Mubadalah.id – Sepanjang hidupnya perempuan selalu menghadapi penghakiman demi penghakiman. Kerap kali kesepakatan penghakiman itu dilakukan oleh segolongan orang untuk menghasilkan sebuah norma khusus dalam mendefenisikannya. Padahal kebenaran tunggal tentang perempuan itu sudah terhapuskan.
Malangnya kesepakatan defenisi itu bersifat hitam dan putih, serta saling menegasikan, seperti sebuah grand narasi dengan sebuah kebenaran tunggal. Dan para perempuan berebut makna kebenaran itu dengan saling menunjuk. Aku benar dan kamu salah.
Ketika baru saja menikah misalnya. Perempuan yang memilih untuk berdedikasi di rumah dianggap tidak lebih berharga dari pada dia yang memilih untuk bekerja. Atau ketika menjadi ibu, selalu saja ada narasi bahwa ibu yang melahirkan normal itu lebih “Ibu” dibandingkan yang operasi. Ibu yang menyusui bayinya secara eksklusif dari payudaranya sendiri lebih “Ibu” dari pada yang memberikan susu formula kepada anaknya.
Akhiri Narasi Hitam Putih Tentang Perempuan
Narasi-narasi hitam putih seperti itu pada akhirnya hanya akan menciptakan stigma superior dan inferior, kubu benar dan salah. Ini masalahnya, di masyarakat perempuan yang menganggap bahwa dia telah memenuhi standar kebenaran tentang “perempuan” merasa superior, dan memiliki otoritas untuk mendikte yang lain, denga anggapan tidak mengikuti standar tersebut.
Sebut saja perilaku body shamming, mom shamming, dan baby shaming yang merupakan bentuk praktek intimidasi perempuan superior terhadap mereka yang dianggapnya inferior.
Intimidasi itu akan menjadi sangat menjengkelkan ketika para perempuan yang berebut makna kebenaran itu, mencoba mendikte cara terbenar menjadi seorang perempuan maupun seorang ibu. Teman saya yang seorang ibu muda misalnya, merasa kesal sekali dengan ibu-ibu senior yang setiap sore datang ke rumahnya, untuk mengomentari semua tindak tanduk teman saya yang baru saja berstatus ibu ini.
Ibu-ibu senior itu mengomentari mulai dari cara menidurkan anak yang harus begini, membedong anak yang harus begitu. Lalu cara menyuapi anak dengan gaya tangan seperti ini dan dengan takaran suapan sebanyak ini, bahkan ekspresi saat akan menyapi anakpun didiktenya.
Di hari-hari berikutnya ibu senior itu bahkan mengomentari bobot badan sang anak, dan apa saja yang sudah ia beri ke bayi. Mengulik-ngulik informasi yang mungkin saja tidak sesuai dengan standar kebenaran yang ada. Kemudian mereka babat dengan tuduhan-tuduhan yang tidak enak terdengar, atau membandingkan dengan ibu lain yang anggapannya lebih “ibu” dari teman saya ini.
Parahnya lagi biasanya sesama ibu senior akan saling mengghibah mengatai “Dia tidak pandai beranak”, semata karena cara teman saya menjadi perempuan dan ibu tidak sama dengan cara mereka selama ini. Bagi para ibu senior semestinya bahkan dengan cara bernafaspun harus sama dengan mereka, jika tidak sama, berarti dianggap sebagai kubu salah.
Perjuangan Perempuan Merebut Identitasnya
Jadi jika dilihat lebih dekat sebenarnya perjuangan perempuan itu bukan hanya melawan kepungan patriarki. Seperti yang Nawal El Sadawi katakan. Ia seorang feminis asal Mesir dalam buku Perempuan Dalam Budaya Patriarki.
Namun juga berjuang melawan para perempuan dominan yang mencoba menciptakan penyeragaman, yang menyesuaikan dengan satu bentuk figure yang dianggap benar. Dengan demikian, perjuangan perempuan bukan hanya persoalan kesetaraan gender belaka, tapi juga perjuangan identitasnya di kalangan sesama perempuan.
Saya benar dan kamu salah, sebenarnya merupakan model cara berpikir ala abad modern yang hanya mempercayai satu kebenaran tunggal. Saya tidak bicara tentang agama atau keyakinan tapi berbicara tentang apa yang ada di masyarakat, yang mencakup semua hal.
Ibu senior tadi misalnya percaya pada sebuah kebenaran yang sudah turun temurun ia warisi dari ibunya pula atau dari para perempuan sebelumnya. Kebenaran menjadi perempuan dan ibu yang benar itu terakui oleh jamak perempuan semasa itu dan tak pernah coba mereka bantah dengan teori apapun.
Apa yang mereka terima itulah yang benar, selain itu salah. Ini memang cara berpikir model lama yang sebaiknya hari ini tidak kita pelihara.
Narasi Perempuan dalam Pusaran Gerakan Feminisme
Jika melihat lagi ke belakang tentang perjuangan perempuan di tahun 1960 an, tepatnya yang menjadi momentum gelombang kedua feminism di Barat. Pada saat itu isu perjuangan perempuan adalah Woman Liberation atau pembebasan perempuan dari domestikasi yang dianggap memperbudak perempuan.
Kemudian diciptakanlah sebuah narasi besar atau grand narasi tentang sosok perempuan yang dianggap hebat yaitu yang keluar dari ranah domestiknya melawan patriarki secara nyata bahkan berusaha menandingi laki-laki dengan menolak keperempuanan.
