang merupakan salah satu unsur khususnya hormon seks yang sebagian ditentukan oleh faktor garis keturunan yang sangat berpotensi besar dalam mempengaruhi perilaku agresi.
Kedua, faktor naluri atau insting. Menurut tokoh psikologi analisis ternama Sigmund Freud, dalam diri manusia terdapat dua jenis insting. Yakni Eros atau naluri kehidupan dan thanatos atau naluri kematian. Agresi adalah wujud dari ekspresi naluri kematian yang dapat diarahkan kepada orang lain atau sasaran di luar dirinya dan dapat juga perilaku agresi diarahkan pada dirinya sendiri.
Ketiga, faktor amarah. Marah merupakan salah satu wujud pengungkapan ekspresi ketika seseorang tengah emosi. Ia memiliki ciri-ciri aktivitas sistem yang parasimpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat. Biasanya disebabkan oleh suatu kesalahan yang mungkin nyatanya benar-benar salah atau tidak. Bagaimana tanggapanmu dengan kasus Ustad Maher dan Nikita Mirzani?
Keempat, faktor frustasi. Frustasi bisa terjadi apabila seseorang terhalang oleh sesuatu hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, pengharapan atau tindakan tertentu. Karena tujuannya tidak tercapai, cenderung seseorang akan meluapkannya dengan tindakan agresi.
Kelima, faktor sosial learning (peran belajar model kekerasan). Dewasa ini memang tindakan agresi dapat dilihat dari sudut manapun. Kita tidak memungkiri, dalam kondisi pandemi, seseorang dipaksa untuk menunjukkan jati diri kita sesungguhnya di hadapan anak-anak atau anggota keluarga yang lain. Suatu hari mereka juga akan mencontoh apa yang dilakukan oleh orang yang menjadi panutan keluarga. Itulah sebabnya kita harus hati-hati dan jeli dalam bersikap, terutama di hadapan anak kecil. Model kekerasan ini juga bisa ditiru ketika seseorang menonton televisi.
Seperti yang penulis sebutkan di atas, salah satu faktor agresi bisa didapatkan dari faktor genetika. Otomatis, menghilangkan secara penuh tindakan agresi merupakan suatu langkah yang kurang adil untuk mereka yang sudah memiliki sifat dan perilaku tersebut. Makanya dalam menghadapi perilaku agresi, kita hanya bisa melakukan healing cara “mengurangi” dengan 2 langkah jitu;
Pertama adalah melalui katarsis. Merupakan tindakan penyucian diri yang dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk mengurangi perilaku agresi. Katarsis dilakukan dengan melepaskan energi emosi yang terpendam dalam hati seseorang sekaligus penyucian diri dengan berimajinasi. Contoh misalnya seseorang diajak untuk membayangkan jika suatu saat perilaku agresinya muncul baik secara verbal maupun non verbal, maka ia pasti akan menderita. Dengan berpikir demikian, seseorang yang hendak melakukan agresi akan mengurungkan tindakannya.
Kedua adalah a learning social approach, jika perilaku agresif dapat dipelajari maka ada kemungkinan untuk mengontrolnya. Hampir semua agresivitas berawal dari sifat desakan hati, neural otak yang memanas karena hasil dari sebuah argumen, hinaan atau serangan. Dengan demikian, kita dapat mencegah sebelum agresi itu terjadi. Kita belajar strategi resolusi konflik non-agresi. Akan tetapi menerapkan hukuman bagi pelaku dalam model ini tidak terlalu efektif . hal ini akan berhasil dalam situasi tertentu saja.
Apapun masalahnya, tindakan agresi bukanlah tindakan yang baik untuk meredam agresi yang orang lain juga lakukan. Makanya, ketika ada dua sisi yang sedang berseteru dan mempertahankan egosentris masing-masing, diperlukan sosok penengah yang mengajak dua sisi tersebut berdamai. Dalam kasus Ustad Maheer dan Nikita Mirzani? Apakah sudah ada sosoknya? []