Mubadalah.id – Usai sudah perjalananku mengikuti Eurotrip dan Travel Writing 2023 ke negeri-negeri yang jauh. Selama 10 hari lamanya, aku betul-betul menikmati kemegahan Eropa, dan detak peradaban dunia di enam negara Eropa. Sebut saja, Belanda, Jerman, Swiss, Italia, Prancis dan Belgia.
Di mana hingga kini menjadi kiblat ilmu pengetahuan, mode, fashion dan kuliner dunia. Meski perasaan terasing tetap melindap dalam ingatan, ketika melihat Belanda sebagai negara bekas penjajah Indonesia 3,5 abad lamanya itu kami singgahi.
Datang ke Belanda, kami disambut dengan gedung-gedung klasik bertingkat, kontur jalanan yang rapih, kincir angin, dan kanal-kanal dengan air yang bersih. Lalu orang-orang yang hilir mudik naik sepeda, bus yang berderak, dan term yang datang serta pergi dengan anggun sekali. Aku terpana dalam pandangan pertama, Belanda begitu mempesona.
Pantas saja dulu Kartini pernah mengiba ingin bersekolah di Belanda. Dan pantas saja hingga kini, banyak mahasiswa Indonesia, dan dari negara-negara lain yang menjadikan Belanda sebagai tujuan untuk melanjutkan pendidikan.
Diam-diam aku sematkan harap, semoga kelak anak dan garis keturunanku ada yang singgah belajar di benua Eropa. Negara manapun itu, agar ikut merasakan kemegahan Eropa, dan detak peradaban dunia di sana.
Basis Pengetahuan
Jujurly, aku tak pernah membayangkan bakal bisa terbang ke negeri yang jauh, terutama di Benua Biru Eropa. Di mana perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuannya telah lama aku dengar melalui bacaan buku, novel maupun film.
Hampir semua basis pengetahuan filsafat berasal dari Eropa. Sebut saja peletak dasar Filsafat Modern Rene Descartes yang terkenal dengan adagiumnya “Cogito Ergo Sum” Aku berpikir maka aku ada.
Rene Descartes berasal dari Prancis, salah satu negara yang juga telah aku kunjungi. Selain Rene, filosof yang aku tahu berasal dari Prancis adalah pasangan yang tak pernah menikah Jean Paul Sartre dan Simone de Behauvoir. Di mana novel Jean Paul Sartre saat masih di Jogja pernah aku resensi untuk Jurnal Potensia.
Sementara untuk karya magnum opus Simone de Behauvoir adalah The Second Sex yang juga telah diterjemahkkan ke dalam bahasa Indonesia. Aku cukup menikmati buku itu, dan seringkali aku gunakan untuk menjadi referensi tulisan.
Lalu ada sosok Albret Camus, yang aku ingat salah satu dari pemikirannya adalah tentang Mite Sisyphus. Sementara nama filsuf lain yang aku tahu ada Karl Marx dari Jerman, yang pemikirannya terpengaruh oleh Freiderich Hegel, yakni Dialektika.
Sedangkan Karl Marx sendiri mengusung teori baru tentang kapitalisme dan sistem kelas dalam masyarakat modern. Pemikiran Karl Marx inilah yang melatarbelakangi lahirnya paham sosialis dan komunis di dunia.
Sisi Lain Paris
“Ternyata B saja” demikian celetukan kawan kami ketika hari ini grup Eurotrip dan Travel Writing mengunjungi Paris. Mungkin karena ekspektasi kita yang terlalu tinggi. Terutama framing yang media mainkan, seperti film, novel dan lagu. Meski secara fisik kota Paris ya begitulah, sama seperti kota metropolitan lainnya di dunia.
Terlebih, Paris sebagai ibu kota negara juga dianugerahi oleh banyak peninggalan sejarah yang memiliki nilai seni tinggi. Sebut saja Menara Eiffel, Museum Louvre, dan menara tengah kota yang Mbak Tita sebut berkali-kali dengan sebutan simpang lima Kediri, karena memang mirip sekali.
Arc de triomphe de l’Étoile atau biasa kita kenal sebagai Arc de Triomphe. Yakni Gapura/Monumen Kemenangan adalah monumen berbentuk pelengkung kemenangan di Paris yang berdiri di tengah area Place de l’Étoile, di ujung barat wilayah Champs-Élysées. Bangunan ini dibangun atas perintah Napoleon Bonaparte dengan tujuan untuk menghormati jasa tantara di bawah komandonya.
