Mubadalah.id – Fenomena budaya populer di era digital tidak selalu lahir dari hal-hal besar. Sering kali, justru ekspresi sederhana yang mampu memikat perhatian publik karena dekat dengan keseharian dan mudah kita tiru. Salah satu contohnya adalah tren Tepuk Sakinah, yang belakangan ramai dibicarakan di media sosial. Bukan hanya sekadar hiburan, tren ini sejatinya memiliki akar dari program resmi Bimbingan Perkawinan (Bimwin) yang dikembangkan Kementerian Agama (Kemenag).
Tren Tepuk Sakinah hadir bukan sekadar permainan atau tepukan biasa, melainkan bagian dari metode edukasi yang dirancang agar calon pengantin mudah mengingat nilai-nilai keluarga sakinah.
Lewat pola tepukan ritmis beserta syair singkat, pasangan kita ajak untuk meresapi pentingnya cinta, penghormatan, ridla, serta musyawarah dalam berumah tangga. Tren yang viral ini pun menjadi simbol baru tentang bagaimana kesalingan antara pasangan ditampilkan, terpahami, dan kita rayakan dalam ruang publik digital.
Dari Program Resmi ke Tren Viral
Tren Tepuk Sakinah pertama kali Kemenag perkenalkan melalui program Bimwin (Bimbingan Perkawinan). Tujuannya sederhana: menjadikan materi yang biasanya berat, normatif, dan cenderung membosankan menjadi lebih interaktif serta mudah teringat. Dengan ritme tepukan tangan dan syair singkat, peserta bimbingan tidak hanya mendengarkan teori, tetapi juga aktif bergerak, bernyanyi, dan berinteraksi.
Isi dari Tepuk Sakinah sarat makna. Mulai dari seruan “Berpasangan”, yang menegaskan pernikahan sebagai penyatuan dua insan.
Lalu “Janji kokoh” sebagai pengingat bahwa pernikahan adalah ikatan mitsaqan ghalidzan—perjanjian yang kuat dan sakral. Berlanjut dengan syair “Saling cinta, saling hormat, saling jaga, saling ridha” yang menegaskan nilai-nilai kebersamaan, serta ditutup dengan “Musyawarah untuk sakinah” yang menekankan pentingnya komunikasi dalam keluarga.
Viralitas Tepuk Sakinah muncul karena sifatnya yang mudah kita tiru. Pasangan cukup berhadapan, menepukkan tangan sesuai ritme, lalu melantunkan syair. Kesederhanaan inilah yang membuat banyak pasangan mengunggah video tepukan mereka ke media sosial.
Dari ruang kelas bimbingan, kini Tepuk Sakinah merambah TikTok, Instagram, hingga YouTube, dan menjadi hiburan sekaligus tontonan inspiratif. Fenomena ini menunjukkan bagaimana sesuatu yang lahir dari program formal bisa dengan cepat bertransformasi menjadi tren populer.
Makna Kesalingan dalam Lirik dan Praktik
Jika kita telaah lebih dalam, Tepuk Sakinah bukan sekadar rangkaian tepukan, melainkan ekspresi kesalingan. Setiap gerakan hanya bisa berjalan lancar jika kedua pihak saling memperhatikan ritme, menyesuaikan tempo, dan menjaga kekompakan. Tidak ada yang lebih dominan; keberhasilan ditentukan oleh keseimbangan.
Liriknya pun secara eksplisit menekankan prinsip-prinsip kesalingan:
- Saling cinta menegaskan pentingnya kasih sayang dua arah.
- Saling hormat menunjukkan penghargaan terhadap pasangan sebagai individu yang setara.
- Saling jaga melambangkan komitmen untuk melindungi satu sama lain.
- Saling ridha merefleksikan penerimaan tulus dalam kehidupan bersama.
- Musyawarah mengajarkan bahwa perbedaan harus terselesaikan dengan dialog, bukan dominasi sepihak.
Dalam praktiknya, banyak pasangan menambahkan improvisasi—entah dengan tawa, humor, atau bahkan momen gagal ketika tepukan tidak sinkron. Hal ini justru memperkuat simbol kesalingan: bahwa relasi yang sehat tidak harus selalu sempurna. Melainkan tentang bagaimana pasangan menanggapi, tertawa bersama, dan tetap melanjutkan irama meski sempat terganggu.
Lebih dari itu, Tepuk Sakinah dapat kita baca sebagai performa kolektif. Dengan mengunggahnya ke media sosial, pasangan secara sadar menampilkan kebersamaan mereka kepada khalayak. Mereka bukan hanya sedang “bermain tepuk”, tetapi sedang membagikan narasi kebersamaan, cinta, dan saling dukung. Dari ruang privat, relasi mereka menjelma menjadi tontonan publik yang positif.
Refleksi Budaya Populer atas Tren Kebersamaan
Fenomena Tepuk Sakinah memperlihatkan bagaimana budaya populer bekerja dalam masyarakat digital. Apa yang awalnya menjadi metode edukasi formal, kini menjadi tren yang kita rayakan secara luas. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat haus akan representasi relasi yang hangat, harmonis, dan kolaboratif—di tengah derasnya arus konten digital yang seringkali penuh konflik atau drama.
Dari perspektif budaya, Tepuk Sakinah adalah contoh bagaimana nilai luhur dapat terkemas dengan cara ringan. Istilah “sakinah” sendiri berakar dari konsep Islam tentang keluarga ideal: tenang, penuh kasih sayang, dan dilandasi ridho Allah. Melalui tepukan dan syair sederhana, konsep besar ini kita hadirkan dalam bentuk yang bisa teringat dengan mudah, bahkan viral di media sosial.
Tren ini juga dapat kita pahami sebagai bentuk dakwah kultural. Alih-alih menyampaikan nasihat panjang lebar, nilai keluarga sakinah kita perkenalkan lewat gerakan kreatif yang menyenangkan. Dengan begitu, generasi muda yang seringkali alergi pada ceramah formal dapat menyerap nilai-nilai tersebut secara alami.
Refleksi penting dari fenomena ini adalah bahwa kebersamaan tidak lahir dari hal besar semata. Justru, ia sering tumbuh dari hal-hal kecil yang dilakukan bersama dengan kesadaran penuh. Dalam irama tepukan sederhana, pasangan belajar menjaga tempo, menyesuaikan langkah, dan saling mendukung. Inilah esensi kesalingan yang ditampilkan Tepuk Sakinah: relasi bukan tentang siapa yang lebih dominan, melainkan tentang bagaimana dua individu bisa bergerak seirama.
Tepuk Sakinah adalah contoh nyata bagaimana ekspresi sederhana bisa memiliki makna mendalam. Dari program Bimwin Kemenag, ia menjelma menjadi tren viral yang tidak hanya menghibur, tetapi juga sarat nilai. Syair yang singkat namun penuh makna menghadirkan pesan penting tentang cinta, penghormatan, ridho, dan musyawarah dalam rumah tangga.
Sebagai ekspresi kolektif pasangan, Tepuk Sakinah mengajarkan bahwa kebersamaan sejati adalah kesalingan: saling cinta, saling menjaga, saling ridla, dan saling mendukung dalam setiap langkah. Inilah yang menjadikan fenomena ini bukan sekadar tren viral, tetapi juga cermin nilai luhur yang hidup di tengah budaya populer digital. []