Pada masa itulah muncul gerakan anti pernikahan, menganggap bahwa heteroseksual adalah sebuah perkosaan, juga ada perempuan yang tidak mau memiliki anak, karena narasi besar yang dibangun saat itu, “Perempuan Yang Hebat Adalah Perempuan Yang Bebas Dari Kungkungan Laki-Laki.
Narasi besar semacam itu menjadi sebuah acuan bagi banyak perempuan di dunia saat itu. Perempuan dalam gelombang kedua feminisme pada saat itu berpacu untuk mewujudkan citra perempuan hebat yang mereka ciptakan sendiri. Di luar kriteria itu tidaklah dianggap hebat. Hanya ada satu kebenaran tunggal yang terbangun, dan itu banyak orang yang percaya, sehingga mengakibatkan adanya kubu benar dan kubu salah.
Sebenarnya kubu benar dan kubu salah itu tidak semestinya ada. Pada gelombang ketiga gerakan feminisme di tahun 1980 an misalnya, perempuan mulai menyadari bahwa satu frame itu tidak cukup untuk menggambarkannya secara umum.
Di era postmodernisme sekarang ini perempuan mulai menentang narasi-narasi besar yang turun temurun diwarisi tentang menjadi “perempuan” yang seharusnya. Mereka mulai menyadari bahwa setiap perempuan itu unik, persoalan dan perjuangan mereka berbeda satu sama lain, demikian juga solusi yang mereka butuhkan atau pilihan yang akan mereka buat dalam hidupnya akan sangat beragam satu sama lain.
Semua Narasi Tentang Perempuan Adalah Benar
Jika narasi besar yang orang percayai tentang perempuan hebat selama ini adalah yang punya status sosial, punya pekerjaan mentereng, dan kehidupan yang mapan. Sehingga tidak sedikit kita jumpai orang-orang yang merendahkan perempuan yang hanya di rumah membersamai anak-anak mereka. Karena secara tidak sadar masyarakat memahami bahwa memiliki karir itu adalah benar dan menjadi ibu rumah tangga itu adalah salah.
Lalu ibu-ibu rumah tangga juga muncul dengan memberi pembelaan habis-habisan. Ttentang aktifitasnya sebagai seorang ibu rumah tangga yang tak kalah lelah dan hebatnya dari seorang perempuan karir. Ini juga menunjukkan bahwa si ibu sedang menegaskan bahwa menjadi ibu rumah tangga itu tidak salah seperti anggapan orang lain.
Kebanyakan netizen misalnya menyayangkan kenapa harus memilih satu saja dalam hidupnya ketika dia bisa memilih semuanya. Narasi ini juga menunjukkan bahwa perempuan yang memilih semua hal dalam waktu bersamaan itu lebih benar, dari pada dia yang memilih salah satu dari option yang ada.
Benar bahwa kelas sosial itu mustahil terhapuskan seperti kata Jurgen Habermas seorang filsuf kontemporer dari Jerman. Masyarakat akan tetap terdiferensiasi berdasarkan kepemilikannya. Akan tetap ada di dalam masyarakat orang hebat dan yang tidak hebat. Orang kaya dan orang miskin, orang berpengaruh dengan masyarakat jelata.
Jadi dengan demikian berarti bahwa keberagaman perempuan itu adalah sesuatu yang akan selalu ada. Juga, mustahil menghapusnya karena setiap perempuan memakai sepatu dengan ukuran dan model yang berbeda. Terlebih mereka juga tidak pernah menginjak tanah yang sama. Jadi tidak perlu ada kubu benar dan salah terkait perempuan.
Perempuan Harus tetap Berdaya, Tumbuh dan Maju
Sebagai insan postmodernisme, perempuan hari ini mesti merujuk kepada klaim kebenaran terbaru yang bersifat plural atau jamak, sekaligus juga parsial. Seperti ketika kita mengatakan bahwa “setiap nilai kebenaran yang perempuan yakini itu adalah benar, menurut perempuan itu sendiri. Sedangkan menurut orang lain belum tentu karena itu kebenaran bersifat plural.”
Cara berpikirnya bukan lagi jika saya benar maka kamu salah. Tapi jika saya benar maka orang lain juga mungkin benar, maka tidak perlu ada kubu benar dan kubu salah. Sehingga tidak perlu terlalu patuh pada narasi besar tentang perempuan. Karena narasi-narasi kecil yang perempuan ciptakan di manapun itu juga mungkin benar.
Jadi sama benarnya perempuan yang memilih untuk bekerja dan meninggalkan anaknya di rumah, dengan dia yang memilih untuk berada di rumah dan mengasuh anaknya, sama benarnya ibu yang melahirkan secara cesar dan ibu yang melahirkan secara normal, sama benarnya ibu yang memberikan ASI full dengan ibu yang harus membantu dengan sufor.
Sama benarnya perempuan yang hanya bisa memilih satu hal dalam hidupnya hari ini karena menjalani fungsi maternitas kemudian menyusul memilih yang lain di waktu berikutnya, dengan ia yang memilih segalanya pada saat yang sama.
Tidak perlu saling menuding saling menghakimi. Tidak perlu juga merasa paling benar dan paling betul dalam menjalani hidup. Dan yang anggapannya tidak benar tidak perlu mengklarifikasi diri juga sehingga saling tunjuk dan menyudutkan pihak lain yang beda pilihannya.
Cukup ya perempuan. Perjuangan kita berbeda, analisis dan solusi yang kita buat juga pasti berbeda. Cukup hargai perbedaan itu. Tapi satu yang harus sama, kita harus tetap belajar, berdaya dan tumbuh untuk tetap maju. []