Meski demikian, aku tetap menaruh hormat setinggi-tingginya pada Prancis, negara di mana banyak para filsuf besar dilahirkan. Secara pribadi, aku sampaikan rasa terimakasih, karena beberapa buah pemikiran mereka turut menemani masa-masa kuliahku.
Tak lagi Romantis
Melalui aliran sungai Seein, di bawah jembatan persis di depan menara Eiffel itu, mungkin puluhan atau ratusan tahun yang lalu, para pelaku sejarah itu turut merenung, bercakap, dan berdiskusi di sepanjang sungai Seein.
Sisi lain Paris selain hal yang aku sebutkan itu, Paris seperti sosok feminim yang hidup dalam benakku bagai pesohor dunia Paris Hilton, yang serba stylis, mewah, mahal, elite, eksklusif dan ningrat. Meski masa kerajaan Prancis telah usai setelah masa Revolusi Prancis di abad ke 19.
Namun kesan yang aku tangkap di atas terjadi ketika aku belum menjejak kota Paris secara langsung. Kesan berbeda aku rasakan setelah bertemu dan berinteraksi secara lebih intens. Ia berganti rupa dengan banyaknya pencopet di Metro, karena ada kawan satu rombongan yang hampir menjadi korban.
Lalu bertambah sampah berserakan di mana-mana, terutama di area wisata. Membuat kesan kumuh dan tak pantas bagi kota berjuluk Paris Cinta nan Romantis ini.
Belgia, Waffle dan Cokelat
Aroma waffle menguar di sepanjang jalan Grande Place Belgia, lokasi pertama yang kami kunjungi. Grande Place adalah alun-alun kota Brusssel yang dibangun pada masa abad pertengahan. Yaitu tahun 1401-1455.
Di sekeliling alun-alun seluas sekitar 110 meter persegi ini terdapat bangunan Town Hall dengan menara yang menjulang setingi 96 meter. Sepanjang jalan Grande Place wangi aroma kue dan cokelat, begitu menggugah selera. Terasa lembut dan manis. Konon cokelat terbaik, dan terenak berasal dari Belgia.
Langkah kaki kami bergegas mendekati outlet waffle yang sudah terkenal seantero dunia. Lokasinya persis di samping Manneken Pis atau patung anak laki-laki kecil yang sedang pipis. Menurut literatur, Manneken Pis adalah patung perunggu seorang anak kecil yang sedang buang air kecil.
Legenda Manneken Pis
Lalu apa istimewanya patung anak kecil pipis tersebut hingga setiap hari hampir selalu ramai dikunjungi wisatawan untuk berfoto?
Patung ini dibuat oleh seniman Belgia bernama Hiëronymus Duquesnoy the Elder pada tahun 1618. Alkisah, anak kecil tersebut menyelamatkan Kota Brussels dari meriam serangan kekuatan asing pada abad ke-14. Kota Brussels mampu bertahan selama beberapa hari, dan serangan terakhir akan menggunakan meriam untuk menghancurkan kota.
Sesaat akan diserang dengan bom, seorang bocah laki-laki bernama Julianske mengencingi sumbu meriam hingga mampu menyelamatkan kota. Berkat itulah Julianske mereka anggap dewa penyelamat, dan mereka buatkan patungnya sebagai ikon kota.
Namun, itu hanyalah legenda yang tidak ada literaturnya. Cerita itu dibiarkan tetap melegenda, hingga menjadi daya tarik tersendiri buat wisatawan khususnya dari luar negeri yang datang ke Belgia.
PR Menulis
Selain ke Grande Place, kami juga sempat singgah di Atomium. Sebuah monumen yang dibangun dalam rangka Brussels Expo 1958. Monumen ini bentuknya menyerupai rangkaian simbol-simbol atom. Perancangnya adalah Andre Waterkeyn, karena pada masa itu teknologi atom mereka anggap sebagai teknologi yang mumpuni dan paling canggih.
Belgia menjadi destinasi terakhir dalam agenda Eurotrip dan Travel Writing 2023. Setelah pulang nanti aku punya PR menyelesaikan tiga artikel untuk antologi penulisan bersama peserta lain, dan satu buku perjalanan perempuan “Jihad Wadon Dermayu Melawan Ragu.”
Malam terakhir kami semua menginap di Antwerpen Belgia, sebelum akhirnya mengucap kata pisah dengan negeri benua Biru. Entah di tahun kapan lagi aku bisa singgah kembali. Yang pasti kenangan bersama satu grup ini begitu mengesankan, semua terasa begitu dekat dan akrab. Semoga di lain kesempatan kami bisa bertemu lagi. []