Alkisah, hiduplah seorang perempuan cantik jelita yang merasa takjub dengan kecantikan wajahnya. Ia suka beribadah ke masjid untuk shalat jama’ah dan sesekali mengikuti pengajian. Ia senang jika banyak jama’ah laki-laki yang melirik wajahnya dan memuji kecantikannya. “Laki-laki ahli ibadahpun takluk dengan kecantikanku”, begitu gumam hatinya setiap ada lirikan yang mendarat ke wajahnya.
Karena sering mengikuti pengajian, iapun menginginkan seorang suami yang juga suka beribadah ke masjid dan rajin mengaji. Tapi tak dipungkiri, ia masih takjub pada kecantikanya. Ia ragu adakah laki-laki yang menikahi dirinya dan melupakan kecantikan wajahnya.
Dia lelaki yang tidak mengekangnya di dalam rumah karena alasan cinta atau agama. Seorang pencinta biasanya akan menjadi pencemburu berat. Apalagai dengan alasan fitnah yang sering disebut ahli agama. “Jujur, kalau setelah menikah harus tinggal di dalam rumah terus, ini yang paling aku takutkan”, curhat perempuan itu kepada teman dekatnya.
“Laki-laki selalu begitu. Apalagi dia ahli ibadah, rajin mengaji, ditambah pencinta dan pencemburu pula. Kamu tidak akan diberi kesempatan pergi ibadah ke masjid sekalipun. Apalagi kamu suka tebar pesona”, nasihat sang teman.
“Lebih baik tidak menikah, biar aku tetap bisa ibadah dan menikmati kecantikanku”, kata si perempuan cantik itu.
“Kalau terus menjomblo, darimana kamu bisa makan. Keluargamu sebentar lagi mengusirmu dan pasti tidak akan sudi menafkahimu terus menerus. Lagian, tidak ada sejarahnya perempuan bisa menjomblo, jika tidak memiliki simpanan harta. Mengapa tidak kamu coba menikah dengan seorang pedagang”, nasihat sang teman.
“Ya juga sih”, gumamnya. Lanjut cerita, perempuan cantik itu menikah dengan seorang pedagang di pasar besar ibu kota yang tak pernah ke masjid apalagi mengaji. Ia berharap kecantikan yang ia miliki dapat meluluhkannya sehingga sang suami bisa pergi ke masjid bersama.
“Suamiku, mau kan memenuhi permintaanku?
“Mau dong, suamimu ini akan selalu ada untuk istrinya yang tercantik dan tercinta, minta apa sayang?”
“Menemaniku ke masjid, setiap shalat lima waktu, setiap hari, dan ikut mengaji, jika ada pengajian di sana. Minimal seminggu sekali lah. Masa jualan ke pasar terus”.
“Wah, kalau setiap hari shalat limat waktu ke masjid, nanti daganganku di pasar siapa yang urus? Apalagi ditambah ikut pengajian yang cukup lama. Sayang, ini bisa bubar pelangganku. Kita bisa bangkrut sayang”.
“Katanya siap apapun yang aku minta, gimana dong”.
“Gini, gimana kalau kita berbagi. Aku yang ke pasar cari nafkah untuk kebahagiaan kita bersama di dunia, dan kamu yang ke masjid untuk kebahagiaan kita bersama di akhirat”. Sang suami berkelit tetapi memberi jalan keluar yang jitu.
Sang istri tersenyum masuk kamar tetapi tidak menjawab tawaran suaminya. “Ya juga sih, aku juga masih senang wajahku dilirik para jama’ah. Kalau suami ikut, dia bisa cemburu, dan malah melarangku ke masjid”, gumamnya dalam hati.
Berhari-hari dan berbulan-bulan dilaluinya. Ia yang rajin ke masjid dan suaminya yang setia mencari nafkah di pasar. Ia masih galau bagaimana meluluhkan hati sang suami agar mau ke masjid bersamanya.
