Mubadalah.id – Pernikahan merupakan ikatan atau perjanjian yang pelaksanaannya oleh dua orang antara laki-laki dan perempuan untuk meresmikan sebuah perkawinan. Sehingga terbentuk sebuah keluarga yang memiliki visi dan misi yang sama demi terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah.
Salah satu tujuan pernikahan di dalam Islam adalah beribadah kepada Allah Swt dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw. Karena menikah adalah sunnah yang Rasulullah ajarkan kepada ummatnya. Lalu bagaimana mewujudkan suami istri idaman dalam pernikahan menurut perspektif mubadalah?
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadist yang artinya sebagai berikut; “Barang siapa menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh ibdahnya (agamanya). Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Swt dalam memelihara yang sebagian lagi” (HR. Thabrani dan Hakim).
Ajaran Islam telah mengatur seluruh rangkaian yang terkait dengan pernikahan secara terperinci. Yakni di berbagai karangan kitab-kitab ulama salaf, dan buku Islam terjemah. Selain itu, terdapat juga di beberapa website Islam yang bisa kita jangkau dengan mudah di zaman modern ini. Salah satunya adalah masalah suami istri idaman yang baik dan sesuai dengan ajaran agama Islam.
Syarat menjadi Suami Istri Idaman
Suami istri idaman yang baik memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan nafkah lahiriyah maupun bathiniyah. Dalam pemenuhan nafkah lahir dan bathin menjadi syarat utama baik bagi suami mapun istri untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga.
Kepala keluarga, baik nanti yang mengambil peran suami atau istri, juga bertanggung jawab terhadap pendidikan dan akhlak seluruh anggota keluarganya. Serta dituntut untuk bersikap sabar dalam mendampingi serta mengayomi pertumbuhan anggota keluarganya dengan segala tingkah laku mereka yang bermacam-macam. Kepala rumah tangga harus mampu menahan rasa kekecewaan atas tingkah anggota keluarganya yang tidak sesuai dengan harapan.
Sebab di dalam suatu pernikahan yang kita kenal sebagai kepala keluarga adalah lelaki atau perempuan yang bertanggung jawab penuh atas segala sesuatu yang terjadi terhadap seluruh anggota keluarganya. Seorang suami atau istri harus mampu memperbaiki tingkah laku mereka yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tentu dengan cara yang makruf (baik) bukan dengan cara kekerasan bahkan pelanggaran terhadap hukum.
Sebagaimana pesan Imam Al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya Ulumiddin;
مجاهدة النفس ورياضتها بالرعاية والولاية والقيام بحقوق الأهل والصبر على أخلاقهن واحتمال الأذى منهن والسعي في إصلاحهن وإرشادهن إلى طريق الدين والاجتهاد في كسب الحلال لأجلهن والقيام بتربيته لأولاده
Artinya; “(Salah satu faidah menikah adalah) berjuang dalam melawan diri sendiri dan melatih keperibadian dalam mengasuh, mengayomi, memenuhi kewajiban terhadap keluarga, bersabar atas kelakuan mereka, menanggung kecewa karena ulah mereka, berusaha memperbaiki dan menunjuki mereka ke jalan agama, berjuang mencari nafkah yang halal untuk mereka, dan mendidikan anak-anak”.
Pesan bagi Suami Istri
Pesan di atas merupakan sosok kepala keluarga yang baik dan sesuai dengan ajaran agama Islam. Yakni menjadi suami istri idaman dalam perspektif mubadalah. Bukan bagi mereka, suami atau istri yang bertingkah semaunya saja terhadap anggota keluarganya. Bahkan bertingkah kasar dan keras terhadap anggota keluarganya karena berbagai faktor yang ada. Misalnya, persoalan kebutuhan ekonomi sehari-hari, atau anak yang tidak bisa kita atur (nakal) dan sebagainya.
