Mubadalah.id – Suara, sesuatu yang acap kita dengar, kita produksi, dan kita terima dalam sehari-hari tanpa kesadaran penuh menggambarkan kualitas etika kita. Terlihat sepele dan ringan dilakukan, tapi punya akibat yang fatal jika lepas kontrol.
Bagi saya suara ini identik dengan nada atau intonasi. Intonasi tinggi simbolnya sedang menggebu-gebu, marah, semangat dan sebagainya. Sebaliknya, intonasi rendah, sering kita anggap dengan sopan santun, etika, dan soft spoken.
Jika boleh sejenak merenung, dalam konteks kehidupan modern yang serba cepat ini, kita sering terjebak dalam pola komunikasi yang reaktif. Media sosial menuntun kita untuk larut dengan algoritmanya yang kadang juga kita menyerapnya tanpa filter. Akibatnya suara kita tidak terkontrol ketika me-reaction konten-konten itu.
Oleh karena itu, sebagai refleksi, marilah memahami etika mengkontrol suara kita dalam hal apapun berdasarkan surat Al-Hujurat ayat 2 dan dalam pandangan Islam.
Ragam Pemahaman Surat Al-Hujurat Ayat 2
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ لَا تَرۡفَعُوۤا۟ أَصۡوَ ٰتَكُمۡ فَوۡقَ صَوۡتِ ٱلنَّبِیِّ وَلَا تَجۡهَرُوا۟ لَهُۥ بِٱلۡقَوۡلِ كَجَهۡرِ بَعۡضِكُمۡ لِبَعۡضٍ أَن تَحۡبَطَ أَعۡمَـٰلُكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تَشۡعُرُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah meninggikan suaramu melebihi suara Nabi dan janganlah berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain. Hal itu dikhawatirkan akan membuat (pahala) segala amalmu terhapus, sedangkan kamu tidak menyadarinya. (Q.S. Al-Hujurat : 2)
Mengenai sebab turunnya ayat ini, Tafsir At-Thabari menjelaskan sebuah informasi untuk orang mukmin agar tidak mengeraskan atau meninggikan suaranya sampai melebihi suara Rasulullah. Juga larangan agar tidak mengucapkan kata-kata jorok dan kasar ketika bercengkerama dengan Rasulullah Saw.
Ibnu Katsir juga mengomentari ayat ini dengan mengutip Riwayat Imam Bukhari, dari Anas bin Malik mengatakan, bahwa Nabi Muhammad pernah mencari Tsabit bin Qais bin Syammas, akan tetapi ada seseorang yang menjawabnya dengan suara lantang dan keras. “Ya Rasulullah, akan ku beritahu posisi Tsabit kepadamu.” Kemudian Tsabit bersedih mengetahui hal itu, karena menyangkut akhlak atau etika berbicara kepada utusan Allah Swt.
Sedangkan Syekh Wahbah Zuhaili, dalam tafsir Al-Munir mengatakan, wahai orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, apabila kalian berbincang-bincang dengan Rasulullah Saw., janganlah kalian meninggikan suara lebih dari suara beliau.
Sebab, meninggikan suara menunjukkan sikap kurang tahu sopan santun dan tidak menghormati, sedangkan merendahkannya termasuk penghormatan dan pemuliaan. Ini adalah etika penting yang diajarkan Allah SWT kepada kaum Mukminin dan merupakan etika terpuji terhadap semua orang.
Dengan demikian, ayat ini mengajarkan bahwa adab berbicara, termasuk nada suara, merupakan bagian penting dari keimanan dan penghormatan, khususnya kepada Rasulullah Saw., dan secara luas kepada orang lain dalam kehidupan sosial.
Keyboard Warriors
Kekuatan keyboard atau ketikan jari sangat-sangat menakutkan hari ini. Bayangkan saja, kita bisa baper dengan corak tulisan saat chatting-an, antara capslock yang sering dianggap nge-gas, ketikan formal, berarti kaku, ketikan gombal berarti lagi semerbak cinta. Seakan-akan keyboard ini mengeluarkan dan menciptakan suara secara otomatis.
Yang mulanya meninggikan suara terjadi saat bertatapan langsung, saat ini menjelma menjadi digital. Contohnya, media sosial penuh dengan komentar-komentar bentuk cibiran, kata-kata jorok, menghujat, hate speech, Cyberbullying , dan mengolok-olok yang sifatnya personal. Namun, juga ada yang sifatnya edukatif.
Begitupun terjadi pada relasi antara anak dan orang tua. Banyak fenomena mengungkap ada dan nihilnya kesalingan menghormati antara keduanya ketika mengobrol lewat handphone. Biasanya berawal dari “sebutan kasih” yang khusus kepada anak dan orang tua.
Yang sering terjadi yaitu inkonsistensi etika berbicara ketika bertemu dan di media sosial. Kadang suaranya lembut, sopan, senyum manis, sewaktu bertatap muka, tapi saat lewat medsos berbalik arah.
Suara yang dulu hadir lewat pita suara, kini lahir lewat jempol. Tapi substansinya sama: kita sedang berbicara. Dan layaknya dalam percakapan langsung, setiap kata yang kita ketik juga mewakili akhlak kita.
Refleksi : Mengembalikan Adab Dalam Komunikasi
Dalam Islam, mengatur suara bukan sekadar urusan sopan santun, tetapi bagian dari ibadah yang mencerminkan kualitas iman. Berbicara bukan hanya tentang menyampaikan isi pikiran, tapi juga bagaimana tentang menjaga hati lawan bicara kita.
Etika mengkontrol suara ini sangat penting, agar tidak semena-mena ketika berhadapan dengan seseorang. Terlebih kepada seseorang yang telah valid kualitasnya dalam sisi agama maupun wawasan lainnya.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita menanamkan kembali etika dalam mengatur “suara” kita, baik secara lisan maupun tulisan, sebagai bentuk keteladanan dan estafet penerus ajaran Rasulullah Saw.
Jika Allah saja memerintahkan untuk menundukkan suara di hadapan Nabi, maka apalagi terhadap sesama manusia yang tentu tidak memiliki kedudukan seagung beliau. Menjaga suara, dengan demikian, bukan sekadar aturan formalitas, melainkan bagian dari perjalanan menuju kedewasaan, harmoni sosial, dan akhlak yang mulia.
“Suara kita hari ini bisa membangun atau meruntuhkan. Mari jaga tutur kita, sebagaimana para sahabat menjaga suara di hadapan Rasulullah.” []