Mubadalah.id – Dalam perspektif mubadalah, ketika Islam telah memberikan penghargaan terhadap peran reproduktif perempuan, maka secara moral, laki-laki memiliki kewajiban untuk mendukung dan memfasilitasi peran tersebut. Dukungan ini bukan hanya dalam bentuk empati, tetapi juga tanggung jawab konkret dalam ranah sosial dan struktural.
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Qiraah Mubadalah menulis bahwa “urusan perempuan dalam peran reproduktif bukan semata tanggung jawab perempuan sendiri. Melainkan urusan kemanusiaan yang mesti digotong bersama.”
Artinya, laki-laki baik sebagai suami, pemimpin, maupun warga masyarakat didorong untuk mengambil bagian aktif dalam memastikan agar perempuan tidak kehilangan akses terhadap pendidikan, kesehatan, ruang ibadah, maupun partisipasi publik karena fungsi biologisnya.
Oleh karena itu, dalam perspektif mubadalah, keadilan tidak dipahami secara hierarkis, melainkan secara relasional. Keadilan berarti saling menunaikan hak dan kewajiban, saling mendukung, dan saling menanggung beban kehidupan.
Keadilan, dalam perspektif ini, bukan sekadar pembagian peran. Tetapi kesediaan untuk mengakui peran satu sama lain sebagai bagian dari kemanusiaan bersama. Itulah sebabnya, perspektif mubadalah mengajarkan agar setiap urusan perempuan harus masuk sebagai urusan kemanusiaan. Sebagaimana urusan laki-laki menjadi urusan kemanusiaan.
Dengan cara pandang seperti ini, relasi gender dalam Islam tidak lagi kita lihat dalam logika “siapa yang lebih tinggi atau lebih rendah”. Melainkan dalam semangat kolaborasi dan keberlanjutan kehidupan.
Islam Menyapa Laki-Laki dan Perempuan Secara Setara
Sejak wahyu pertama turun kepada Nabi Muhammad Saw., Islam hadir dengan sapaan yang setara. Orang pertama yang menerima dan mengimani risalah Nabi bukan seorang laki-laki, melainkan seorang perempuan: Siti Khadijah Ra. Ia bukan hanya istri Nabi. Tetapi juga mitra spiritual dan intelektual yang menopang perjuangan beliau dengan seluruh harta, tenaga, dan cinta.
Peristiwa ini seharusnya menjadi dasar teologis bahwa Islam sejak awal datang untuk menyapa laki-laki dan perempuan secara sejajar. Tidak ada pembedaan nilai spiritual antara keduanya. Keduanya sama-sama memiliki potensi untuk menjadi khalifah di muka bumi dan meraih derajat takwa.
Sebagaimana ditegaskan oleh Kiai Faqih, “semua ajaran Islam, baik perintah maupun larangan, harus dibaca sebagai berlaku bagi laki-laki dan perempuan secara timbal balik.”
Maka, keadilan dalam Islam bukanlah tentang siapa yang lebih banyak mendapat hak. Melainkan tentang siapa yang bersedia menegakkan kemanusiaan bersama. []