Tanpa di sadari tingkah laku seorang ayah atau ibu lakukan tersebut dapat menimbulkan efek mental yang down bagi seorang anak. Sehingga menimbulkan rasa ketakutan dan kesenggangan dalam berinteraksi antara orang tua dan anak. Begitu pula terhadap seorang istri atau suami dapat menimbulkan rasa takut dan tidak kerasan di dalam rumah tangga. Sehingga ada kekhawatiran akan berakhir pada titik perceraian.
Perilaku kepala keluarga tersebut tidak pantas ia lakukan terhadap seluruh anggota keluarganya, serta tidak pantas menjadi contoh bagi kepala rumah tangga yang lain. Karena seorang suami atau istri hakikatnya adalah tulang punggung keluarga yang dapat memberikan nafkah, pengayoman dan dedikasi yang baik terhadap anggota keluarga. Sehingga dapat menjadi contoh bagi anak-anaknya. Bukan pada suami atau istri yang menganggap dirinya sebagai penguasa keluarga. Jelas berbeda secara definitif antara kepala keluarga dan penguasa keluarga.
Semua beban dan tanggung jawab yang kepala keluarga pikul, memiliki keutamaan besar di sisi Allah Swt. Sebab di dalamnya terkandung pola seorang pemimpin dalam mengayomi rakyatnya. Kepala keluarga adalah seorang pemimpin di dalam sebuah keluarga, sedangkan anak dan anggota keluarga lain adalah rakyatnya.
Rasulullah Apresiasi Kepala Keluarga baik Suami, Maupun Istri
Maka Rasulullah Saw mengapresiasi kepala keluarga, baik suami maupun istri, yang dapat berlaku adil dan bertanggung jawab terhadap seluruh anggota keluarganya. Karena pahala yang kepala keluarga dapatkan secara adil dan bertanggung jawab tersebut lebih baik dari pada beribadah selama 70 tahun lamanya. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw;
فقد قال صلى الله عليه و سلم يوم من وال عادل أفضل من عبادة سبعين سنة ثم قال ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته
Artinya; “Rasulullah saw bersabda, ‘Satu hari yang dilalui bersama pemimpin yang adil lebih utama daripada ibadah 70 tahun, dan Rasulullah bersabda saw, ‘Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya”. (HR. Muttafaq Alayhi)
Bahkan di hadist lain Rasulullah saw menjamin surga bagi kepala rumah tangga yang menafkahi, membesarkan, dan mendidik putra-putrinya sehingga bertumbuh dewasa dan dapat menjadi pribadi-pribadi yang mandiri. Alasan kenapa balasan bagi kepala keluarga yang adil dan bertanggung jawab tersebut dapat memperoleh pahala yang besar di sisi Allah dan Rasulullah, karena mereka tidak hanya mengurus dirinya sendiri.
Selain menyiapkan nafkah sebagai tulang punggung keluarga, mereka juga memberikan dan mengarahkan pendidikan ilmu nilai-nilai agama terhadap anggota keluarganya dan memberikan edukasi nilai-nilai akhlak sosial yang berlaku di tengah masyarakat. Dan itu semua sama halnya dengan berjihad di jalan Allah swt. Sebagaimana yang Imam Al-Ghazali sampaikan di dalam kitab Ihya Ulumiddin;
وليس من اشتغل بإصلاح نفسه وغيره كمن اشتغل بإصلاح نفسه فقط ولا من صبر على الأذى كمن رفه نفسه وأراحها فمقاساة الأهل والولد بمنزلة الجهاد في سبيل الله
Artinya; “Tentu saja orang yang sibuk mengurus dirinya dan orang lain (keluarganya) tidak sama derajatnya dengan orang yang mengurus dirinya sendiri (jomblo). Dan juga tidak sama derajat orang yang bersabar menahan kecewa ulah keluarga dengan orang yang menghibur dan menyenangkan diri sendiri. Sabar dan bertahan dalam membina anak dan mengasuh anggota keluarga rumah tangga setara mulianya dengan jihad”. []