“Suamiku, kamu cinta aku gak sih?
“Cinta dong, setengah mati bahkan”.
“Cemburu nggak?
“Emang kenapa sih tanya-tanya gini?
“Itu loh para jama’ah di depan masjid itu, kalau aku lewat, semua melirik wajahku. Aku kan cantik sekali. Mereka pada suka melihat dan menikmati wajahku”.
“Ya itu kan tabiat laki-laki. Selama mereka tidak mengganggu, dan kamu juga tidak tergiur kepada mereka, dan aku masih bisa menikmati dirimu di malam hari, aku bisa mengerti dan akan bersabar saja. Kita kan sudah berbagi. Kamu ke masjid dan aku yang ke pasar”.
“Waduh, gagal juga aku”, gumamnya di dalam hati. “Sebenarnya, ada nggak sih laki-laki yang tidak tergoda dengan kecantikan wajahku? Tanyanya lebih lanjut kepada suaminya.
“Ulama yang menjadi imam dan mengisi pengajian di masjid itu kali. Dia terkenal khusyu’, tawadhu’, zuhud, pasti tidak mudah tergoda kecantikanmu”.
“Masa? Sang istri heran dan tertantang.
“Ya gitu orang-orang pada cerita”.
“Gimana kalau aku temui dia, aku mau lihat apakah benar ia tidak tergoda dengan kecantikanku, aku penasaran, bukankah tabiat laki-laki semuanya sama?
“Boleh coba”.
“Kamu mengizinkanku?
“Ya, temui saja, lihat matanya, apakah ia akan memandangmu dengan pandangan serigala. Setelah itu pulang, jangan berbuat berlebihan, aku juga bisa malu nanti”.
Singkat cerita sang istri menemui ulama tersebut, yang bernama Ubaid bin Umair ulama besar generasi tabiin yang terkenal kezuhudannya, sehabis pengajian. Ia mengajak ulama tersebut ke pojok masjid berdua saja, karena ingin bertanya sesuatu yang bersifat pribadi dan tidak ingin jama’ah yang lain mendengar.
“Sebelum aku memenuhi keinginanmu, bolehkah aku bertanya dan kamu harus menjawabnya dengan jujur”, kata sang ulama.
“Boleh”, kata sang perempuan.
“Apakah kamu beriman kepada Allah Swt?
“Ya dong, aku ke masjid setiap shalat karena imanku kepada-Nya”.
“Darimanakah kecantikan yang kamu miliki. Kamu ciptakan sendiri sejak lahir, atau pemberian dan anugerah dari-Nya?
“Anugerah-Nya”.
“Bayangkan, jika Dia mencabut kecantikanmu, atau mengutus malaikatnya mencabut nyawamu pada saat kamu mengajakku ke pojok masjid itu. Apakah kamu masih mau bertanya dan mengajaku ke pojok itu?
“Tidak, terimakasih”, jawabnya dengan penuh kejujuran.
Sang perempuan itu pulang ke rumah, menangis, menyesali niatnya menggoda sang ulama. Ketika sampai di rumah, ia ceritakan kisahnya kepada suaminya. Sang suamipun ikut termenung. Ketika istri bangun subuh dan siap-siap mau pergi ke masjid. Sang suamipun ternyata sudah bangun dan bersiap-siap pergi bersama ke masjid. Sang istri kaget bukan kepalang.
“Pertanyaannya kepadamu, juga bisa terjadi padaku. Hartaku adalah anugerah-Nya. Kapan-kapan Dia bisa mengambilnya, atau mengirim malaikat-Nya mencabut nyawaku tanpa persiapan apapun dariku”, kata suami menjawab kekagetan sang istri.
Suami istri itu akhirnya bersama-sama pergi ke masjid shalat subuh dan juga bersama-sama pergi ke pasar mengelola dagangan mereka bersama. Ketika adzan shalat tiba, mereka akan menutup toko dan bergegas, melangkah bersama-sama menuju ke masjid. []