Mubadalah.id – Pernah dengar kan istilah khitan perempuan? Khitan perempuan mungkin tidak diperbincangkan sedemikian perlu ketimbang khitan laki-laki. Khitan laki-laki dalam tradisi sebagian masyarakat Indonesia, sebagaimana kita tahu, hampir selalu dirayakan, setara dengan hajat pernikahan. Ramai dan bahkan disyukuri dengan berbagai macam hiburan. Bagaiaman khitan perempuan dalam perspektif Mubadalah?
Sementara khitan perempuan, tak terdengar, bahkan terkesan disembunyikan, meskipun bisa jadi memang pasti dilakukan. Saya sendiri tidak tahu persis praktik khitan perempuan seperti apa. Hanya saja, terlepas dari itu semua, kita mesti mempertimbangkan kembali, apakah khitan perempuan itu maslahat atau mafsadat bagi perempuan?
Ulama sendiri berbeda pendapat. Ada yang mengatakan khitan perempuan sebagaimana khitan laki-laki hukumnya, ada pula yang agak longgar–asalkan sebatas kewajaran dan tidak menyakiti, berikut yang melarangnya sama sekali. Saya ingin mengetengahkan ruang dialog secara terbuka dan serius. Agar kita tidak terjebak perdebatan yang tak berujung. Atau silang pendapat antara yang pro dan kontra, layaknya debat kusir yang malah memperkeruh suasana.
Maka membahas khitan perempuan bukan hanya diperlukan hujjah fiqihnya seperti apa, lebih penting dari itu adalah kesadaran dan kedewasaan kita dalam menyikapi segala apapun persoalannya. Termasuk aspek tradisi, pertimbangan medis dan suara perempuan itu sendiri.
Berkaitan dengan khitan perempuan, saya harus menyatakan dengan tegas, manakala ada mitos yang menganggap bahwa perempuan itu nafsunya besar. Sehingga khitan perempuan kerap kali dianggap sepihak sebagai mengurangi nafsu perempuan agar bisa dikendalikan.
Nah kalau persoalan ini harus jelas kita duduk-perkarakan. Maka saya bersungguh-sungguh mengharapkan agar Kementerian Kesehatan, perhimpunan dokter, psikolog, termasuk para pemuka semua agama dan pihak-pihak terkait lainnya untuk bisa duduk bersama secara jujur membahas apakah khitan perempuan itu diperlukan atau malah membahayakan? Yang paling penting manakala menyoal khitan perempuan adalah aspek kesehatan.
Di sinilah Mubadalah berperan. Mubadalah akan berangkat dari teks yang akan dikontekstualisasikan sehingga makna yang akan didapat adalah makna yang maslahat bagi perempuan. Kita perlu mendengarkan dan memihak perempuan dalam hal ini. Mubadalah terdepan dalam kemaslahatan dan keadilan. Sehingga yang dikedepankan Mubadalah adalah bukan hanya hujah fiqih yang saklek, melainkan justru kedewasaan dalam memutuskan kebijakan yang manfaatnya betul-betul dirasakan oleh perempuan.
Mubadalah berpihak pada aspek kesehatan, apabila menurut medis khitan perempuan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kesehatan, kita harus tegas memutuskan bahwa khitan perempuan mesti ditinjau ulang.[]