Alkisah, ada seorang Syeikh bernama Abdullah al-Mughawiri. Dia tinggal di Spanyol. Al-Mughawiri dikenal karena menjadi orang yang berhasil mengalahkan nafsunya. Saat itu, diceritakan dia membawa seorang gadis cantik dari Spanyol. Gadis jelita tersebut meminta tolong kepada Syeikh untuk mengantarkannya kepada keluarganya.
Di tengah perjalanan di gurun yang sunyi, Syeikh nyaris melakukan kekerasan seksual pada gadis tersebut. Akan tetapi akalnya bekerja dengan baik dari nafsunya. Tapi apa daya, hasrat itu semakin menggelora. Dalam pilihan yang sulit, Syeikh akhirnya lebih memilih untuk menjepitkan kemaluannya pada dua batu. Upaya mengontrol diri yang sangat keras.
Syeikh sadar, melakukan kekerasan seksual terhadap orang lain adalah kejahatan yang bisa mencederai agamanya. Apalagi orang yang ada di sampingnya adalah seorang gadis yang butuh perlindungan. Orang yang butuh pertolongan. Dan agama mengajarkan menjaga amanat adalah sifat Nabi. Orang yang tidak menjaga amanat disebut agama sebagai munafik.
Alhasil Syeikh bisa memenuhi amanat untuk mengantarkan gadis tersebut pada keluarganya dengan selamat. Setelah kejadian itu beliau langsung bertaubat kepada Allah dan dia pun dikenal sebagai tokoh yang tak ada duanya pada zamannya. Cerita ini ada dalam kitab al-Kawakib al-Duriyah fi Tarajum al-Sadah al-Sufiyah yang dulis oleh Al-Munawi.
Dalam cerita di atas kita bisa melihat betapa Syeikh al-Mughawiri mempunyai pengendalian diri yang sangat kuat. Bahkan demi kendali itu, dia memilih menyakiti diri dibandingkan harus menyakiti orang lain. Pertanyaannya, apakah semua orang bisa mempunyai kendali diri sekuat al-Mughawiri?
Inilah faktanya. Di negeri kita, angka kekerasan seksual masih cukup tinggi. Angkanya bahkan cenderung meningkat di tiap tahunnya. Korbannya kebanyakan adalah perempuan dan anak. Tahun 2014 tercatat ada 4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan. Jumlah itu meningkat pada 2015 tercatat sebanyak 6.499 kasus.
Kekerasan seksual tidak terjadi hanya pada ranah publik tapi juga di dalam rumah. Tahun 2017 tercatat ada 2.979 kasus kekerasan seksual terjadi di dalam rumah tangga (KDRT) atau relasi personal. Serta sebanyak 2.670 kasus di ranah publik atau komunitas.
Yang lebih mengerikan lagi, data Balai Pelayanan Kepulangan TKI Selapajang, Tangerang menyebut terdapat 11.343 kasus pelecehan seksual sepanjang 2008-2014. Data ini semua saya peroleh dari salah satu portal berita.
Perempuan sebagai korban kekerasan pun kerap kali tidak mendapatkan perlindungan maksimal. Banyak di antara mereka takut melapor karena takut dipidanakan. Kasus seperti itu pernah menimpa BN saat melaporkan pelaku kekerasan seksual yang tidak lain adalah atasannya. BN dilaporkan telah mencemarkan nama baik atasannya.
BN adalah satu contoh. Banyak perempuan korban kekerasan lain mengalami kondisi serupa bahkan lebih tragis. Barangkali kendali diri seperti yang pernah dilakukan Syeikh Abdullah Al-Mughawiri tak bekerja di sini. Oleh karenanya kita perlu sebuah sistem pengendalian baru yang bisa mencegah kekerasan seksual.
Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) bisa dikatakan sebagai sistem itu. Ia bisa menjadi payung hukum bagi korban kekerasan seksual dan mencegah peristiwa serupa terjadi lagi di negeri ini.
RUU ini harus segera mungkin disahkan karena segala jenis kejahatan harus dihukum dengan adil dan tegas. Kalau kita menyepelekan tindak kejahatan terhadap perempuan, maka kejahatan terhadap perempuan akan terus terjadi.
Terpenting, payung hukum ini harus dibarengi dengan kesadaran bahwa kekerasan seksual terjadi bukan karena salah korban, melainkan pelakunya. Yang perlu dihukum adalah pelakunya, bukan korbannya. Korban harus dilindungi bukan malah disalah-salahkan, apalagi dipidanakan.[]