Mubadalah.id – Di era ketika empati sering dikemas menjadi konten, makna kasih sejati justru kian memudar. Ramainya konten empati di media sosial, perhatian terhadap teman difabel sering berhenti pada rasa iba, bukan kasih. Banyak orang sibuk menampilkan kepedulian, namun lupa menghadirkan penghormatan.
Padahal Islam mengajarkan rahmah kasih sayang yang sejajar, bukan belas yang menatap dari atas. Teman difabel tidak membutuhkan dikasihani, mereka butuh kita sapa dan kita hormati sebagai sesama manusia.
Dalam Islam, komunikasi tidak hanya sekadar pertukaran kata, tetapi juga cara menghadirkan nilai kemanusiaan di antara dua jiwa. Komunikasi Islam yang baik seharusnya menumbuhkan rasa setara, memuliakan, dan menenangkan. Rasulullah SAW menjadi teladan utama dalam hal ini. Beliau menyapa setiap orang dengan penuh perhatian, tidak memandang status, fisik, atau kemampuan. Dari beliau, kita belajar bahwa kasih bukan hanya kata lembut, tetapi juga sikap yang menghormati.
Budaya digital membuat empati mudah ditampilkan namun sulit dirasakan. Kita sering melihat video seseorang membantu pengguna kursi roda, atau kisah inspiratif difabel yang viral. Sekilas, hal itu tampak positif. Namun di balik layar, sering kali ada jarak halus karena fokusnya lebih pada sensasi dan belas kasihan ketimbang penghormatan.
Fenomena ini disebut empati semu yaitu ketika orang tampak peduli, tetapi kepeduliannya berhenti di layar. Teman difabel dijadikan objek konten, bukan subjek kehidupan. Padahal Islam tidak mengajarkan kasih yang berjarak seperti itu. Islam menghendaki empati yang aktif: kasih yang menggerakkan, bukan hanya menatap iba.
Rahmah dan Musawah: Akar Komunikasi Islam
Dua nilai penting dalam komunikasi Islam adalah rahmah (kasih sayang) dan musawah (kesetaraan). Rahmah berarti kasih yang menggerakkan kebaikan dan penghormatan, sedangkan musawah menegaskan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama di hadapan Allah.
Allah berfirman dalam QS. Al-Isra: 70:“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak-anak Adam…” Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan manusia bersifat universal. Tidak ditentukan oleh fisik, status sosial, atau kondisi tubuh, tetapi oleh ketakwaan dan amalnya. Maka, ketika seseorang merasa lebih tinggi karena membantu difabel, sebenarnya ia sedang kehilangan makna rahmah itu sendiri.
Kasihan sering muncul dari posisi di atas, sementara kasih tumbuh dari posisi sejajar. Rasulullah SAW mencontohkan hal ini dengan luar biasa. Beliau memberi ruang bagi sahabat yang memiliki keterbatasan fisik untuk berperan aktif dalam masyarakat bukan karena belas kasihan, tapi karena pengakuan atas potensi mereka.
Dalam komunikasi Islam, setiap kata seharusnya membawa adab. Ada beberapa prinsip sederhana yang bisa menjadi panduan agar interaksi kita dengan teman difabel lebih beradab dan bermakna:
Etika Komunikasi Islam
Pertama, Gunakan bahasa yang setara. Hindari ungkapan yang menempatkan mereka sebagai objek belas kasihan. Daripada berkata, “Meski difabel, dia hebat” lebih baik katakan, “Dia hebat di bidangnya.” Kalimat pertama menonjolkan kekurangan, yang kedua menegaskan kemampuan. Kedua, Dengarkan dengan hati, bukan sekadar telinga. Menghormati berarti memberi ruang bagi mereka untuk berbicara dan mendengarkan tanpa menghakimi.
Ketiga, Bangun partisipasi, bukan pengasihan. Libatkan teman difabel dalam kegiatan sosial atau keagamaan bukan karena iba, tetapi karena mereka memiliki potensi dan hak yang sama untuk berkontribusi. Keempat, Jangan memposisikan diri sebagai penyelamat. Dalam Islam, menolong adalah ibadah, tetapi ibadah itu harus lahir dari kesadaran kesetaraan. Kita menolong bukan karena mereka lemah, tetapi karena semua manusia saling membutuhkan.
Menjadi Muslim Komunikatif
Ketika prinsip-prinsip ini dijalankan, komunikasi menjadi ruang yang menyembuhkan, bukan merendahkan. Ia tidak berhenti di basa-basi sopan, tetapi tumbuh menjadi jembatan kasih yang sejati. Perbedaan antara kasih dan kasihan tampak tipis, tetapi dampaknya sangat besar.
Kasihan membuat kita merasa lebih tinggi, sedangkan kasih mengajarkan rendah hati. Kasihan menciptakan jarak, kasih menghadirkan kedekatan. Dalam konteks dakwah dan komunikasi Islam, kasih bukan hanya strategi retorika, tetapi nilai spiritual. Ia menghidupkan pesan Islam agar terasa manusiawi dan membumi.
Dakwah sejati bukan tentang siapa yang lebih fasih berbicara, melainkan siapa yang lebih tulus memahami. Menjadi Muslim yang komunikatif berarti menghadirkan kasih dalam setiap kata dan sikap terutama kepada mereka yang sering dipandang berbeda.
Kasih sejati tidak butuh panggung. Ia hadir lewat cara kita menatap sejajar, berbicara dengan hormat, dan mendengar dengan tulus. Dunia boleh ramai dengan konten empati, tetapi hati manusia selalu rindu sapaan yang jujur dan sejajar.
Jika komunikasi Islam mampu menghadirkan kasih yang sejati, bukan sekadar iba atau sensasi, maka kita sedang menghidupkan kembali makna rahmah seperti yang Nabi ajarkan: kasih yang menyetarakan, bukan belas yang memisahkan. Sebab pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan mata yang iba, melainkan hati yang menyapa. []

 
			









































