Judul : Keberangkatan
Pengarang : Nh. Dini
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2019
Jumlah Halaman :191 halaman
ISBN : 978-979-22-5836-3
Mubadalah.id – “… baru setelah terpaksa, mereka mengawini perempuan-perempuan itu. Atau kalau perempuan itu mereka sukai untuk sementara. Sampai pada suatu ketika, jika bosan, dicerai, cari lainnya,” kata Lansih.
Cuplikan sinopsis dalam novel Keberangkatan ini adalah salah satu hal yang membuat saya penasaran untuk segera membaca, yaitu tentang hakikat perempuan. Novel Keberangkatan ini pertama kali terbit pada tahun 1977, namun masih memiliki relevansi ketika dibaca tahun 2021 atau setelahnya.
Keberangkatan adalah buku pertama NH. Dini yang selesai saya baca dengan cepat. NH. Dini menceritakan dengan bahasa yang ringan, mengalir dan tidak banyak kejutan namun memiliki konflik yang jelas. Tokoh-tokoh dalam cerita ini memiliki karakteristik yang kuat, terutama tokoh-tokoh perempuan.
Novel Keberangkatan ini bercerita tentang Elisa, gadis keturunan Belanda-Indonesia yang jatuh cinta pada seorang lelaki Jawa. Selain kisah cinta, ada juga konflik dan drama yang mengiringi kehidupan Elisa dan keluarganya. Ada pencarian jati diri dan hakikat menjadi perempuan yang berhubungan dengan silsilah keluarga.
Latar belakang Novel Keberangkatan ini adalah setelah kemerdekaan Indonesia dari perspektif gadis “Indo” yang lebih dominan berbahasa Belanda namun merasa sebagai orang Indonesia asli. Namun keadaan saat itu cukup menegangkan sehingga orang-orang keturunan Belanda mengalami diskriminasi dan penolakan sosial.
Buku ini mengawali dan mengakhiri cerita dengan keberangkatan. Elisa, tokoh utama dalam novel ini sangat dekat dengan NH. Dini, yaitu sama-sama menjadi pramugari. Sehingga apa yang diceritakan dalam kehidupan Elisa sehari-hari begitu alami dan nyata.
Kisah percintaan dan keluarga begitu dominan dalam Novel Keberangkatan ini. Pada zaman itu, norma sosial mengajarkan bahwa perempuan dididik untuk menunggu, untuk pasif terutama dalam hubungan romantis. Dan laki-laki pun tidak dididik untuk berterus terang tentang perasaaannya sehingga tidak ada kejelasan hubungan.
Meski merupakan keturunan Belanda dan memiliki kehidupan yang bebas, tapi Elisa memiliki prinsip seperti perempuan Indonesia pada umumnya. Dia tidak mau berhubungan seksual sebelum pernikahan. Dia tidak ingin menjadi perempuan murahan yang mudah disentuh dan dimiliki oleh siapa pun. Kegigihan Elisa dalam menjalankan prinsip ini menjadi salah satu kekuatannya dalam hakikat menjadi perempuan.
Elisa, seperti kebanyakan perempuan di Indonesia, sangat mendambakan perkawinan. Sehingga persoalan tentang percintaan menjadi hal yang utama baginya sebagai perempuan. Karena itu perempuan menjadi sentimentil dalam memikirkan cinta dan perkawinan. Lalu Elisa bertanya pada Lansih apa gunanya perempuan hidup jika tidak memiliki pengalaman perkawinan dan memiliki keluarga.
Lansih berkata, “Perkawinan bukan satu-satunya tujuan dalam hidup. Masing-masing kita wajib mencari pengisian yang sesuai dan sepadan guna mengimbangi kebutuhan jiwa. Oleh karenanya cerita manusia tidak berakhir hanya pada perkawinan. Jangan kau kira orang-orang yang telah kawin tidak mempunya persoalan lagi dalam hidupnya”.
Hal ini masih bisa kita temui di tahun 2021, jauh setelah novel ini terbit. Masih ada perempuan atau masyarakat yang terobsesi dengan pernikahan sehingga apapun masalah yang dialaminya maka pernikahan seolah satu-satunya jalan keluar. Sama seperti zaman Elisa, sekarang masih ada yang beranggapan bahwa pernikahan itu pasti dan selalu membahagiakan.
Mungkin saat itu perempuan tidak memiliki banyak pilihan karena memang dididik untuk pasif dan menjadi pihak yang dipilih saja. Namun saat ini, perempuan memiliki kesempatan, pilihan dan ruang yang lebih luas untuk menjalani peran. Sudut pandang Lansih saat itu menjadi hal yang tidak umum dalam masyarakat.
Sekarang perempuan tidak hanya memikirkan tentang hal pribadi yang berhubungan dengan asmara, namun juga dapat menempati posisi sosial untuk memberikan manfaat seluas-luasnya. Jadi harapan hidup menjadi lebih tinggi karena perempuan sekarang sudah dapat memilih yang terbaik bagi hidupnya.
Selain kisah tentang percintaan, hakikat perempuan diceritakan dalam pertemanan antara Elisa, Lansih dan teman-teman serumahnya. “Aku ingin menambahkan, jangankan suami-isteri, wanita dengan wanita pun cekcok kalau hidup bersama tanpa ada keserasian sifat dan kebiasaaan”, kata Elisa.
Sikap dan sifat teman-teman kita yang biasa ditunjukkan tidak selalu sama dengan apa yang benar-benar menjadi karakter mereka. Hal ini diceritakan dengan ketidakcocokan Elisa dan teman-teman serumahnya dengan Rini.
Menurut Lansih, untuk mengenal seseorang dengan baik setidaknya kita butuh tinggal bersama selama satu sampai dua bulan. Biasanya orang-orang akan memperlihatkan sisi baiknya saja dan kita tidak memiliki banyak waktu untuk menemukan sifat dan karakter negatif dari orang lain.
Di luar itu, akhirnya Elisa dan Lansih memiliki teman-teman serumah yang menyenangkan seperti Anna dan Rini. Hubungan pertemanan dengans sesama perempuan ini mungkin jika direfleksikan dalam dunia modern kita akan menyebut ini sebagai women supporting women.
Tokoh-tokoh perempuan dalam novel Keberangkatan menceritakan proses masing-masing dalam memaknai hakikat menjadi perempuan. Lansih dan Elisa menunjukkan bahwa menjadi perempuan, mereka setia pada prinsip dan berani membela suara perempuan. []