Mubadalah.id – Di lingkungan kita, kekerasan berbaris gender masih banyak terjadi, baik kekerasan seksual dalam rumah tangga, maupun kekerasan di publik, seperti di lembaga pendidikan, tempat kerja, dan lembaga negara. Tercatat dalam laporan Komnas Perempuan, pada tahun 2019 ada 431.471 kasus yang dilaporkan terkait semua bentuk kekerasan berbasis gender.
Begitupun dalam eksploitasi dan kekerasan terhadap pekerja migran, sesuai data BNP2TKI tahun 2019, sepanjang tahun 2014-2018, ada 22.768 kasus yang terjadi terhadap pekerja migran Indonesia, dan 7.069 diantaranya terindikasi perdagangan orang.
Bahkan diskriminasi terhadap perempuan kepala keluarga juga masih terjadi di lingkungan kita, dari beberapa kasus yang ditemui, perempuan kepala keluarga kesulitan mengakses bantuan negara karena tidak dianggap kepala keluarga. Hal ini karena anggapan kepala keluarga terbatas mengikat pada jenis kelamin laki-laki.
Banyak ketimpangan sosial yang terjadi dan perempuan rawan menjadi korban. Kekerasan yang dialami perempuan juga terjadi akibat relasi kuasa yang dimiliki satu jenis kelamin tertentu dibanding lainnya, dalam konteks ini adalah laki-laki lebih memiliki privilese dibanding perempuan.
Dengan latar belakang ini, kerangka hukum hak asasi manusia internasional, berupaya untuk mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender dengan adanya konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, konvensi hak penyandang disabilitas, konvensi perlindungan pekerja migran dan keluarganya, konvensi perlindungan anak, dan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial.
Namun meski sudah ada konvensi Cedaw dan deklarasi umum HAM dan dua kovenan utamanya, pelanggaran hak perempuan dalam bentuk eksploitasi, diskriminasi, kekerasan masih tetap berlangsung. Begitupun deklarasi yang disusun dalam situasi budaya patriarki, masih dipandang sempit hanya berlaku di ruang publik, tapi tidak di bidang domestik. Kekerasan di ruang domestik seringkali dijadikan alasan ranah privasi dan pencegahan.
Dalam konvensi perempuan Cedaw ini, telah berhasil menghapus bangunan pemisah antara ruang publik dan domestik. Perbedaan publik dan privat sudah tidak relevan lagi. Semuanya menjadi wilayah hak asasi manusia. Jika ada kekerasan di dalamnya, maka merupakan pelanggaran yang bisa dipidanakan. Semua bentuk kekerasan jika merugikan orang lain harus dihukum.
Bahkan konvensi ini telah diratifikasi dan diundang-undangkan menjadi hukum nasional yang mengikat. Seperti yang dijelaskan oleh Ibu Sri Wiyanti Eddyono, SH, LLM (HR), Ph.D dalam materi analisa hukum di hari keempat pelatihan Dawrah Kader Ulama Perempuan Muda Tahun 2021, bahwa ada beberapa kerangka hukum dan kebijakan di tingkat nasional yang sudah menganut semangat konvensi Cedaw ini.
Hal tersebut terdapat pada Undang-undang tentang ratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), instruksi presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga, UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang, UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang partai politik, UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang kependudukan dan pembangunan keluarga, UU Nomor 18 Tahun 2018 tentang perlindungan pekerja migran.
Dalam wilayah rumah tangga juga hadir hukum keluarga pada Undang-undang Perkawinan, Undang-undang Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum Islam. Adapun dalam ranah hukum pidana, terdapat UU anti trafficking dan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Jika terdapat kekerasan dalam rumah tangga, baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual (marital rape), menurut hukum yang berlaku, pihak korban bisa melakukan pilihan dengan dua jalur hukum. Ia bisa melaporkannya pada kepolisian dan diselesaikan dengan hukum acara pidana, atau pun menggugatnya di Pengadilan Agama dengan alasan adanya kekerasan dalam keluarga.
Dan menurut catatan Badilag, 70% dari perempuan yang menjadi korban kekerasan menempuh jalur hukum di Pengadilan Agama. Namun dalam beberapa putusan yang belum berperspektif gender, istri yang menggugat, dia terancam tidak mendapat hak nafkah dan hak asuh anak. Padahal ia menggugat karena ingin lari dari pernikahan yang tidak membahagiakan bahkan menyengsarakan.
Begitulah realitas hukum yang ada di sekitar kita, substansi hukum, budaya hukum, dan struktur hukum yang berlaku sangat berpengaruh terhadap hak-hak perempuan dalam menggapai keadilan. Oleh karenanya, perlu banyak upaya untuk mewujudkan keadilan, kesetaraan, dan kebahagiaan bagi semua insan, laki-laki dan perempuan secara bersamaan. Wallahu ‘alam bis Showab []