Mubadalah.id – Siapapun berpotensi menjadi korban kekerasan seksual, tanpa melihat jenis kelamin. Anehnya, perlakuan orang-orang kebanyakan tampak lebih berbeda ketika yang menjadi korbannya adalah laki-laki daripada kasus yang menimpa perempuan. Meskipun perlu kita akui bahwa sikap orang-orang kebanyakan terhadap korban kekerasan seksual masih nyaris sama; sama-sama tidak sekalipun memihak pada korban.
Kalau misal korbannya perempuan, pasti muncul cibiran dari lambe netizen seperti, “Kok ga melawan si dengan kabur atau teriak, pastinya dia keenakan makanya diam”, “lagian ngapain si perempuan kok keluar malem”, “pasti dia pake baju terbuka, sehingga mengundang lelaki untuk menyicipinya”. Nah kira-kira begitu yang terjadi bilamana korbannya perempuan.
Lain soal ketika korbannya adalah laki-laki, jauh sangat berbeda. Hal ini sebagaimana menimpa siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Grobogan, Jawa Tengah yang menjadi korban kekerasan seksual gurunya yang baru-baru ini terjadi. Semua komentar muncul bernada seperti berikut;
“Kok lapor sih, padahal kan enak”, “beruntung banget jadi dia, gue kapan ya?”, “pasti sama-sama suka”, gua di Grobogan tapi gak beruntung njir”. Alih-alih mengecam tindakan kasus kekerasan seksual.
Semua komentar warganet tersebut memberikan tanggapan seksis dan misoginis karena korban merupakan laki-laki dan pelakunya merupakan perempuan. Dan yang bilang demikian, adalah laki-laki itu sendiri, bahkan ada Media dan konten kreator laki-laki yang menayangkan kemisoginisan yang serupa dan senada.
Stereotipe Janda
Contoh Tagline judul berita yang saya ambil dari salah satu media misal, “Viral Guru Janda Cantik di Grobogan Paksa Siswanya Layani Nafsu Bejatnya”. Media memberitakan kasus tersebut, dengan menyematkan janda bahkan menempelkan kata ‘cantik’ pada pelaku. Secara tidak langsung, ini dapat memperparah stigma perempuan janda yang kerap menjadi korban objektifikasi seksual.
Tidak sedikit media yang mengobjektifikasi perempuan janda secara seksual melalui berita. Kalau boleh jujur, status janda di lingkungan kita tergolong kelompok rentan. Kerap menerima stereotipe sebagai perempuan penggoda, tidak berdaya, dan membutuhkan lelaki untuk memenuhi kebutuhan materi dan seksualitasnya.
Bahkan saat Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) serentak 2024, perempuan janda menjadi sasaran kampanye oleh calon gubernur DKI Jakarta dengan narasi yang membuat heboh bumi Indonesia.
Tidak hanya berhenti di situ, bahkan di balik nestapa yang anak SMP alami ini. Ada yang menjadikannya sebagai bahan konten salah konter kreator yang menggiring opini bahwa laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual itu ‘menguntungkan’. Sehingga ini semakin menguatkan bahwa kasus kekerasan seksual kepada laki-laki ternilai remeh dan menguntungkan.
Hal ini membuktikan bahwa di satu minimnya pemahaman terkait persetujuan (consent). Di sisi yang berbeda adalah mengakarnya stigma laki-laki selalu beriminat atau berkeinginan dalam aktivitas seksual.
Dari pemberitaan media dan konten kreator yang memuat konten yang seksis dan misoginis. Secara tidak langsung memberikan dampak yang signifikan terhadap warganet untuk juga berkomentar yang nirempati terhadap kasus kekerasan seksual yang menimpa laki-laki. Sehingga mereka malah menganggap korban beruntung, bahkan ingin mengalami hal yang sama sebagaimana korban.
Betapapun konteksnya untuk bercanda, namun hal semacam itu tidaklah tepat. Kalau kata pepatah Arab “لِكُلِّ مَقَالٍ مَقَامٌ” intinya setiap sesuatu itu ada tempatnya. Dalam beberapa literatur, mereka yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, disebut dengan zhalim.
Kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan yang dapat menimpa siapapun, termasuk orang-orang terdekat kita. Berkomentar seolah menguntungkan korban jauh dari kata layak untuk dijadikan bahan bercandaan.
Kekerasan Seksual Adalah Musuh Bersama
Hal yang paling aneh menurut saya ketika ada laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual adalah banyak yang menuntut aktivis feminis untuk mempertanggungjawabkan kekerasan seksual yang dialami laki-laki. Tapi mereka sendiri begitu enggan untuk bersuara.
Padahal sebaiknya, kita semua, termasuk laki-laki haruslah sama-sama menyuarakan tindakan kekerasan seksual sebagai bentuk kejahatan yang harus diperangi sama-sama. Siapapun korbannya tanpa memandang kelamin, korban harus kita bela. Dan pelaku harus kita berikan hukuman yang setimpal berdasar norma hukum yang berlaku.
Sungguh di lingkungan kita, menjadi korban kekerasan seksual tidaklah mudah. Hal paling pertama yang harus kita lakukan sebagai penerima kabar, adalah percaya pada korban. Karena tak mudah baginya untuk melaporkan. Jangan tanyakan dengan yang tidak-tidak.
Bahkan Kapolri saja mengakui bahwa berdasar data dari Komnas Perempuan yang terjadi selama lima tahun terakhir berjumlah 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 15.120 kekerasan anak. Dari total jumlah tersebut hanya sekitar 100.000 -an kasus yang berhasil Polri tangani.
Maka dari itu, mari sama-sama menganggap kekerasan seksual seperti kejahatan yang mesti kita berantas bareng-bareng sebagai musuh bersama dan mengutuk para pelakunya agar mendapat efek jera.
Setidaknya dengan memberikan hukuman sosial yang membuat pelaku enggan melakukan kembali. Bukan dengan respon nirempati yang seolah menjadi korban seksual merupakan sebuah keuntungan. Siapapun korbannya, kita harus memihak padanya dan berhenti menormalisasi budaya kekerasan seksual. []