Mubadalah.id – Sejumlah aturan dalam tradisi fikih klasik tampak sengaja dirancang untuk memastikan agar seksualitas tubuh perempuan hanya menjadi hak eksklusif suaminya. Sekecil apa pun pesona itu, tidak boleh sampai “keluar” dan mengganggu laki-laki lain.
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah menjelaskan, misalnya, anjuran yang melarang istri berbicara dengan teman suaminya ketika suami tidak berada di rumah. Jika ada tamu laki-laki datang, perempuan harus berkata bahwa suaminya tak ada, tanpa perlu menanyakan apa-apa atau mengundangnya masuk. Semua ini demi menjaga kecemburuan suami, yang khawatir ada lelaki lain terpancing oleh daya tarik istrinya.
Bukan hanya dalam rumah, ketika perempuan harus keluar pun, ia dibebani syarat-syarat yang ketat: menutup seluruh tubuhnya, termasuk wajah dan tangannya, menjauhi keramaian, bahkan dianjurkan memilih jalan-jalan sempit yang jarang dilalui orang. Semua itu semata-mata agar sensualitas tubuhnya tetap terkunci rapat, hanya untuk suaminya.
Menariknya, konstruksi ini akhirnya melahirkan anggapan bahwa hasrat seksual perempuan sudah “terjinakkan” sejak awal bahwa perempuan bersifat pasif, berbeda dengan laki-laki yang agresif.
Tidak Memiliki Hak Seksualitas
Karena itu, perempuan tidak memiliki hak untuk mengaktualisasikan sendiri gairah seksualitasnya. Bahkan dalam relasi suami-istri, ukuran hasrat seksual perempuan bukan dari tubuh dan keinginannya sendiri. Melainkan dari waktu dan kemampuan suaminya.
Dalam fikih klasik mencatat berbagai pendapat soal berapa kali seorang istri boleh mendapatkan layanan seksual. Ada yang bilang sekali dalam empat hari (karena asumsi seorang laki-laki punya empat istri, masing-masing kebagian satu malam),. Lalu ada yang sebulan sekali, empat bulan sekali, bahkan ada yang ekstrem hanya satu kali selama masa pernikahan.
Alasannya sederhana yaitu layanan seksual istri bergantung sepenuhnya pada hasrat suami. Hasrat ini tidak boleh ia paksa. Sebab jika laki-laki tak bergairah, penisnya tak bisa ereksi, dan tak mungkin memenuhi kebutuhan istrinya.
Pada titik ini, kita bisa melihat betapa tubuh perempuan terus diatur, dikekang, dan diukur berdasarkan standar laki-laki. Seksualitasnya dijinakkan, lalu dijadikan legitimasi berbagai aturan yang pada akhirnya hanya menegaskan dominasi laki-laki atas tubuh dan ruang hidup perempuan. []