Mubadalah.id – Sekitar pekan kemarin BKKBN Official merilis infografis tentang ciri-ciri atau kriteria suami dan istri yang beruntung dengan tagar #kalauterencanasemualebihmudah. Sekilas nampak tak ada masalah dalam rilis tersebut, karena memuat tentang nilai kebaikan dari masing-masing pasangan. Lalu mengapa rilis itu diprotes oleh banyak warganet? Saya akan menuliskan kembali isi dari infografis tersebut.
Istri beruntung menurut BKKBN ialah pertama yang memiliki suami penyabar dan penyayang, bila cinta ia memuliakan, dan bila benci ia tidak menghina. Kedua, memiliki suami yang lemah lembut, yang selalu memanjakan istrinya. Ketiga, memiliki suami yang berhati tulus, yang tak pernah perhitungan pada keluarga.
Selanjutnya yang keempat memiliki suami yang selalu mengerti keadaan istrinya, hingga ia tak banyak menuntut kesempurnaan. Kelima, memiliki suami yang mampu melindungi keluarga dari keburukan dunia dan akhirat.
Dalam penjelasan yang penulis temui di akun mereka, bahwa istri paling beruntung di dunia adalah ia yang dikarunia seorang suami yang saleh dan bertanggung jawab, sehingga istri dituntut untuk pandai memilih suami dengan dasar tanggung jawab seorang pemimpin.
Perhatikan diksi “dengan dasar tanggung jawab seorang pemimpin”. Tentu yang dimaksud di sini adalah pemimpin keluarga, kepala rumah tangga, yang itu adalah domain mutlak suami atau lelaki. Sehingga menafikan peran istri/perempuan yang menjanda atau menjadi orang tua tunggal. Seolah hidup istri/perempuan bergantung sepenuhnya pada suami/lelaki.
Berikutnya pada ciri-ciri suami yang beruntung menurut BKKBN, pertama memiliki istri yang pengertian, kedua memiliki istri yang menerima suami apa adanya, ketiga memiliki istri yang pandai merias diri, keempat memiliki istri yang mampu mendidik anak, kelima memiliki istri yang mampu menjaga dirinya sendiri, dan keenam memiliki istri yang senantiasa mengajak pada kebaikan.
Nah pada penjelasannya, penulis menemukan kalimat yang bikin gregetan. Begini bunyinya. “seorang istri tentunya dituntut untuk bisa menjalankan kewajiban dan perannya dalam rumah tangga terutama dalam mengurus suami dan anak-anak”. Berasa janggal nggak sih?.
Yups. Ada domestikasi peran istri/perempuan di sini. Seakan kewajiban dan peran perempuan hanya untuk berada di rumah, abai terhadap persoalan sosial yang terjadi di sekitarnya. Padahal, perempuan juga mempunyai sekian potensi kemanusiaan yang layak diapresiasi bahkan pantas diberi penghargaan lebih atas dedikasi dan loyalitasnya.
Seperti prestasi yang sudah ditorehkan oleh Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani yang menyabet penghargaan sebagai Menteri Keuangan skala Internasional berkali-kali. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang aksi diplomatiknya mampu mengantarkan Indonesia berperan aktif di dunia global, bahkan memimpin DK PBB.
Belum ditambah daftar panjang nama-nama perempuan lainnya. Yang tak kalah kiprah dan prestasinya di Indonesia, seumpama Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, atau Walikota Surabaya Tri Risma Harini.
Infografis yang telah dirilis BKKBN menurut penulis sangat menyudutkan dan merugikan perempuan. Pasti juga ada ketimpangan relasi yang terjadi antara suami/lelaki dan istri/perempuan. Lalu bagaimana mubadalah memandang hal tersebut?. Apa yang menjadi kriteria suami yang beruntung versi BKKBN, juga bisa dijadikan sebagai kriteria istri yang beruntung. Begitu juga sebaliknya. Keduanya akan berbagi serta berganti peran, menjadi sosok Ayah sekaligus Ibu dalam kesempatan yang sama ataupun berbeda.
Penjelasan lebih lengkap penulis pinjam dari buku Qiraah Mubadalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Qodir, yang menjelaskan bahwa ada norma mua’syaroh bil ma’ruf secara mubadalah antara suami dan istri, yang merupakan etika puncak dan ruh bagi seluruh ajaran dan aturan Islam. Baik dalam isu pernikahan, keluarga maupun rumah tangga. Ia juga menjadi bentuk aktual dari konsep kemaslahatan dalam teori hukum Islam untuk isu keluarga.
Perspektif kesalingan dalam mua’syaroh bil ma’ruf, dengan memastikan perempuan dan laki-laki memperoleh kebaikan, juga harus dijadikan indikator pencapaian “lima tujuan hukum Islam” (Maqashid al-syariah al-khamsah) dalam isu rumah tangga.
Konsep perlindungan jiwa (hifz al-nafs), misalnya harus memastikan pemenuhan hak hidup dan peningkatan kualitas hidup laki-laki serta laki-laki dalam rumah tangga. Begitupun empat konsep maqashid yang lain, perlindungan agama dan ibadah (hifzh al—din), akal pemikiran dan pengetahuan (hifzh al-aql), keturunan dan hak-hak reproduksi (hifzh al-nasl), serta harta dan kepemilikan (hifz al-ml), harus dipastikan mencakup perempuan dan laki-laki sebagai implementasi dari perspektif mubadalah dalam norma mu’syaroh bil ma’ruf.
Menikah dan berkeluarga menurut Dr. Faqih dalam buku yang sama, seyogyanya tidak menjadi penghambat bagi siapa pun, terutama perempuan untuk bisa mengembangkan potensinya masing-masing sebagai manusia secara maksimal. Sebaliknya menikah adalah persatuan dua insan, di mana satu sama lain saling melengkapi, menopang dan menolong untuk terus menerus meningkatkan kualitas hidup kedua belah pihak, khususnya mengenai lima prinsip dasar tersebut. Jadi paham kan sayang, ini adalah kriteria suami dan istri yang beruntung versi kesalingan.